HUMANIORA
23 Jun 2019 06:41
1334
Selimut Perca (Ismat Chughtai)

Cerpen Lihaaf diterjemahkan oleh Izmy dan disunting oleh Stanley Khu (Toko Buku Mimamsa). Versi bahasa Inggris bisa dibaca di sini. 

Bayangan yang timbul di dinding saat aku membungkus diri dengan selimut perca di musim dingin terlihat seperti gajah yang sedang bergoyang. Suasana ini membawa pikiranku pada labirin masa lalu. Berbagai kenangan kemudian muncul saling bersesakan. 

Maaf. Aku tidak bermaksud menyuguhimu dengan kisah romantis tentang selimut percaku. Ini bukan hal-ihwal mengenai roman. Selimut ini, menurutku, walau pun kurang nyaman, tidaklah membuat bayangan yang menakutkan; justru ia menari-nari di dinding. Dulu aku seorang gadis kecil yang berkelahi setiap hari dengan abang-abangku dan teman mereka. Seringkali aku berpikir kenapa pula aku harus begitu agresif. Di saat saudariku seumuran denganku, mereka sibuk menggambar, tapi aku malah sibuk berkelahi dengan laki-laki mau pun perempuan yang aku temui! 

Inilah sebabnya ibuku menitipkanku pada saudari angkatnya selama seminggu saat ia pergi ke Agra. Ibuku tahu bahwa di sana tak ada siapa-siapa, bahkan seekor tikus pun, yang dapat diajak berkelahi olehku. Itu menjadi sebuah hukuman berat untukku! Lalu ibuku menitipkanku pada Begum Jaan, seorang wanita dengan selimut percanya yang terukir dalam ingatanku bagai goresan yang tertinggal oleh cap buatan pandai besi. Orangtuanya yang miskin setuju menikahkannya dengan Nawab yang sudah berusia ‘matang’ karena karena budi luhurnya. Tak ada satu orang pun yang pernah melihat penari atau pelacur di rumah Nawab. Ia juga telah menunaikan ibadah haji dan membantu orang lain untuk dapat berhaji seperti dirinya.  

Walau pun demikian Nawab memiliki hobi yang ganjil. Beberapa orang cukup bodoh dalam menggali kesenangannya, seperti beternak merpati dan melihat sabung ayam. Nawab Saheb memiliki rasa jijik pada kesenangan yang semacam itu. Ia selalu membukakan pintunya untuk para murid laki-laki–muda, rupawan, ramping, di mana pengeluaran mereka ditanggung seluruhnya oleh Nawab. 

Setelah menikahi Begum Jaan, Nawab menaruhnya di rumah beserta harta bendanya dan dengan cepat melupakannya. Rapuh, seorang nyonya terbuang sia-sia dalam kesendirian yang menyedihkan. 

Orang tidak tahu kapan kehidupan Begum Jaan bermula-apakah saat ia melakukan kesalahan dilahirkan atau ketika ia datang ke rumah Nawab sebagai pasangan pengantinnya, memanjat tempat tidur empat tiang dan mulai menghitung hari menuju pernikahannya. Atau apakah saat ia menyaksikan lewat pintu ruang tamu bertambahnya anak laki-laki berbetis kokoh, berpinggang gemulai dan makanan lezat datang dari dapur untuk dibagikan pada mereka! Begum Jaan akan memandangi pakaian wangi dan halus mereka, kemudian ia merasa seolah-olah sedang tersiksa bara api. 

Atau apakah ini bermula saat ia menyerah pada jimat, ilmu hitam, dan cara lainnya untuk mempertahankan cinta suaminya yang tersesat? Ia dipinta untuk membaca ayat suci sepanjang malam, tapi sia-sia belaka. Seseorang tidak dapat mengisap darah keluar dari batu. Nawab tidak bergeming satu inci pun. Begum Jaan patah hati dan beralih pada bukubuku. Namun ia tak kunjung merasa lega. Roman dan sajak yang menyentuh hati kian membuatnya depresi. Ia mulai melewatkan malam-malam tanpa tidur, merindukan cinta yang tak kunjung tiba. 

