HUMANIORA
05 Aug 2020 15:38
1661
Mengungkap Abadinya Momok 1965

Penakota.id - Selain Agustus, September merupakan bulan yang akan diingat oleh bangsa Indonesia. Bila Agustus diingat sebagai bulan yang penuh suka cita dan gegap gempita serta heroisme karena Indonesia memerdekakan diri pada Agustus 1945. Maka September, memori kolektif warga dipaksa untuk mengingat momok: luka, ketakutan, dan kesedihan, karena adanya pembunuhan enam orang jenderal dan satu orang polisi akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tak hanya mengingat luka, G30S juga diingat sebagai sebuah tindakan heroik oleh tentara—terutama Soeharto dan Angkatan Darat (AD)—yang kemudian dijadikan legitimasi untuk menggulingkan Soekarno dari tampuk kekuasaan.

Tak cukup di situ, Soeharto dan tentara juga mengklaim bahwa dirinya adalah satu-satunya penegak Pancasila. Lantas, ia menggunakan Pancasila untuk mengidentifikasi dirinya dari musuh-musuhnya yang dianggap sangat tidak pancasilais atau bahkan komunis. Setidaknya, pengidentifikasian itu terjadi bertahan hinga saat ini untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial. Bahkan, masih berlaku bagi mereka yang kritis kepada pemerintah.

Apa yang terjadi pada peristiwa G30S merupakan titik kulminasi dari kontestasi dalam merebut pengaruh Soekarno. Konfigurasi kekuatan politik saat itu terbagi tiga: Soekarno, PKI dan Tentara. Soekarno membutuhkan dukungan politik untuk menjalankan segala rencana dan tujuan politiknya yang sangat anti-neokolonialisme dan imperialism (Nekolim). Hal itu yang lebih membuatnya menjadi sangat dekat dengan PKI.

Sedangkan tentara, di satu sisi dengan segala kepentingan ekonomi dan politiknya tak rela bila tampuk kekuasaan nantinya akan jatuh ke genggaman PKI. Oleh sebab itu, mereka melakukan perimbangan kekuasaan. Bila, PKI membentuk Front Nasional sebagai dukungan rakyat semesta, maka tentara membentuk Golongan Karya (Golkar). Singkatnya, terjadi dengan berbagai macam intrik politik yang terjadi saat itu. PKI masuk perangkap tentara. Melalui Kolonel Untung—tentara yang dekat PKI—, ia melakukan penculikan dan pembunuhan. Dengan demikian, tentara berhasil mempunyai legitimasi untuk menghabisi PKI dan para simpatisannya (hlm.38-43).

Kemudian, Soeharto menarasikan masa lalu komunis yang sebagai sebuah “kekuatan jahat”, “the evil”, “ateis”, “tidak sesuai dengan watak bangsa” dan “pengkhianat bangsa”. Budiawan (2004) memberikan sejumlah contoh cerita rakyat yang dia alami sendiri semasa menjalani sekolah dasar dan menengah. Apa yang dialami oleh Budiawan ini hanya sebagian kecil dari ratusan ribu orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI.

Melalui buku Propaganda dan Genosida di Indonesia, Saskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana coba mengungkap dan memaparkan bagaimana hegemoni Orde Baru mewarisi ingatan G30S dan PKI. Setidaknya ada tiga ranah yang menjadi “lahan” Orde baru menancapkan hegemoni dan propagandanya, yaitu: pendidikan, pers, dan organisasi masyarakat (ormas). Ketiganya diorkestrasi oleh tentara.

Pertama, pendidikan. Menulis ulang sejarah, merupakan pekerjaan utama para pemenang sejarah. Melalui kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) yang dikepalai oleh Nugroho Notosusanto, Soeharto menuliskan ulang untuk melakukan dekonstruksi wacana komunis dengan melibatkan banyak kepentingan tentara di dalamnya.

Bahkan, Wijaya Herlambang (2013) menjelaskan dunia akademis di Indonesia, di mana peran-peran peneliti asing yang berusaha mengungkap kebenaran peristiwa 1965 dan pembunuhan masal terhadap anggota PKI berusaha disumbat suaranya dan ditangkal dengan tulisan-tulisan sejarah versi pemerintah. Pada film dan buku-buku tentang PKI, Orde Baru menggunakan simbol-simbol bahasa dan gambar dalam film dan novel dibongkar ulang dan ditemukan cara-cara menyusupkan pesan bahwa komunis diidentikan dengan kebiadaban.

