HUMANIORA
20 Sep 2020 02:13
1793
Mengapa yang Dekat Begitu Asing: ‘Kita’ dan Sastra Asia Tenggara

Penakota.id - Beberapa waktu silam, ada satu pertanyaan yang dilemparkan di akun twitter (at)literarybase. Hal itu membuat saya sedikit bernostalgia. Pasalnya, pertanyaan itu pernah sekali waktu saya tanyakan ke diri sendiri, dan sedikit demi sedikit mendapatkan jawabannya. Pertanyaan itu adalah, “Kenapa rata-rata kita lebih kenal dengan kesusastraan Prancis atau Jerman dibanding kesusastraan tetangga sendiri (misal: Malaysia atau Thailand)?” — sejujurnya pertanyaan ini lebih spesifik ketimbang pertanyaan saya yang terlalu luas (yakni Kesusastraan Amerika dan Eropa). 

Pertanyaan di atas bisa saja tidak berterima bagi beberapa orang dan mereka mungkin saja enggan diasosiasikan sebagai ‘kita’ dari pertanyaan tersebut. Alasannya sederhana, mereka sudah merasa begitu dekat dengan buku-buku sastra dari negara tetangga Indonesia. Namun, alasan saya menulis ini adalah untuk ‘kita’ yang ada dalam bingkai pertanyaan tersebut. Yang tanpa ragu mengakui bahwa kita memang punya jarak dan terbatas dalam mengakses karya sastra dari negara tetangga.

Saya sendiri mengakui lebih mengenal buku-buku sastra Perancis dan Jerman ketimbang buku-buku sastra dari Asia Tenggara. Apalagi toko-toko buku mainstream (arus utama) juga lebih banyak menyediakan buku sastra Prancis dan Jerman ketimbang buku sastra dari Asia Tenggara. Bukti empirisnya, jika saya diminta menyebutkan 10 penulis Prancis/Jerman yang saya tahu dan sukai, tentu jawaban untuk soal ini akan terjawab jauh lebih cepat, ketimbang diminta untuk menjawab soal yang sama namun dari negara tetangga.

Untuk saya sendiri, hal ini pun berimbas pada beberapa hal lain. Beberapa teman yang meminta rekomendasi sastra klasik — jika mereka belum membacanya — biasanya akan saya arahkan ke trilogi novel karya Voltaire (Candide, Zadig, dan Si Lugu), atau Goethe (Faust). Alasannya seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Toko-toko buku, yang turut membentuk bacaan saya, lebih banyak menyediakan buku-buku sastra dari Prancis atau Jerman. Bahkan, beberapa penulis Indonesia yang saya baca juga merekomendasikan buku-buku sastra dari Prancis maupun Jerman.

Kita bisa dengan sangat mudah menemui nama-nama ini—Albert Camus, Antoine de Saint-Exupery, Alexander Dumas, Gao Xingjian, Gustave Flaubert, Jean-Paul Sartre, Jules Verne, Marquis de Sade, Simone de Beauvoir, Voltaire, Victor Hugo, Emile Zola, dll (dari Prancis); Anne Frank, Bertolt Brecht, Grimm Bersaudara, Gunter Grass, Herman Hesse, Karl May, Wolfgang von Goethe, Friedrich Schiller, dll (dari Jerman)—di toko buku, fisik maupun daring (khususnya para penjual buku di Indonesia) ketimbang penulis dari Asia Tenggara. 

Hal ini yang membuat kita berjarak dan pada akhirnya memilih untuk membaca yang tersedia. Kita boleh saja percaya bahwa selera bacaan itu ditentukan oleh diri sendiri, namun hal ini tidak sepenuhnya benar. Akses kita terhadap buku bacaan, dalam hal ini kesusastraan global, ditentukan oleh penerbit arus utama, toko buku dan kecakapan kita berbahasa asing. 