Dia merasa ingin melempar seluruh pakaiannya ke dalam tungku. Seseorang berpakaian untuk membuat orang terkesan tapi Nawab tidak memiliki waktu untuk diluangkan.  Ia terlalu sibuk memburu ‘pakaian halus’, dia juga tidak mengizinkan Begum Jaan keluar rumah. Akan tetapi kerabat boleh datang berkunjung dan tinggal untuk beberapa bulan ketika Begum Jaan tetap menjadi tahanan di dalam rumah. Seluruh kerabatnya adalah ‘tukang bonceng’, membuat Begum Jaan naik pitam. Mereka menjamu diri sendiri dengan makanan yang melimpah dan mendapatkan pakaian hangat yang dibuat khusus untuk mereka di saat Begum Jaan terbujur kaku karena kedinginan, meski pun selimut perca miliknya telah disumpal kapas yang baru. Selagi Begum Jaan mengempaskan dan membolak-balik badannya, selimut percanya mengambil rupa yang baru lagi di dinding, tetapi tak satu pun dari mereka menjanjikan kehidupan baginya. Lalu mengapa seseorang harus hidup? Kehidupan seperti milik Begum Jaan ditakdirkan untuk terus hidup. Tapi kemudian ia menjalani hidupnya dan hidup sepenuh-penuhnya. 

Rabbu lah yang menyelamatkan Begum Jaan dari kejatuhan ini. 

Lambat laun tubuhnya yang kurus mulai berisi. Pipinya mulai merona dan Begum Jaan mekar dalam keindahan. Minyak pijat istimewa telah menghidupkan kembali Begum Jaan dari mati suri. Maaf, kalian tidak akan menemukan racikan dari minyak ini di majalah paling ternama sekali pun. 

Ketika aku pertama kali melihat Begum Jaan, ia telah berusia sekitar 40 tahun. Ia tampak seperti sebuah potret kemegahan, bersandar di sofanya. Rabbu duduk menghadap punggung Begum Jaan sambil memijat pinggangnya. Selendang berwarna ungu membalut kakinya saat ia duduk dalam kemegahan nan agung, laksana seorang Maharani seutuhnya. Aku terperangah dengan penampilannya dan ingin duduk di sampingnya berjam-jam lamanya hanya untuk mengagumi dirinya. Kulitnya adalah marmer putih tanpa secuil pun bintik kemerahan. Rambutnya hitam dan selalu bermandikan minyak. Aku tak pernah melihat belahan rambutnya berantakan atau sehelai rambut pun terlepas dari tempatnya. Matanya hitam dan alisnya yang tercabut rapi tampak seperti dua busur yang merentang di atas sepasang mata nan teduh. Kelopak matanya menggantung dengan berat dan bulu matanya lebat. Namun bagian wajah yang paling menarik adalah bibirnya – biasanya diwarnai gincu dengan lengkungan ke bawah di bibir atas yang sekadarnya. Rambut panjangnya menutupi pelipis. Terkadang wajahnya terlihat berubah dalam tatapanku dan tampak seolah-olah seperti wajah lelaki muda. 

Kulitnya juga putih dan lembut, seakan-akan seseorang telah menjahitnya dengan erat ke seluruh tubuhnya. Ketika ia meregangkan tungkai kakinya untuk dipijat, aku mencuri pandang pada kemilaunya, merasa terpesona. Ia sangat tinggi dan tubuhnya yang semok membuatnya terlihat bermartabat dan luar biasa. Tangannya besar dan lembut, pinggangnya terbentuk dengan sangat indah. Berduaan, Rabbu memijat punggungnya selama berjam-jam. Seolah-olah, mendapatkan pijatan adalah salah satu kebutuhan pokok dalam hidup.  Bahkan - lebih penting ketimbang kebutuhan pokok dari hidup. 