Menurutnya, aspek-aspek kebudayaan, bidang-bidang simbolis seperti agama, ideologi, bahasa, seni, dan pengetahuan empiris serta pengetahuan formal dapat digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi kekerasan langsung dan struktural. Oleh sebab itu, meskipun Soeharto sudah lengser 22 tahun yang lalu, pekerjaan meluruskan sejarah terasa mandeg. Pelurusan sejarah hanya dapat terjadi pada masa awal-awal reformasi. Hal itu disebabkan, pengaruh tentara di dalam pendidikan masih menancap begitu kuat.

Kedua, pers. Menguasai media massa adalah cara terbaik lainnya untuk memengaruhi isi kepala manusia secara singkat. Oleh sebab itu, pada awal penemuan mayat-mayat jenderal yang terbunuh, tentara menyebarkan hoaks yang selama ini masih dipercaya oleh banyak orang, yaitu amoralnya Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) saat melakukan pembunuhan (hlm.119).

Gerwani dituduh melakukan tarian telanjang dan pesta seks, sebelum mereka dituduh menyilet jenderal dan memotong kemaluan para jenderal. Dengan tidak mengindahkan verifikasi dan cover both side, pers saat itu hanya menjadi corong tentara dan dikontrol sedemikian ketat selama Orde Baru berkuasa (David T. Hill, 2011).

Ketiga, organisasi masyarakat. Saat tentara ingin melakukan pembersihan atau pembantaian kepada siapa saja yang dituduhkan PKI, mereka tak ingin mengotori tangannya. Tentara memanfaatkan konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. Hermawan Sulistiyo (2000) menjelaskan adanya friksi antara Barisan Tani Indonesia (BTI)—organisasi sayap PKI— dan Kiai-kiai Nahdlatul Ulama (NU)—terutama Banser— dalam mendesak pemberlakukan reformasi agraria yang gencar dikampanyekan PKI (hlm.99). Pada saat itu, tak hanya menjadi NU menjadi korban, tetapi juga BTI.

Sentimen menahun itu dimanfaatkan oleh tentara untuk melakukan pembantaian. Dengan melibatkan massa, tentara dapat menghindari tuduhan pelanggaran HAM. Padahal, jelas-jelas tentara mengagitasi dan memprovokasi anggota Banser untuk membunuh simpatisan PKI.

Buku yang terdiri dari sembilan bab ini merupakan pilihan artikel untuk pelaksanaan Indonesian People’s Tribunal (IPT) 2015 lalu. Meski buku ini dapat dikatakan merupakan suara para korban dari peristiwa keji yang dilakukan oleh tentara pasca-G30S, tetapi buku ini tak hanya menghadirkan satu sumber dalam membangun narasi dan argumentasinya. Justru buku ini cukup objektif dan kritis dalam memaparkan setiap permasalahan yang terjadi kala itu.

Apa yang terjadi pada Indonesia pada 1965 merupakan sebuah krisis yang lazim terjadi sebagai sebuah bangsa. Krisis sebagaimana diungkapkan oleh Jared Diamond (2019) dapat menjadi titik balik sebuah bangsa untuk menjadi maju atau sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, krisis 1965 dapat dikatakan menjadi sebuah kemunduruan bagi kemanusiaan dan demokrasi di Indonesia. Musababnya, negara tak pernah mau meminta maaf atau setidaknya mengakui terjadinya pembunuhan massal merupakan sebuah kesalahan. Bahkan tak pernah menghukum para pelaku.

Oleh sebab itu, proses rekonsiliasi menyeluruh yang mestinya terjadi antara korban dan para pelaku tak pernah selesai. Bila ini diteruskan, maka pembunuhan massal akibat perselisihan politik akan sangat mungkin terjadi dan dibenarkan di kemudian hari. Tentu dengan dalih dan momok, kita vs mereka; Pancasila vs bukan Pancasila. Dan, tentara akan selalu bersiap mengambil alih kekuasaan dengan seolah-seolah bertindak sebagai seorang Santo. Seperti yang dikatakan oleh Soeharto, “Tentara memiliki perhatian yang sangat besar dalam tahap memodernisasi antara negara dan masyarakat serta berharap selalu dapat memainkan peran penting dalam setiap prosesnya.”

 

Judul Buku     : Propaganda dan Genosida di Indonesia

Penulis           : Saskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana

Penerbit         : Komunitas Bambu

Tahun Terbit  : Cetakan I, Juli 2020

ISBN              : 978-623-7357-11-7