NASIONAL
22 Apr 2019 01:57
1416
Indonesia Tanpa Feminis, Misinterpretasi Ajaran Agama dan Dampak Negatif Patriarki

Penakota.id – Keramaian acap kali menciptakan kelelahan bagi diri Sir Pentoel. Ia selalu lebih suka mengendarai kendaraan pribadi saat ingin ke tempat kerja, namun roda empat miliknya harus menginap ditemani montir beberapa hari ke depan.

Sir Pentoel kemudian berusaha menghibur diri dengan membuat catatan mental, bahwa nanti saat di kereta ia akan mendapatkan kembali rasa sunyi yang selalu ia sukai. Ia tersadar dari lamunannya saat kerumunan bergerak maju dan beberapa bahu menabrak tubuhnya. Menyebrang jalan kini masuk ke daftar hal yang tidak ia sukai.

Langkahnya kembali melambat seiring matanya lekat menatap pemandangan yang ada di sampingnya. Seorang polisi wanita terlihat sibuk menata lalu lintas agar ramah bagi para penyebrang. Dua di antaranya menggunakan hijab, sedang yang satu tidak karena ia memang bukan wanita. Sir Pentoel kembali memfokuskan pandangannya ke depan saat salah seorang polwan itu menoleh ke arahnya, barangkali merasa terusik.

Lantas ia mempercepat langkah agar segera tiba di stasiun dan lepas dari hiruk pikuk jalanan kota. Setibanya di stasiun, Sir Pentoel berjalan ke sudut peron terdepan dan duduk di satu-satunya kursi kosong. Terdengar pemberitahuan melalui pengeras suara bahwa kereta selanjutnya akan segera tiba. Dalam hati ia berdecak sebal karena kereta yang akan datang bukan keretanya.

Pikirannya terpecah saat seorang wanita berdiri di depannya tampak sibuk dengan gawainya. Lantas Sir Pentoel segera menyilakan agar wanita itu mengambil tempat duduknya, namun dengan sopan wanita itu menolak.

“Terima kasih, tidak usah,” ujar wanita itu lalu kembali fokus pada gawai yang ia genggam.

Tak lama kereta yang ia tunggu pun tiba. Sir Pentoel bergegas memasuki kereta dan kemudian sedikit berharap akan mendapat tempat duduk. Sayang semua kursi di gerbong itu sudah terisi sehingga ia memilih untuk berdiri di dekat pintu.

Di hadapan Sir Pentoel tampak seorang pemuda dengan wajah kucam mengkhawatirkan. Belum sempat Sir Pentoel menanyakan keadaannya, seorang gadis muda bangkit dari kursinya dan menyilakan agar pemuda itu duduk. Sir Pentoel menduga alasan di balik kucamnya wajah itu pastilah karena lelaki itu lupa sarapan. Sir Pentoel lega karena selama ini makan pagi selalu menjadi prioritas sebelum ia memulai aktivitas.

Sesampainya di kantor, Sir Pentoel tak langsung beranjak ke ruang kerjanya. Sejenak ia memperhatikan para karyawannya yang sedang membentuk forum dan membicarakan sesuatu dengan heboh. Ternyata yang menjadi topik bahasan mereka adalah #IndonesiaTanpaFeminis yang baru-baru ini heboh di jagat media sosial. Sir Pentoel pun mafhum akan kehebohan tersebut. Pasalnya beberapa dari juru tulis Sir Pentoel kebanyakan wanita, pantas saja mereka ramai membicarakan kampanye itu.

Sir Pentoel sejujurnya juga penasaran mengenai kampanye tersebut, alih-alih ikut ke dalam forum, ia menitah para karyawan itu untuk kembali fokus bekerja lalu masuk ke ruang kerjanya. Sedikitnya tagar #IndonesiaTanpaFeminis membuat pikirannya cukup terganggu dan membuat penasaran.

Melalui komputer jinjing, Sir Pentoel mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa karyawannya membahas hal tersebut cukup serius. Dari hasil penjelajahannya, ia menemukan ratusan unggahan di Instagram yang mencantumkan tagar #IndonesiaTanpaFeminis yang diprakarsai oleh akun @indonesiatanpafeminis di Instagram.