Rabbu tidak punya pekerjaan rumah tangga lainnya. Duduk di sofa, ia selalu memijat bagian-bagian tertentu dari tubuh Begum Jaan. Terkadang aku tak tahan menyaksikan Rabbu memijati atau mengusapi Begum Jaan selama berjam-jam. Ku bilang pada diriku sendiri, “Jika seseorang menyentuh tubuhku sesering ini, maka aku akan membusuk sampai mati.” 

Bahkan pijat harian ini pun belum cukup. Pada saat Begum Jaan mandi, Rabbu akan memijat tubuhnya dengan berbagai minyak dan racikan selama dua jam. Ia akan memijat dengan sekuat tenaga; membayangkannya saja sudah dapat membuatku kesakitan. Pintu ditutup, kompor arang akan menyala, lalu sesi pun dimulai. Biasanya Rabbu adalah satusatunya orang yang diizinkan untuk tetap tinggal dalam sesi seperti itu.  Pelayan yang lain menyerahkan barang-barang yang dibutuhkan lewat pintu, menggumamkan ketidaksetujuannya. 

Kenyataannya, Begum Jaan menderita gatal yang tak kunjung sembuh. Walau pun telah menggunakan berbagai minyak dan salep, gatal tersebut tetap mendera dirinya. Dokter dan tabib mengatakan bahwa tidak ada yang salah, bahwa kulitnya baik-baik saja. Bisa jadi ada infeksi di bawah lapisan kulit. “Mereka semua sudah gila… tidak ada yang salah dengan Anda. Gatal itu hanya panas dari tubuh Anda,” demikian kata Rabbu, tersenyum selagi ia memberi Begum Jaan tatapan penuh lamunan. 

Rabbu! Kulitnya gelap selagi milik Begum Jaan terang, ungu selagi yang satunya lagi putih. Ia terlihat bersinar bagai besi panas. Wajahnya memiliki bekas luka karena cacar. Ia pendek, dempak dan sedikit buncit. Tangannya kecil tapi tangkas, bibir tebalnya yang besar selalu basah. Bau aneh yang menjijikkan memancar dari tubuhnya. Dan jari kecilnya yang gemuk bergerak dengan cekatan di seluruh bagian tubuh Begum Jaan – sekarang di pinggang, nanti di pinggul, lalu meluncur turun ke paha dan berlari menyusuri pergelangan kaki. Tiap kali aku duduk di samping Begum Jaan, mataku akan terpaku pada tangantangan yang berkeliaran itu. 

Sepanjang tahun Begum Jaan akan mengenakan kurta jaali karga dari Hyderabad, putih dan melembung, serta piyama berwarna cerah. Dan jika udara sedang hangat serta kipas angin menyala, ia akan menyelimuti dirinya dengan selendang tipis. Ia menyukai musim dingin. Aku pun senang tinggal di rumahnya pada musim tersebut. Ia jarang sekali keluar rumah. Sambil berbaring di atas karpet, ia mengunyah buah-buahan kering saat Rabbu mengusap punggungnya. Pelayan yang lain merasa iri hati pada Rabbu. Si penyihir! Ia makan, duduk bahkan tidur dengan Begum Jaan! Rabbu dan Begum Jaan menjadi bahan gunjingan mereka di setiap waktu luang. Seseorang tinggal menyebut nama mereka dan semua akan tertawa terbahak-bahak. Betapa menarik kisah yang mereka buat tentang Rabbu dan Begum Jaan! Begum Jaan tidak menyadari hal ini, terpisah seakan-akan dia berada di dunia luar. Eksistensi Begum Jaan terpusat pada dirinya sendiri dan gatal-gatal yang ia alami. 

