GAYAHIDUP
29 Apr 2019 01:31
6003
Hiperrealitas Akun Alter dan Roleplayer di Media Sosial

Penakota.id - Twitter merupakan salah satu platform media sosial yang memiliki sekitar 126 juta pengguna aktif pada setiap harinya. Debut pada tahun 21 Maret 2006, Twitter kini menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Dengan besar dan luasnya jaringan platform Twitter yang tersebar di seluruh dunia (kecuali Cina dan Korea Utara .red), para pengguna dapat dengan mudahnya mengakses berita terkini atau pun pemikiran seseorang dari berbagai penjuru dunia. Twitter dapat mengakses sesuatu yang dirasa jauh dalam wadah yang dekat.

Twitter pada masa kini bukanlah sebuah media sosial yang hanya bisa membuat cuitan atau ‘tweet’ dan membalas serta me-retweet cuitan orang lain. Twitter sekarang hadir dengan berbagai macam fitur baru yang dapat digunakan. Salah satu fiturnya adalah ‘thread’ atau utas yang sering digunakan sebagai penyambung suatu bahasan, saat 280 kata tidak cukup untuk menampung pesan yang disampaikan. Fitur ini mirip dengan fitur thread pada forum-forum online.

Fungsi dari utas ini sering digunakan para user Twitter untuk membuat sebuah cerita, tips, bahkan sebagai kumpulan-kumpulan dari banyak hal (seperti meme ataupun gambar bertema dan kumpulan photo edit). Terkadang utas bertujuan untuk menyebarkan suatu hal positif yang butuh untuk diketahui banyak orang, namun tidak jarang juga utas berisi sebuah gosip maupun kasus yang sedang tren pada waktu tersebut. Akibatnya, Twitter menjadi salah satu tempat di mana rumor dan gosip tersebar secara langsung—bahkan lebih cepat dari portal-portal yang menyediakan konten serupa.

Sebagai contoh, kasus Audrey yang sempat menggegerkan Indonesia dengan tagarnya #JusticeForAudrey masif tersebar luas dan menarik simpati. Munculnya kasus tersebut ke permukaan tidak dipungkiri karena adanya penyebaran lewat utas Twitter.

Pada Twitter, pun pengguna dapat menemui berbagai macam keunikan lain. Twitter dapat menjadi salah satu media yang paling mudah untuk “bertanya-jawab” atau mencari responden untuk survei. Mengapa demikian? Pasalnya hadir banyak layanan yang disebut ‘automenfess’ atau sebuah base—mirip seperti fanbase yang dapat mengirimkan pesan yang kita kirim dengan lewat direct message (DM) ke timeline—yang rata-rata memiliki followers ribuan, bahkan hingga ratus ribu. Sangat jarang ditemukan sebuah menfess (sebutan untuk pesan yang dikirim) yang tidak memiliki responden—pengecualian untuk menfess yang mengandung unsur jual beli.

Responden dari menfess pun memiliki range yang luas dalam hal umur dan background seseorang. Jika ditelaah lebih dalam dan diperhatikan baik-baik, Twitter memiliki banyak circle khusus untuk orang-orang yang memiliki ketertarikan pada hal serupa. Seperti fan account; akun khusus untuk meng-hype artis atau selebriti kesukaan, cyber account; yang biasanya disebut sebagai akun ‘suka-suka’, serta alter account (akun alter) dan roleplay account yang akan kita bahas dalam artikel ini.

Akun Alter, Kebebasan Menjadi Diri Sendiri

Sebetulnya istilah akun alter merupakan hal yang sudah lama mengemuka dalam dunia internet. Kita mengenalnya dengan nama Alter ego atau ‘aku yang lain’ dalam bahasa latin. Merupakan diri kedua yang dinilai berbeda dari yang lain, namun merupakan kepribadian yang sebenarnya.

Berangkat dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa alter adalah sesuatu dari diri kita yang ‘berbeda’ tanpa mengikuti ‘aturan’ atau prinsip dimana kita harus menjadi sesuatu yang ingin dilihat oleh orang lain; ‘palsu’. Akun alter merupakan akun yang dimiliki seseorang dan mencerminkan sisi personalitas lain daripada yang ia bangun dan dikenal oleh banyak orang. Sebuah dunia yang berisi akun-akun anonim atau akun yang menampilkan sisi lain dari penggunanya.  