Sebelum kelak pembaca mulai mengeksplorasi bacaannya lebih jauh, selera kita sebagai pembaca lebih dulu ditentukan oleh toko buku, atau penerbit arus utama. Akses kita pada buku-buku sastra global berawal dari sini, di tangan kurator penerbit arus-utama. Sialnya, kurator penerbit arus utama di Indonesia — sejauh yang saya ketahui dan bisa saja keliru — biasanya mengekor ke pasar sastra global, khususnya pasar sastra Amerika Serikat, atau Inggris. Buku-buku sastra yang diterima dengan baik di sana, biasanya akan diterbitkan penerbit arus utama Indonesia. 

Efek dari hal ini bisa kita rasakan saat Patrick Modiano— penulis asal Prancis— meraih penghargaan nobel sastra pada 2014. Pembaca Indonesia yang kebanyakan belum mengenal Modiano dibuat keheranan dan bertanya-tanya, siapakah ia? Apa saja karyanya sehingga ia berhak menerima anugerah nobel di bidang kesusastraan? Dan lain sebagainya.

Faktanya, Modiano ternyata terkenal bagi pembaca Eropa, namun tidak di Amerika. Buku-buku Modiano, menurut pernyataan Eka Kurniawan dalam diskusi Sastra dan Intertekstualitas pada Desember 2019 lalu, sedikit sekali diterjemahkan oleh penerbit Amerika dan hanya dibaca dan diterjemahkah oleh penerbitan kampus dalam jumlah yang terbatas. Buku-bukunya tidak masuk dalam selera pasar sastra Amerika.

Kebetulan lain, Amerika juga memiliki kurasi pasarnya sendiri, dan utamanya mengikuti selera pembaca di negara mereka. Pemasaran untuk negara lain adalah bonus dan tidak masuk pertimbangan utama. Lalu para pembaca buku sastra di Indonesia—yang dalam hal ini diwakili oleh penerbit arus utama—akan mengekor ke sana dan pada akhirnya merasakan dampaknya.  

Di Indonesia, para pembaca sastra mungkin lebih kenal Haruki Murakami. Seorang penulis Jepang yang juga moncer dan laris di pasar sastra Amerika. Apakah ini suatu kebetulan? Tentu saja tidak. Ini adalah bentuk reduksi yang dihadapi oleh pembaca sastra global di Indonesia karena mengikuti selera pasar Amerika, khususnya bagi pembaca buku-buku sastra terjemahan.

Jika kita termasuk orang yang lebih mengenal karya-karya Gao Xingjian (RRT/Prancis) maupun Arthur Rimbaud (Prancis) ketimbang Prabda Yoon maupun Duanwad Pimwana (Thailand) atau Nin Harris maupun Tash Aw (Malaysia) yang secara geografis lebih dekat. Itu tidak sepenuhnya salah kita, apalagi jika kita termasuk yang hanya mengandalkan buku-buku terjemahan saja.

Beberapa orang yang mampu mengakses bacaan berbahasa Inggris mungkin sedikit beruntung, mereka bisa mengakses penulis Asia Tenggara yang menulis dalam bahasa Inggris. Tapi bagaimana cara mereka mengakses penulis yang menulis dalam bahasa lain? Pembaca jenis ini, mau tidak mau, mengandalkan penerbit yang mau menerjemahkan karya-karya penulis Asia Tenggara ke bahasa Inggris. Kedekatan para pembaca jenis ini juga ditentukan selera kurasi penerbit, yang sangat mungkin bias dan tereduksi karena hanya karya-karya penulis Asia Tenggara ‘tertentu’ saja yang diterjemahkan. Hal ini kerap terjadi dalam buku kumpulan cerita.

