HUMANIORA
28 Apr 2019 11:29
1100
Diskusi Prafestival Menuju Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019

Penakota.id - "Di Indonesia, Jakarta adalah semua urusan," kata novelis Mahfud Ikhwan, di Beranda Rakyat Garuda (27/4/19). "Jakarta adalah kota yang paling mungkin dibayangkan seorang penulis untuk lekas jadi pusat perhatian," lanjutnya.

Mahfud memandang hal itu sebagai wujud ketimpangan antara kota dan desa, atau bahkan antara Jakarta dan kota-kota lain yang lebih kecil. Di Jakarta, kata Mahfud, penulis lebih mudah mendapatkan label "penulis nasional", betapa pun cap itu tak jelas artinya.

Penulis yang lahir di Lamongan, 7 Mei 1980, ini dikenal luas saat novel keduanya, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014. Novel ketiganya, Dawuk, memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kategori prosa.

Tetapi jalan kepenulisan Mahfud tak selalu lempang. Novel pertamanya, yang sembilan tahun silam terbit dengan judul Ulid Tak Ingin Ke Malaysia, merupakan bukti bahwa dedikasi dan kerja keras saja tak cukup untuk menjadi penulis yang sukses. Mahfud percaya bahwa pengalaman buruknya dengan proses penerbitan buku tersebut tak lepas dari faktor-faktor di luar teks: ia tinggal di Yogyakarta dan tak bergaul dengan orang-orang berpengaruh industri buku nasional.

"Editor memaksa saya menyatakan bahwa kisah Ulid adalah pengalaman saya," ujarnya. "Mengikuti Laskar Pelangi yang luar biasa populer, karya yang saya kerjakan selama enam tahun itu dipasarkan sebagai novel motivasional. Hasilnya: Ulid tak sampai ke pembaca sasaran penerbit, karena ia memang bukan novel motivasi, dan tentu tak pernah sampai ke pembaca sasaran saya."

Dipandu Agnes Mayda Indraswari selaku moderator, Mahfud Ikhwan membagikan pengalaman dan gagasannya tentang desa, kota, dan internet dalam proses kreatif kepenulisan.

Bersama Mahfud, hadir pula Aprila Wayar, seorang jurnalis dan novelis. Aprila lahir di Jayapura, 15 April 1980. Dia memulai karier jurnalismenya di Tabloid JUBI, yang dikenal kritis dan kerap menawarkan cara pandang tentang Papua yang berbeda dari kebanyakan media Indonesia.

"Cuma ada 3 hal yang jadi perhatian media nasional tentang Papua: tembak-menembak, bencana alam, dan Freeport. Karena itu kami harus bergerak sendiri, bicara mewakili diri kami sendiri," kata Aprila.

Tekad untuk "mewakili diri sendiri" itu jugalah yang menjadikan Aprila sebagai novelis perempuan pertama Papua.

Dua novel awal Aprila, Mawar Hitam Tanpa Akar (2009) dan Dua Perempuan (2013), mengungkapkan berbagai persoalan yang dihadapi perempuan Papua di bawah patriarki. Itu persoalan besar, yang ditangani dengan ambisi literer serta kegigihan besar pula oleh Aprila. Tentang novel terbarunya, Sentuh Papua (2018), Aprila berkata: "Kalau Tuhan kasih umur panjang, novel ini akan saya kembangkan jadi tetralogi." 

Selain ketegangan antara kota dan desa, pusat dan pinggiran, Jakarta dan kota-kota lain, Mahfud Ikhwan dan Aprila Wayar juga mengisahkan bagaimana mereka memanfaatkan internet dalam proses kreatif masing-masing.

"Saya merasa terberkati oleh internet, meski pada sisi lain saya justru berjalan memunggungi kulturnya," kata Mahfud. "Dari internet saya justru menemukan masa lalu.

Sementara Aprila, yang menyatakan internet sangat membantu riset penulisan karya-karyanya, membagikan kisah-kisah seru tentang internet di Papua. "Kalau kalian tahu mop 'pohon internet' dari Papua, saya mengalaminya sendiri," kata Aprila. Bekerja sebagai jurnalis media online, Aprila tentu akrab dengan internet.

"Tapi jangan bayangkan internetnya sebagus di sini," ujarnya, "Untuk kirim satu foto saja bisa menghabiskan 5 menit. Itu pun kalau lagi bagus."

Diskusi yang digelar pada Sabtu, 27 April 2019, di Beranda Rakyat Garuda ini merupakan acara pertama dari tujuh "Diskusi Prafestival" Jakarta International Literary Festival (JILF) sepanjang April - Juli 2019 yang dirangkum dengan nama "Many Faces of the South." 

Rangkaian "Diskusi Prafestival" ini disiapkan sebagai upaya awal untuk mengupas tema-tema penting kepenulisan dan industri buku dunia. Para pembicaranya adalah penulis-penulis muda terbaik Indonesia saat ini.

Sejak penyelenggaraan pertamanya, sebagai festival sastra tahunan oleh Komite Sastra DKJ, JILF hendak menjadi pelantar yang ajek dalam mempermudah pertemuan para penulis dan karya-karya sastra Indonesia dengan dunia.

Program-program utama JILF, mulai dari pidato pembuka oleh penulis termahsyur dunia, simposium, lokakarya, hingga pasar hak cipta, akan digelar pada 20 - 24 Agustus 2019.

(Dewan Kesenian Jakarta/JILF)