“Menurut aku ya, akun alter itu sebuah jati diri. Jati diri kita yang sebenarnya. Karena apa yang sehari-hari kita citrakan di akun personal bakalan berbanding jauh dari akun alter kita sendiri. Juga karena kita ngasih liat sisi eksplisit kita masing-masing di akun alter itu,” papar salah satu pengguna akun alter Twitter kepada Sir Pentoel, Penakota.id Jumat (19/4).

Dikatakannya, akun alter dapat memunculkan jati diri kita yang sebenarnya. Terlepas dari hukum personal account yang berupa pemikiran ‘we have to please other people and sharing things which is appropriate with what people want to see and what people want to know’. Akun alter ini dapat dijalankan sebagai mana pemilik akun menginginkannya terlepas dari semua aturan dan menjadi dirinya sendiri, tanpa mengecualikan unsur-unsur eksplisit juga di dalamnya.

Karena kebebasan menjadi diri sendiri, tidak jarang para pemilik akun alter ini menjadi sebuah akun ‘eksplisit’. Mengapa? Barangkali lantaran sebuah konten atau pembicaraan yang bersangkutan dengan hal eksplisit merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh publik umum, namun dapat diterima oleh beberapa orang yang memiliki pemikiran serupa. Kendati itu ditekankan, eksplisit dalam hal ini bukan selalu berarti hal yang memiliki unsur sexual, pun dapat berupa sebuah pembahasan hal yang sensitif seperti LGBTQ+ dan hubungan sains terhadap ketuhanan.

Kemudian, di samping memunculkan jati diri dari seseorang yang tidak dapat diluapkan kepada publik luas memunculkan pertanyaan bagi penulis. Apakah adanya akun ini bisa jadi karena seseorang telah muak akan adanya aturan dalam kehidupan pribadi? Karena aturan-aturan tersebut acap kali malah memunculkan perang batin yang terjadi dalam diri seseorang. Contohnya seperti LGBTQ+ yang sering kali dinilai sebagai aib bagi kubu mayoritas.

Pertanyaan yang muncul, apakah dalam konteks sosial hal ini mendatangkan masalah? Toh, manusia yang berorientasi seksual lurus sama-sama memiliki dua mata, satu hidung dan satu mulut yang sama dengan manusia berorientasi seksual ‘berbelok’. Mungkin pemikiran ini hanyalah salah satu contoh cikal bakal munculnya fenomena akun alter ke khalayak umum.

Di sini ada dua pihak yang membentuk relasi oposisi biner. Seperti halnya dalam kasus LGBTQ+ ada kaum yang memihak pada ajaran agama dan ketaatannya namun ada pula yang berpikiran atas dasar manusiawi bahwa semua orang memiliki hak serupa dan perasaan yang muncul—terhadap sesama jenis—merupakan sesuatu yang wajar karena setiap orang memiliki hak untuk mencintai siapa saja terlepas dari status dan gender dari orang tersebut.

Mengupas sisi positif dan negatif dari dunia alter ini, terdapat banyak hal yang perlu digarisbawahi dan ditelaah dari berjalannya banyak akun alter di platform berlogo burung berwarna biru ini. Sisi positif ini dapat dimunculkan dari sisi kenyamanan seseorang yang kesulitan untuk mencari wadah baginya untuk meluapkan permasalahan. Bagaimana bisa? Karena beberapa orang berpikir bahwa meluapkan masalah dalam cuitan media sosial lebih melegakan daripada meluapkan permasalahan dalam ucapan.

Personally kalo buat aku ya, temen real life tidak sebanyak temen di  sih. I mean, aku lebih suka berinteraksi sama temen sosmedku sendiri. Lebih nyaman ke mereka aja, alesannya yaa karena lebih fleksibel aja kalau mau cerita sama mereka tuh. Mau cerita ini itu gaada sama sekali sanggahan yang aneh-aneh mereka kasih ke aku. Semuanya pure aja. Yaa tapi berhati-hati juga sih namanya juga sosmed kan yaa, pasti semua orang itu beda-beda,” tegasnya.

Kasarnya, bagi salah satu pengguna akun tersebut, orang yang berada di sekitar kita dapat melakukan sanggahan-sanggahan atau melontarkan pendapat yang sekiranya menyakitkan untuk didengar jika konteks pertanyaan dan pernyataan bukanlah berada di bidang bahasan yang mereka inginkan untuk dibahas. Namun ia tetap enegaskan, bahwa kita harus berhati-hati juga terhadap orang-orang media sosial karena kita tidak benar-benar tahu sifat asli dari seseorang tersebut.