Aku telah mengatakan bahwa aku sangat muda saat itu dan sangat menyukai Begum Jaan. Ia pun menyukaiku. Ketika ibuku memutuskan untuk pergi ke Agra, ia menitipkanku pada Begum Jaan selama seminggu. Ia tahu jika tinggal sendiri di rumah, maka aku akan berkelahi dengan para abangku atau berkeliaran di luar. Rencana ini menyenangkan kedua pihak, baik Begum Jaan maupun diriku sendiri. Lagipula ia adalah saudari angkat ibuku! Sekarang pertanyaannya adalah – dimana aku akan tidur? Di kamar Begum Jaan, seharusnya. Sebuah ranjang kecil berada di samping ranjang miliknya. Hingga pukul sepuluh atau sebelas malam kami mengobrol dan bermain kartu. Setelah itu aku pergi ke ranjangku. Rabbu tetap mengusap punggungnya saat aku tertidur. “Wanita buruk rupa!” aku pikir. Aku terbangun di malam hari dan terkejut. Saat itu gelap gulita dan selimut perca Begum Jaan bergoyang dengan kuat seolah-olah seekor gajah sedang berkelahi di dalamnya.  

“Begum Jaan…,” aku nyaris tak dapat berkata-kata karena saking takutnya. Gajah tersebut kemudian berhenti bergoyang dan selimut perca merosot ke bawah.  

“Ada apa? Tidurlah kembali.” Suara Begum Jaan terlihat datang dari suatu tempat. 

“Aku takut,” rengekku. 

“Tidurlah kembali. Apa yang kau takutkan? Bacalah Ayat Kursi.” 

“Baiklah…” Aku mulai membaca doa, tapi setiap aku sampai pada bait ya lamu ma bain… Aku lupa bacaan selanjutnya walau pun aku tahu keseluruhan ayat itu di luar kepala. 

“Bolehkah aku menghampirimu, Begum Jaan?” 

“Tidak, gadis kecil… tidurlah kembali.” 

Nada bicaranya tergesa-gesa. Lalu aku mendengar dua orang berbisik. Ya Tuhan, siapa orang lain itu? Aku sangat takut. 

“Begum Jaan… Aku rasa ada seorang pencuri di dalam kamar.” 

“Tidurlah, gadis kecil… Tidak ada pencuri.” Ini suara Rabbu. Aku menarik selimut percaku ke muka dan kemudian tertidur. 

Di pagi hari, aku telah melupakan sama sekali adegan mengerikan yang terjadi malam sebelumnya. Aku selalu berilusi – malam-malam yang menakutkan, tidur-berjalan dan mengigau menjadi keseharian yang terjadi di masa kecilku. Semua orang bilang aku kerasukan setan. Maka kejadian itu kemudian keluar dari ingatanku. Selimut perca terlihat murni sempurna di pagi hari.  

Akan tetapi, di malam berikutnya aku terbangun kembali dan mendengar Begum Jaan dan Rabbu bertikai dengan nada yang pelan. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan dan apa dampak dari pertikaian tersebut, tetapi aku mendengar Rabbu menangis. 

Kemudian datang suara mencucup seperti kucing sedang menjilati piring… Aku sangat takut dan kembali tidur. 

Di hari berikutnya Rabbu pergi untuk menengok putranya, seorang anak muda yang pemberang. Begum Jaan sudah melakukan banyak hal untuk membantunya – memberinya sebuah jongko, memberikannya pekerjaan di desa. Namun ia tak kunjung merasa puas. Ia tinggal dengan Nawab Saheb untuk beberapa saat, di mana ia mendapatkan pakaian baru dan berbagai hadiah dari Nawab; namun dia melarikan diri tanpa alasan yang jelas dan tidak pernah kembali, bahkan untuk melihat Rabbu… 

Rabbu pergi mendatangi rumah kerabat untuk menjumpai anaknya. Begum Jaan enggan melepasnya pergi namun ia sadar bahwa Rabbu tidak punya pilihan. Oleh karena itu, ia tidak mencegah kepergian Rabbu. 

Sepanjang hari, Begum Jaan kehilangan sebagian dirinya. Tubuhnya sakit di setiap sendi, namun dirinya tidak dapat menahan sentuhan dari siapa pun. Ia tidak makan apa pun dan terus bermuram durja di kamarnya seharian. 

“Bolehkah aku mengusap punggungmu, Begum Jaan…?” aku bertanya dengan gembira saat mengocok deretan kartu. Ia mulai menatapku. 

