HUMANIORA
27 Jun 2019 06:54
1529
Memulai Cerita dengan “Bagaimana Jika”

Ketika berbicara prosa, tentu ada cerita di dalamnya. Lalu bagaimana cara memulainya? Banyak. Saya selalu percaya bahwa setiap karya sastra selalu punya jalan dan kesulitannya masing-masing. Ketika berbicara puisi maka kesulitannya adalah soal kedalaman makna dan fungsi kata. Ketika berbicara lakon (naskah drama) maka saya memikirkan bagaimana adegan yang ditata dapat masuk dalam atmosfer dan logika pemanggungan. Sementara ketika berbicara prosa, maka kita berbicara soal meyakinkan pembaca dengan dunia rekaan kita.

Setidaknya bagi saya sendiri ketika membaca sebuah karya, ada hal yang kiranya bisa didapat, misal: (1) gagasan apa yang dituangkan atau tidak ada gagasan sama sekali untuk dituangkan (keduanya sama baiknya), (2) warna atau premis apa yang diangkat (3) bagaimana teknik dan gaya dimainkan (narasi besar atau tema remeh temeh sekalipun akan menarik bila memperhitungkan ini).

Cerpen, dalam bentuknya yang paling purba sekalipun selalu berusaha meyakinkan pembaca. Di dalam dunia nyata kita bisa mendapati hal-hal yang irasional terjadi di kolom-kolom berita bombastis dan clickbait. Sementara di tatanan fiksi, hal yang kiranya sulit untuk terjadi secara entitas fisik maupun imajiner: ia harus berlandaskan kenyataan.

Hal pertama yang saya mulai dalam bercerita (dalam format apapun), saya menggunakan premis: bagaimana jika (what if). Itu adalah semacam bentuk termudah dan cepat dalam menstimulus imajinasi. Misal, bila menganggit secara acak:

1. Bagaimana kalau sebongkah mayat dapat hidup kembali setelah sebuah meteor jatuh di halaman belakang rumah kita? (Meteoroit - Sony Karsono)

2. Bagaimana Jika Chairil Anwar, Stalin, Gandhi dan Marilyn Monroe ada dalam sebuah forum yang mendiskusikan tentang perdamaian dunia? (Sebelum Pertemuan Dimulai -  A.A Navis)

3. Bagaimana kalau suara telpon yang tidak diangkat dapat berlanjut ke berbagai generasi dan zaman? (Kringgg - SGA)

4. Bagaimana bila pemberian kado natal dari pasangan yang saling mencintai ternyata tak lagi bermanfaat secara fungsional? (Gift of Magi - O’ Henry)

5. Bagaimana cara pikiran kita berdialektika antara setuju atau tidak dalam menginterpretasi karya seni? (Sebuah Karya Seni - Anton Chekhov)

6. Bagaimana bila tokoh kita diberi pilihan: istana atau sahabatnya sendiri? (Hang Tuah)

7. Bagaimana bila sepasang tokoh kita mengalami pelarangan soal percintaan? (Siti Nurbaya, Romeo dan Juliet, Sampek Engtay)

8. Bagaimana bila dua rembulan menggantung di langit dan dunia tetap berjalan biasa-biasa saja? (1Q84 – Haruki Murakami)

9. Bagaimana bila bahasa dan tindak tanduk manusia di sebuah negara telah terkekang karena tidak adanya privasi lagi buat mereka? (1984 – George Orwell)

10. Bagaimana bila seorang waria tewas terkena peluru nyasar ketika para temannya melakukan unjuk rasa? (Opera Kecoa – N. Riantiarno)

Daftar tersebut bisa lebih panjang. Mengingat cerita adalah elemen yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dari zaman batu hingga mesin. Dari klasik hingga postdramatik. Dari tindak tutur konvensional hingga eksperimental. Formula “bagaimana jika” memainkan peranan penting dalam tatanan imajinasi. Ia semacam rumus yang mengikat pada lapis pertama dan melepaskan ikatannya pada lapis kedua. Ia tidak hanya bermain di wilayah abstrak namun telah konkret dan final sedari kalimat. 

Tentu tak ada yang baku dan kaku dalam penulisan fiksi. Semua bisa bertentangan bila melihat cerita-cerita yang non-dramatis. Cerita yang banyak bermain di arus kesadaran dan soliloki. Namun, di balik arus kesadaran dan racauan tersebut, masih tersimpan konflik yang kita pelajari sejak sekolah: konflik batin. Dan itu esensi cerita: konflik. Cerita yang berusaha menginterupsi cerita, cerita yang tidak memiliki konflik, cerita yang enggan bercerita dan semacam cerita panduan yang pernah dibaca lewat tulisan spekulatif ini. 

 

*Tulisan pengantar ini sebelumnya pernah dibagikan di diskusi grup WhatsApp Prosa Tujuh.