“Sisi negatifnya, ya kembali ke titik awal, eksplisit. Karena ya alter itu ialah apa yang ada di balik ‘topeng’ kita sendiri. Biasanya yang dicitrakan di akun personal, jauh berbanding terbalik dengan apa yang kita perlihatkan di alter. Mau itu dalam konteks 18+ atau yang lainnya,” sambungnya.

Ini berarti bahwa sisi negatif dari alter adalah kandungan unsur eksplisit di dalamnya. Tidak berarti sebuah konten eksplisit adalah salah, namun karena unsur eksplisit itu dapat disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Fenomena akun alter ini bisa menjadi sesuatu yang baik dan buruk secara bersamaan. Baik karena orang-orang yang memiliki pemikiran sedikit lebih berbeda dari orang-orang kebanyakan dapat menemukan circlenya sendiri untuk bersosialisasi lewat gawai. Walaupun hanya sebatas cyber, namun tidak memungkiri kemungkinan untuk bertemu orang-orang satu pemikiran itu suatu saat nanti.

Buruknya karena Twitter merupakan sebuah platform umum yang dapat diakses semua orang, konten-konten eksplisit—apalagi yang berbau seksual dapat dibuka oleh anak-anak di bawah umur secara sengaja maupun tidak sengaja. Akan lebih baik jika alter memiliki sebuah ruang tersendiri yang membuatnya tidak dapat tersentuh oleh anak-anak yang penasaran akan hal-hal eksplisit. Namun, kembali lagi bahwa semuanya adalah kebijakan orang itu sendiri untuk menggunakan media sosial.

Baca juga: Buah Simalakama Gim Video pada Kehidupan Anak di Era Digital

Roleplayer Account, Hiperrealitas Dunia Cyber

Terkait Roleplayer. Istilah ini merupakan akun yang digunakan sebagai ‘roleplaying’ atau memainkan sebuah peran. Permainan peran di sini tidak ditentukan oleh limit dari peran apa yang akan dimainkan. Peran bisa merupakan seorang tokoh terkenal seperti penyanyi ataupun tokoh fiksi seperti karakter-karakter yang ada dalam film Harry Potter atau serial Game of Thrones.

“Roleplayer itu kita mencoba memerankan seorang idol (dalam konteks luas) dan bisa merasakan jadi idol yang lain (ber-imagine menjadi seorang idol dan berada dalam situasi yang sama seperti idol),” ucap salah satu narasumber, menceritakan pengalamannya dalam bermain roleplayer kepada Sir Pentoel, Jumat (19/4).

Perihal bermain roleplayer, ia menjelaskan bahwa telah mengetahui roleplayer sejak tahun 2012. Akan tetapi ia baru benar-benar mencoba bermain saat diajak oleh temannya pada sekitar tahun 2016. Ia merasa penasaran akan apa itu role-playing dan akhirnya mencoba pengalaman tersebut yang berlangsung hingga saat ini.

Sisi positif dari permainan roleplaying ini, baginya untuk memperluas relasi dan mempelajari karakter dari orang yang berbeda-beda saat kita berinteraksi. Karena terlepas dari kita yang tidak mengetahui siapa yang ada dibalik akun yang sedang kita ajak bicara—anonim, sifat asli dari seseorang yang membawakan akun itu pasti akan terlihat juga.

Sisi positif lainnya dari permainan roleplay ini adalah terhibur akan imagine dan drama-drama yang dibuat. Pasalnya roleplay terbagi menjadi basis less ooc (less out of character; dimana pemain akan berperan seakan menjadi artis ‘autentik’ .red) yang akan membutuhkan plot untuk membuat sebuah suasana imagine serta basis ooc (out of character) yang dapat digunakan secara bebas (namun masih dalam konteks menjalani ‘peran’ yang dipilih .red).

Dengan banyaknya teman yang narasumber kenal dari roleplayer ini, saya bertanya tentang preferensi narasumber untuk bercerita saat dihadapkan dengan sebuah masalah, dan narasumber berkata bahwa ia lebih banyak bercerita kepada orang-orang yang ia kenal lewat roleplayer. Alasannya karena dengan bercerita dengan seseorang yang tidak kita kenali, kita tidak akan merasa canggung saat bertemu. Karena jika kita bercerita terhadap teman tatap muka, terkadang akibat suatu pembicaraan akan terbentuk suasana canggung yang berkelanjutan.