Misalnya untuk mengakses cerita pendek Eka Kurniawan, para pembaca berbahasa Inggris hanya dapat melakukannya dengan membaca Kitchen Curse (2019) saja. Faktanya, buku berisi 16 cerita pendek ini merupakan kumpulan yang disusun dari empat buku kumpulan cerita pendek Eka Kurniawan. Hal yang sama juga menimpa pembaca Indonesia ketika membaca kumpulan cerita Etgar Keret hanya dari bahasa Inggris, contoh, The Bus Driver Who Wanted to Be God (2001). Buku berisi 22 cerita pendek ini merupakan kumpulan yang disusun dari empat buku Keret: Pipelines (1992), Missing Kissinger (1994), Kneller's Happy Campers (1998)dan Anihu (2002).

Sebetulnya, untuk menyiasati bias dan reduksi semacam ini, kita bisa saja mengakses buku-buku dari para penulis Malaysia berbahasa Melayu yang masih satu rumpun dengan bahasa kita. Namun , hal itu sepertinya akan buat kita sedikit kerepotan. Alasannya, bahasa Indonesia sudah beranjak lebih jauh dari bahasa Melayu dan berkembang sedemikian rupa. Hal ini pun diungkap oleh Faisal Tehrani, penulis muda Malaysia yang cukup dikenal pembaca Indonesia belakangan, dalam esainya yang berjudul “Selamat Meninggalkan kami, Indonesia” di laman freemalaysiatoday.com.

Hal yang sama juga pernah diungkap oleh penulis Malaysia lainnya, Mohd. Jayzuan dalam siaran di program Titikdua (salah satu program siaran Ruru Radio) pada 2019 lalu. Rekaman siaran ini bisa diakses melalui kanal siniar Ruru Radio di Spotify. Ia merasa heran karena sastra Indonesia memiliki pembaca di Malaysia, namun tidak sebaliknya. Saya ingat betul anekdot dari Berto Tukan, salah satu penyiar Ruru Radio, untuk menjawab pertanyaan Mohd. Jayzuan. Begini bunyinya: “Ya, jangankan membaca sastra Malaysia. Orang-orang di sini saja malas baca sastra Indonesia. Jadi, tidak perlu khawatir.” 

Dari beberapa hal itu (selain karena tidak diterbitkan penerbit arus utama dan tidak tersedia di toko buku, juga kemampuan kita yang hanya mampu mengakses dari bahasa kedua), ketidakmampuan kita dalam mengakses bahasa dari negara-negara tetangga bisa dipastikan sebagai hal yang paling berpengaruh. Dan itu menjadi alasan utama mengapa eksplorasi kita terhadap karya-karya sastra dari negara Asia Tenggara begitu terbatas. 

Harapan yang paling mungkin, tentu saja dari penerbit independen yang kurasinya berbeda dengan penerbit arus utama. Setahu saya, sebelum penerbit arus utama mengenalkan kepada kita penulis-penulis Amerika Latin (seperti: Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Juan Rulfo, Pablo Neruda, dll) penerbit independen sudah lebih dulu membanjiri kita dengan banyak karya terjemahan dari para penulis ini, plus beberapa nama lain yang barangkali ganjil di telinga, misalnya Claudio Orrego Vicuna (Cile) atau Gioconda Belli (Nikaragua).

Dari para penerbit independen, kita bisa berharap akan masuknya buku-buku karya penulis dari negara tetangga, sebelum nanti diikuti penerbit arus utama. Selain itu, adanya beberapa toko buku daring impor berbahasa Inggris yang menyediakan buku-buku dari penulis Asia Tenggara juga cukup membuat kita mampu mengakses buku-buku karya-karya penulis dari negara tetangga.

Atau jika kedua hal di atas masih kurang dan kita masih merasa belum puas, solusi lain adalah dengan membeli buku-buku karya penulis negara tetangga dari bahasa asli secara daring dan melakukan alihbahasa sendiri melalui bantuan google translate sekaligus memelajarinya. Hal-hal itu saya rasa cukup untuk memberi angin segar, dan dengan begitu kita bisa mulai menyusun ulang daftar bacaan kita; setidaknya mengimbangi koleksi kita yang melulu diisi penulis sastra dari Prancis atau Jerman.