HUMANIORA
27 Jul 2019 06:59
1380
Budaya Ketimuran yang Akrab dengan Seksualitas

Penakota.id - Minah terkejut pagi itu. Saat merapikan kamar Sahili, anak lelakinya, ia menemukan cairan kental putih di kasurnya. Ia langsung menduga bahwa Sahili telah mengalami proses pubertas: mimpi basah. Ia merasa perlu segera berbincang dengan Sahili, khawatir Sahili kebingungan dengan apa yang baru saja dialaminya. Namun, ia tak tahu bagaimana harus memulainya. Ia canggung karena menganggap perkara seksualitas adalah hal yang tabu. Membicarakannya, meskipun tujuannya untuk mendidik sang anak, dianggap kurang pantas. 

Cuplikan adegan tersebut terdapat pada salah satu episode komedi situasi yang populer di layar kaca Indonesia pada awal 2000-an, Bajaj Bajuri. Kendati hanya rekaan, ceritanya merefleksikan alam pikir mayoritas masyarakat Indonesia tentang seksualitas, bahkan hingga hari ini. 

Perkara seksualitas dianggap tak pantas untuk dibicarakan secara terbuka. Ia harus ditutup serapat mungkin. Ada beragam dalih yang melandasinya. Namun, dalih yang paling sering diucapkan dan direproduksi—selain dalih agama—adalah ketidaksesuaian dengan budaya ketimuran.

Pada Maret lalu (23/3/2019) misalnya. Patung putri duyung bertelanjang dada di Ancol, Jakarta Utara, ditutupi kemben pada bagian dadanya. Rika Lestari, Pengelola Taman Impian Jaya Ancol, mengatakan tindakan itu merupakan bentuk penyesuaian budaya. 

“Kita, kan, orang Timur. Kita [menganut] budaya ketimuran. Jadi, yang tadinya terlihat tidak pantes [dengan budaya ketimuran] ya kita pantesin,” ujarnya dilansir dari Kompas. 

Di Indonesia, setiap tanggal 14 Februari, narasi budaya ketimuran juga acap digaungkan oleh mereka yang menolak perayaan Valentine. Mereka mengidentikan Valentine dengan seks bebas yang, menurut mereka, tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Alasan ini bahkan dijadikan kebijakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bondowoso untuk melarang pelajar SD dan SMP di Bondowoso merayakan Valentine. 

 

Akrab dengan Seksualitas

Sampai saat ini, belum ada definisi pasti mengenai apa itu budaya ketimuran. Imbasnya, setiap orang atau kelompok bisa membongkar dan menyunting ulang narasinya sesuai dengan kepentingan masing-masing.

“Isu budaya itu sangat dinamis dan selalu ada upaya untuk mengesensialisasikannya. Budaya ketimuran misalnya, dalam diskursus besar sering dibenturkan dengan budaya barat, baik dari segi filsafat maupun world view-nya,” ujar Samsul Maarif, pengajar Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, dikutip dari Tirto.id. 

Seperti yang diungkapkan Maarif, budaya ketimuran sering dianggap berlawanan dengan budaya Barat. Dalam persepektif yang biner ini, secara umum budaya Timur dinilai sebagai budaya yang penuh kesopanan, tata karma, dan moralitas. Ia berbeda dengan budaya Barat yang dianggap penuh kebebasan dan amoral. 

Dalam hal seksualitas misalnya, budaya Timur dianggap mampu menyikapinya dengan cara yang lebih beradab dibandingkan budaya Barat yang gemar mengeksplorasi seksualitas tanpa tedeng aling-aling. 

Anggapan demikian, selain penuh bias, juga kontradiktif. Jika kita menilik sejarah, justru apa yang dianggap sebagai budaya ketimuran itulah yang juga getol mengeksplorasi pengalaman seksual.

Dalam buku Babad Tanah Jawi yang berisi kronik sejarah raja-raja Jawa, terdapat kisah Pangeran Puger saat diangkat menjadi raja Kasunanan Kartasura, kerajaan lanjutan dari Kesultanan Mataram. Puger yang mendapatkan bantuan dari VOC berhasil mengalahkan Amangkurat III (keponakannya sendiri) dalam perebutan takhta. Namun, Puger merasa kekuasaannya belum mendapatkan legitimasi dari raja sebelumnya, Amangkurat II, yang juga merupakan kakaknya. 

Bagaimana kemudian Puger membangun legitimasinya?  Dikisahkan dalam buku itu, Puger mengisap sperma Amangkurat II—yang sudah jadi mayat—untuk membangun legitimasi sebagai raja. 