“Bolehkah, sungguh?” Aku menyimpan kartu dan mulai mengusap punggungnya ketika Begum Jaan berbaring diam. Rabbu seharusnya kembali esok hari… tetapi kenyataannya tidak. Begum Jaan semakin dongkol. Ia menenggak cangkir demi cangkir teh dan kepalanya mulai sakit. 

Aku kembali mulai mengusap punggungnya yang lembut bagai permukaan meja. Aku mengusap dengan hati-hati dan senang bisa berguna untuk Begum Jaan. 

“Sedikit lebih keras… buka talinya,” Begum Jaan berkata. 

“Di sini… sedikit di bawah bahu… tepat… Ah! Sungguh menyenangkan…” ia menyatakan kepuasannya dengan napas penuh berahi. “Sedikit lebih jauh…,” Begum Jaan, dengan tangannya, mengerahkan titik yang ingin ditujunya. Tapi ia ingin aku yang mengusapnya. Betapa bangga rasanya! “Di sini… oh, oh, kamu menggelitikku… Ah!” Dia tersenyum. Aku mengobrol saat aku melanjutkan memijat Begum Jaan. 

“Besok aku akan memintamu ke pasar… Apa yang kau mau?... Sebuah boneka yang mampu tidur-bangun sesuka hatimu?” 

“Tidak, Begum Jaan… Aku tidak mau boneka… Anda pikir aku masih bocah?” 

“Kalau begitu kau adalah wanita tua,” ia tertawa. “Kalau tak mau boneka perempuan, aku akan membelikanmu boneka laki-laki… Dandani ia semaumu. Aku akan memberimu banyak kain. Setuju?” 

“Setuju,” aku menjawab. 

“Di sini,” Ia meraih tanganku dan menempatkannya di mana ia merasa gatal dan aku tenggelam dalam pikiran mengenai boneka laki-laki, terus menggaruk Begum Jaan dengan lesu ketika ia berbicara. 

“Dengar… kau butuh lebih banyak gaun. Besok aku akan bilang pada penjahit dan memintanya untuk menjahitkan satu gaun baru untukmu. Ibumu telah meninggalkan beberapa kain.” 

“Aku tidak mau yang warnanya merah… terlihat murahan,” aku mengoceh, tak sadar ke mana tanganku berkelana. Begum Jaan tetap berbaring… Oh Tuhan! Kusentak tanganku menjauh. 

“Hey gadis kecil, perhatikan ke mana tanganmu… kau menyakiti tulang rusukku.” Begum Jaan tersenyum nakal. Aku merasa malu. 

“Kemari dan berbaringlah di sampingku…” Ia membuatku berbaring dengan kepalaku di atas lengannya “Betapa kurusnya dirimu… tulang rusukmu mencuat keluar.” Ia mulai menghitung tulang rusukku. 

Aku berusaha melawan. 

“Ayolah, aku tak bermaksud memangsamu. Betapa ketatnya sweter ini! Dan kau tidak memakai rompi hangat di dalamnya.” Aku merasa sangat tidak nyaman. 

“Berapa banyak tulang rusuk yang kau punya?” Ia mengganti tema pembicaraan. 

“Sembilan di satu sisi dan sepuluh di sisi yang lain,” cerocosku, dari pelajaran ilmu kesehatan di sekolah, agak tidak jelas. 

“Ambil tanganmu… Mari kita lihat… satu, dua, tiga…” 

Aku ingin kabur, tapi ia memegangku erat-erat. Aku mencoba meloloskan diri dan Begum Jaan mulai tertawa terbahak-bahak. Sampai sekarang, kapan pun aku mengingat wajah Begum Jaan pada saat itu, aku merasa gelisah. Kelopak matanya turun, bibir bagian atasnya memunculkan bayangan hitam, dan bulatan-bulatan kecil keringat berkelip di bibir dan hidungnya yang meski pun saat itu cuaca dingin. Tangannya sedingin es tetapi basah seolah-olah kulitnya terkelupas. Ia menanggalkan selendangnya dan dalam balutan kurta karga, tubuhnya bersinar seperti gumpalan adonan. Kancing emas yang berat pada kurta itu terbuka dan berayun ke sisi yang lain. 