Ternyata inti dari kampanye yang dimulai sejak 20 Maret itu memiliki tujuan agar paham feminisme tidak lagi diterima di Indonesia. Akun @indonesiatanpafeminis di Instagram dengan gencar mengunggah beragam konten yang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap banyak poin yang dibawa gerakan feminisme.

Gerakan jari Sir Pentoel pun terhenti, saat melihat salah satu akun yang memberikan komentar untuk mendukung kampanye tersebut. Tambah penasaran akan hal yang terjadi, Sir Pentoel lantas berusaha menghubungi pemiliki akun tersebut melalui direct message (DM), dan beruntung pesannya langsung mendapat sambutan dari empunya akun.

Langsung saja Sir Pentoel membuka percakapan dengan menanyakan alasannya mendukung gerakan #IndonesiaTanpaFeminis. YS, inisial dari pemilik akun tersebut lalu mengungkapkan bahwa, alasannya mendukung gerakan #IndonesiaTanpaFeminis yakni karena hampir semua nilai yang ditawarkan baginya melanggar kodrat perempuan.

“Perempuan kan sudah diatur kodratnya dalam Al-Quran, tidak mungkin disetarakan dengan laki-laki, karena pada dasarnya seharusnya perempuan itu dimuliakan,” ungkap YS kepada Sir Pentoel, Rabu (17/4).

Bagi YS paham feminisme itu berusaha menjauhkan kaum perempuan, khususnya muslim, dari kodratnya. Perempuan bagi YS seharusnya tidak didoktrin untuk melakukan segala hal dengan bebas, karena pada dasarnya batasan itu ada untuk melindungi dan memuliakan perempuan.

YS juga gerah karena banyak pergerakan feminisme yang justru menggaungkan bahwa wanita bebas menggunakan pakaian yang ia suka dan banyak memamerkan bagian tubuhnya. “Saya paling tidak setuju dengan frasa 'Tubuhku adalah Milikku', padahal tubuh kita diciptakan oleh Allah SWT dan yang boleh melihat hanya suami kita nanti,” sambungnya.

Pernyataan YS bagi Sir Pentoel cukup menarik hingga membuatnya lantas ingin mengetahui bagaimana tanggapan dari para feminis terhadap gerakan ini. Kemudian Ia teringat akan suatu akun di LINE yang gencar menyuarakan gelora pergerakan feminisme, yakni Feminist’s Corner. Tidak mau menyiakan waktu terlalu lama, Sir Pentoel kemudian segera meraih gawai dan langsung menghubungi pendiri dari akun tersebut. Kebetulan ia mengetahui kontak dari admin akun tersebut dari rekannya yang kalian tidak perlu tahu siapa itu.

Menanggapi kampanye #IndonesiaTanpa Feminis, kepada Sir Pentoel, Pendiri Feminist’s Corner, Caca menegaskan bahwa ia sama sekali tidak setuju dengan argumen feminisme telah menjauhkan perempuan daripada kodratnya. Dikatakan Caca, kampanye #IndonesiaTanpaFeminis merupakan contoh pemikiran yang lahir dari salah kaprahnya orang-orang terhadap feminisme.

“Feminisme selama ini selalu memperjuangkan perempuan. Tetapi, mereka merasa bahwa feminisme itu malah 'menyakiti perempuan' dan 'menjauhkan perempuan dari kodrat mereka' yang aku sama sekali tidak setuju,” tegasnya, Rabu (17/4).

Dijelaskan Caca, sebetulnya Feminist’s Corner amat mengapresiasi orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan mereka, namun perbedaan itu harus dilandasi dengan objektivitas dan masuk akal. Ihwal gerakan #IndonesiaTanpaFeminis yang masif di instagram itu menurutnya tidak demikian. Gerakan tersebut agak mengecewakan karena konten mereka tidak jelas.

Salah satu admin dari Feminist’s Corner, Mutia juga turut menambahkan pandangannya. Menurut Mutia, mereka (pendukung kampanye #IndonesiaTanpaFeminis .red) hanya menggunakan salah satu agama sebagai landasan kampanye sehingga bersifat subjektif.

Sebetulnya, diuraikan Mutia, kritikan terhadap feminisme bukanlah sebuah hal yang menjadi masalah jika itu dijadikan prinsip pribadi. Hak seseorang jika ingin berprinsip bahwa tubuh mereka bukan milik mereka, tapi milik Allah dan lainnya.