“Negatifnya itu karena kita terlalu fokus di roleplay, kadang kita lupa buat sosialisasi sama orang luar, yang lebih nyata, terus juga kadang yang niatnya refreshing malah jadi tambah pusing kalau ada masalah juga di roleplay,” ungkapnya.

Dalam rincian lebih dalam, bermain roleplay bisa membuat kita terlalu terlena dalam media sosial dan akhirnya dapat melupakan fakta bahwa ada orang lain di sekitar kita. Ditambah lagi jika kita terlalu terbuai dan berhubungan erat dengan orang-orang di dalamnya, jika ada suatu masalah kita akan ikut memikirkannya juga secara serius. Sehingga sebuah masalah yang seharusnya selesai dalam dunia cyber, malah bertambah rumit dan mempengaruhi diri kita sendiri di dunia nyata.

Jean Baudrillard dalam bukunya Simulations (1983), mengatakan hiperrealitas menciptakan suatu kondisi, yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. 

Hal tersebut bukan berarti bahwa berhubungan dengan orang-orang anonim yang berada di dalam roleplayer itu salah, namun hanya sebuah peringatan bahwa kita harus siap dengan konsekuensi yang mungkin terjadi. Kesimpulannya, roleplayer account merupakan sebuah wadah untuk bermain peran dan bersandiwara menjadi seseorang ternama dan memerankannya dengan bumbu-bumbu imajinasi atau drama yang memiliki plot.

Namun terkadang, dalam permainan anonim ini banyak orang yang terbawa suasana dengan perasaan sehingga banyak masalah cyber yang seharusnya selesai dalam permainan peran ini memanjang dan menjadi sebuah masalah baru di kehidupan nyata dan dapat juga mengganggu sisi psikis dari seseorang yang memainkannya. Padahal terlepas dari sisi negatif tersebut, ternyata roleplayer juga dapat menjadi wadah yang asik untuk mengasah kreativitas bercerita jika kita bijak dalam bermainnya. Contohnya kita dapat membuat jalan cerita dan ikut andil menjadi sebuah tokoh dari cerita tersebut.

Adanya Motif

Menurut Pengamat Psikologi Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Muchliyanto, adanya kecenderungan seseorang menggunakan akun alter dan roleplayer muncul sesuai dengan adanya motif. Baginya, ketika seseorang mengalihkan dirinya menjadi sesuatu yang bukan dirinya berarti disitu ada motif. Motif inilah yang harus diketahui lebih lanjut.

 “Ketika ada orang yang mencoba bersembunyi dibalik alternya, dia akan merasa tidak ada yang harus dibatasi sehingga akhirnya motif yang sudah tersembunyi dengan baik itu akan menjadi sebuah dorongan untuk melakukan apa saja,” ujar Muchliyanto kepada Sir Pentoel, Senin (23/4).

Semua berarti, jika seseorang sudah menutupi motif diri yang ingin ditutupi dan mulai berani memunculkan sifat eksplisit di dalamnya, maka lama kelamaan orang tersebut akan lebih berani dan lebih berani sehingga bisa jadi memicu perlakuan yang lebih parah dari batas eksplisit. Dijelaskan Muchliyanto, tentu ini bukanlah sebuah hal baik, baik dalam sifat yang sekedar ‘alter ego media sosial’ maupun berupa sifat asli dari manusia.

Dalam pandangan psikologi, lanjutnya, hubungan pertemanan melewati media anonim ini memiliki dampak positif yang muncul namun tidak sebesar dampak negatif yang akan dimunculkannya juga. Dampak positif banyak disebutkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, namun dapat di garis bawahi bahwa kebanyakan dampak positif tersebut merupakan dampak positif yang hanya dirasakan oleh diri sendiri dan tidak berdampak positif kepada hubungan dengan lingkungan sekitar.

Dampak negatif yang paling besar saat terlalu ketergantungan dengan media sosial untuk bersosialisasi ini akan menyulitkan orang tersebut untuk berkembang dengan baik dengan lingkungan dunia yang nyata. Apalagi dalam akun anonim—yang mana tidak menunjukkan jati diri yang sebenarnya, orang tersebut akan cenderung bersembunyi.

“Padahal, perubahan dan perbaikan diri harus memiliki ‘eksistensi’ di mana eksistensi itu sendiri adalah pengakuan dari orang lain, legitimate. Dan hal tersebut merupakan konsekuensi  yang harus dirasakan jika orang tersebut ingin mematangkan pribadi dirinya sendiri,” pungkasnya.

 

Editor: Fadli Mubarok