Saat itu malam hari dan kamar telah diselimuti kegelapan. Ketakutan yang aneh menguasai diriku. Tatapan tajam dari Begum Jaan terpusat ke arahku dan aku ingin menangis. Ia mendesakku seakan-akan aku adalah sebuah boneka lilin, dan bau dari tubuh hangatnya membuatku hampir muntah. Tetapi Begum Jaan seperti seseorang yang kerasukan. Aku tidak bisa berteriak atau pun menangis. 

Setelah beberapa waktu, ia mulai berhenti dan terbaring kelelahan. Ia terengah-engah dan wajahnya terlihat pucat dan kuyu. Aku pikir dia akan meninggal dunia dan bergegas keluar kamar… 

Puji Tuhan Rabbu telah kembali malam itu. Dengan rasa takut aku kembali ke ranjang agak awal dan menarik selimut perca menutupi diriku. Namun butuh beberapa jam sebelum bisa terlelap. 

Butuh waktu lama sebelum ibu kembali dari Agra! Aku telah sebegitu takutnya pada Begum Jaan sampai-sampai aku menghabiskan seluruh hari ditemani oleh para pelayan.  Aku juga merasa terlampau gugup untuk menginjakkan kaki ke kamarnya. Apa yang harus aku katakan pada orang lain? Apakah aku takut pada Begum Jaan? Begum Jaan yang sangat melekat padaku? 

Hari itu Rabbu dan Begum Jaan kembali bertikai. Ini bukan pertanda baik untukku karena pikiran Begum Jaan secara cepat mengarah padaku. Ia sadar bahwa aku berkeliaran di luar ketika cuaca sedang dingin dan mungkin akan mati karena pneumonia! “Gadis kecil, kau mau membuatku malu di depan umum? Jika sesuatu terjadi padamu, itu akan menjadi sebuah bencana.” Ia menyuruhku duduk di sampingnya saat ia membasuh muka dan tangannya di baskom air. Teh telah tersedia di meja di sampingnya. 

“Tolong buatkan teh… dan berikan aku satu cangkir,” ia berkata sambil mengelap mukanya dengan handuk. “Sementara itu aku akan berganti pakaian.” 

Kubawakan tehnya ketika Begum Jaan berpakaian. Saat tubuhnya dipijat, ia memanggilku berulang kali. Aku datang, memalingkan muka dan bergegas keluar setelah menyelesaikan tugas. Ketika ia berganti pakaian, aku mulai merasa gelisah. Untuk memalingkan muka dari Begum Jaan, ku seruput tehku. 

Hatiku sangat merindukan ibu. Hukuman ini jauh lebih berat dari yang aku dapatkan saat berkelahi dengan para abangku. Ibu selalu tidak suka ketika aku bermain dengan anak lakilaki. Sekarang beritahu aku, apakah mereka kanibal yang akan memangsa orang-orang yang terkasihnya? Dan siapa mereka?  Ya abangku sendiri dan teman-temannya yang lemah! Ibuku adalah seseorang yang percaya bahwa perempuan tidak boleh bergaul dengan yang bukan muhrimnya. Dan Begum Jaan lebih buruk daripada semua pemalas dari seluruh dunia. Dibiarkan telantar seorang diri, aku harus bisa kabur ke jalanan – bahkan lebih jauh! Tetapi aku tak berdaya dan harus tetap tinggal, bertentangan dengan keinginanku. 

Begum Jaan merias dirinya dengan saksama dan membubuhkan wewangian beraroma attar ke tubuhnya. Lalu ia mulai melimpahankan perhatiannya padaku. “Aku ingin pulang,” - itu jawabanku atas semua usul yang keluar dari mulutnya. Lalu aku mulai menangis. 

“Kemari… mendekatlah padaku… Aku akan membawamu ke pasar hari ini. Setuju?” 

Namun aku bersikukuh, tetap pada pendirianku untuk dapat pulang. Seluruh mainan dan manisan di dunia ini tidak lagi menarik bagiku. 