“Yang disayangkan di sini, dengan mereka membuat akun publik seperti itu, kemudian kampanye biar orang-orang menjadi anti feminis. Sejatinya ini akan berpotensi menghambat gerakan dari teman-teman feminis. Padahal niat kita baik, gitu loh. Tapi kok saat kita berusaha mewujudkan yang baik-baik, eh mereka malah menyebarkan pemahaman yang kurang tepat,” paparnya kepada Sir Pentoel, Rabu (17/4).

Bagi Mutia, salah satu faktor munculnya gerakan ini adalah adalah melekatnya budaya patriarki di masyarakat Indonesia.

Bukan Lagi Soal Kesetaraan

Belum cukup sampai di situ, Sir Pentoel lalu membuat janji untuk bertemu dengan salah satu aktivis pergerakan feminisme, Adelwin Airel Anwar. Mahasiswa berusia 20 tahun itu merupakan Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2019. Sir Pentoel pun menemui Adelwin siang itu di Fakultas Hukum, UI.

“Mungkin para pendukung gerakan #IndonesiaTanpaFeminis harus lebih banyak baca lagi agar lebih paham tentang apa sih feminisme itu,” jelas Adelwin kepada Sir Pentoel, Kamis (18/4).

Feminisme menurutnya bukan lagi soal kesetaraan, tapi mengenai pembebasan dari segala bentuk opresi dan penindasan. Mau si perempuan bekerja atau tetap menjadi ibu rumah tangga dan melakukan pekerjaan domestik, yang terpenting mereka harus memiliki kebebasan untuk membuat pilihan. Hal tersebut, lanjutnya, yang merupakan poin penting dari feminisme, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan tanpa adanya opresi.

Mengenai kodrat perempuan, Adelwin merasa bahwa hal tersebut merupakan konstruksi sosial yang lahir dari misinterpretasi sumber ajaran agama. Bagi Adelwin, feminisme bukan hanya melulu soal perempuan, bahkan feminisme juga memiliki kaitan dengan dirinya yang seorang laki-laki untuk dapat terhindar dari toxic masculinity yang merupakan salah satu buah dari budaya patriarki.

Oleh sebab itu, urgensi pemahaman feminisme di Indonesia baginya sangatlah penting karena saat ini Indonesia banyak berhadapan dengan kasus kekerasan seksual dan isu gender lainnya, yang mana dapat dilawan dengan paham feminisme.

“Tapi sebenarnya setiap pergerakan memang akan ada kritiknya, jadi sebenarnya enggak apa-apa kalo #IndonesiaTanpaFeminis ini ada. Ya, asal kritiknya itu membangun dan punya dasar yang jelas, jadi ya harus banyak baca-baca lagi dan paham soal apa sih feminisme itu,” tutupnya.

Kini Sir Pentoel mulai memahami perspektif baik dari sisi #IndonesiaTanpaFeminis dan para aktivis feminis itu sendiri. Dua pandangan tersebut agaknya menjadi pelajaran bagi Sir Pentoel untuk lebih bijak menanggapi perbedaan pandangan.

Teringat ia akan beberapa sosok wanita yang pagi tadi ia temui di jalan dan betapa mandiri para wanita tersebut. Bagaimana seandainya emansipasi wanita yang digalakkan oleh R.A Kartini-yang juga sejalan dengan paham feminis-tidak pernah terjadi. Mungkin tidak akan ia temui polwan-polwan yang mengatur lalu lintas maupun wanita karir yang bepergian sendiri.

Di sisi lain, Sir Pentoel sekali lagi mafhum bahwa banyak perempuan Indonesia yang lebih memilih untuk mengabdikan hidupnya untuk keluarga dan mungkin akan takut dengan bayangan menjadi wanita karir. Bahkan ada juga sebagian wanita yang memilih untuk mengikuti agamanya dengan taat dan memilih untuk menjauh dari pergerakan feminisme.

Maka yang sesungguhnya terjadi adalah kesalahpahaman dalam menerima nilai-nilai yang dibawa oleh pergerakan feminisme itu sendiri. Salah paham itu muncul karena adanya konteks misinterpretasi ajaran agama dan dampak negatif dari patriarki yang telah mengakar di Indonesia.

 

Editor: Fadli Mubarok