Babad memang bukan karya ilmiah sejarah. Isinya adalah campuran antara fakta dan fiksi. Tapi, dalam konteks membangun legitimasi sebagai raja di hadapan rakyat, sudah tidak lagi soal apakah itu fakta atau fiksi. Yang terang, membangun legitimasi dengan cara mengisap sperma raja sebelumnya dianggap sebagai narasi yang bisa diterima oleh rakyat. 

Di Purworejo, Jawa Tengah, ada tradisi gowok yang cukup tersohor di masa lalu. Pada tradisi ini, seorang pemuda atau bujang yang hendak menikah akan mendapatkan pengajaran dari seorang perempuan dewasa (gowok) tentang segala hal mengenai kehidupan rumah tangga. Perkara hubungan ranjang suami-istri jelas termasuk di dalamnya. 

Iman Budhi Santosa dalam Kisah Polah Tingkah: Potret Gaya Hidup Transformatif (2001), pernah menjelaskan bagaimana gowok amat penting perannya dalam proses pernikahan masa lalu. 

“Begitu lamaran dari calon pengantin pria diterima dan hari pernikahan ditentukan, kedua keluarga harus bersepakat memilih gowok untuk calon pengantin pria tersebut. Setelah persetujuan tercapai, keluarga calon pengantin pria menghubungi gowok yang bersangkutan. Selanjutnya calon pengantin pria diserahkan kepada gowok (tinggal di rumah gowok) untuk mendapatkan pelajaran teori maupun praktik perihal seluk-beluk hubungan suami-istri. Diharapkan apa yang diperoleh dan dipraktikkan gowok tersebut dapat dikuasai dengan baik supaya nantinya dapat mengajari istrinya.”

Kisah lain di Babad Tanah Jawi tentang Roro Mendut juga cukup memerikan bagaimana seksualitas bukan hal yang asing di kebudayaan “orang-orang Timur”. 

Dikisahkan pasukan Kesultanan Mataram yang dipimpin Sultan Agung berhasil menumpas pemberontakan dari Pati. Roro Mendut yang dikenal cantik jelita kemudian dibawa oleh pasukan Mataram sebagai harta rampasan perang. 

Sultan Agung lantas menghadiahkan Roro Mendut kepada Tumenggung Wiraguna, panglima perang Mataram. Saat Wiraguna hendak mempersuntingnya, Roro Mendut menolak. Geram dengan penolakan itu, Wiraguna pun mewajibkan Roro Mendut untuk membayar pajak setiap hari. Jika tidak dipenuhi, ia harus mau menikah dengan Wiraguna.

Roro Mendut lantas berjualan rokok kelobot untuk bisa memenuhi kewajiban itu. Menariknya, harga rokok yang utuh dijual lebih murah dibandingkan puntungnya. Ada alasan sensual di balik ini: puntung tersebut adalah bekas rokok yang telah dikulum dan dihisap oleh Roro Mendut. Nilai sensual itulah yang membuatnya mahal.

Banyak juga kitab-kitab kuno nusantara yang menjelaskan dengan amat detail tata cara hubungan seks. Di Jawa misalnya, ada kitab Serat Centhini. Di Bugis, ada kitab Assikalaibineng. Di Riau ada kitab Cempaka Putih yang dijuluki “Kamasutra Melayu”, ditulis pada abad ke-19. Selain menjelaskan tata cara berhubungan seks, kitab ini bahkan dilengkapi ilustrasi laki-laki dan perempuan yang sedang berhubungan intim. 

Uraian-uraian tersebut bukan untuk mempromosikan pornografi, melainkan untuk menjelaskan bahwa perkara seksualitas adalah wacana yang semestinya terbuka untuk diperbincangkan. Jika ada yang menganggap itu bertentangan dengan budaya ketimuran, maka klaim tersebut gugur dengan sendirinya mengingat apa yang ia anggap sebagai “budaya ketimuran” justru tak luput dan kasip dalam hal mengeksplorasi pengalaman seksual. 

Saat seksualitas tidak lagi tabu untuk dibicarakan, maka guru pun bisa leluasa memberikan pendidikan seksual kepada murid-muridnya. Tidak akan ada orang tua yang kebingungan atau canggung saat hendak mendidik tentang seksualitas kepada anaknya, sebagaimana tokoh Minah dalam Bajaj Bajuri. Korban pelecehan seksual pun tak akan lagi malu untuk melaporkan tindakan pelecehan yang telah dialaminya—demi terwujudnya keadilan.

 

Editor: Galeh Pramudianto