“Abangmu akan menghajarmu, kau adalah penyihir,” Ia menepuk pipiku penuh kasih sayang. 

“Aku tak peduli.” 

“Mangga muda rasanya kecut, Begum Jaan,” desis Rabbu, terbakar oleh api cemburu. 

Tiba-tiba Begum Jaan mengalami kejang-kejang. Kalung emas yang ia tawarkan padaku beberapa waktu lalu copot berkeping-keping. Kain dupattanya robek tercabik-cabik. Dan rambutnya yang tak pernah berantakan sekarang terlihat kacau karena kusut.  

“Oh! Oh! Oh!” Ia berteriak di sela kejang-kejangnya. Aku melarikan diri. 

Begum Jaan kembali sadar setelah berbagai kericuhan dan pertolongan. Ketika aku mengintip ke dalam kamar dengan berjinjit, aku melihat Rabbu mengusap tubuh Begum Jaan, meringkuk di balik pinggangnya.  

“Lepas sepatumu,” Rabbu berkata ketika ia mengusap tulang rusuk Begum Jaan. Seperti seekor tikus, aku meringkuk ke dalam selimut percaku. 

Muncul suara aneh lagi. Dalam gelap, selimut perca milik Begum Jaan kembali bergoyang seperti seekor gajah. “Allah! Ah!.. ” erangku pelan. Gajah yang ada di dalam selimut perca menyembul, lalu ia duduk. Aku terdiam. Si Gajah kemudian mulai kembali bergoyang. Aku terbujur kaku ketakutan. Meskipun demikian, aku telah memutuskan untuk menyalakan lampu malam itu, apa pun yang terjadi. Gajah itu mulai menggelepar sekali lagi dan terlihat seperti mencoba berjongkok. Muncul suara seseorang mengecap bibir, seperti sedang menikmati acar yang lezat. Sekarang aku mengerti! Begum Jaan tidak makan apa pun seharian. Dan Rabbu, si penyihir, adalah si rakus yang jahat. Ia pasti sudah melahap beberapa barang. Kulebarkan lubang hidungku; aku mencium udara yang beraroma. Hanya bau dari attar, kayu cendana dan inai, tidak ada yang lain.  

Lagi-lagi selimut perca itu bergoyang. Aku mencoba untuk tetap berbaring, namun selimut perca itu mulai berbentuk aneh hingga aku benar-benar terkejut. Ia tampak seperti seekor kodok besar yang membusungkan dirinya dengan bising dan akan meloncat ke arahku. 

“I… Ibu…” Aku merengek sekeras mungkin. Tidak ada seorang pun yang acuh. Selimut perca tersebut merasukki otakku dan menjelma semakin besar. Aku meregangkan kakiku dengan gugup ke sisi lain ranjang untuk meraba sakelar dan menyalakannya. Gajah itu kemudian berjungkir balik di dalam selimut perca dan mengempis seketika. Saat terjungkir, sudut dari selimut perca itu naik hampir satu kaki! 

Oh Tuhanku! Aku terkesiap dan tersungkur ke ranjangku. (*)

 

Catatan:

1. Begum adalah panggilan untuk perempuan dewasa Muslim kelas atas. Sedangkan Jaan memiliki arti yang terkasih atau setara dengan dear dalam bahasa  Inggris.

2. Saheb adalah panggilan untuk laki-laki dewasa. 

3. Attar adalah minyak esensial yang berasal dari tumbuhan 

4. Dupatta adalah material yang seringkali digunakan sebagai penutup kepala oleh perempuan Asia Selatan.

 

Ismat Chughtai adalah seorang penulis asal India. Mulai tahun 1930-an, ia menulis secara luas tentang tema-tema seksualitas, feminisme, kaum bangsawan kelas menengah, dan konflik kelas. "Lihaaf" ("The Quilt") adalah cerita pendek berbahasa Urdu yang ditulis oleh Ismat Chughtai. Cerpen yang diterbitkan di jurnal sastra Urdu Adab-i-Latif ini menimbulkan banyak kontroversi, di mana Ismat harus membela diri di sebuah pengadilan karena karyanya.