HUMANIORA
27 Sep 2020 23:23
1882
Kenangan dan Trauma Kehilangan

Penakota.id - Tidakkah kita menyadari hal-hal yang hilang di sekitar kita? Seperti alat hitung sempoa, gim yang kita kenal dengan game-bot, kartu bergambar, dan barang-barang lain yang pernah menghiasi suatu masa di masa lalu. Semua itu hilang setidaknya disebabkan atas perubahan zaman. Umat manusia melaju dengan temuan-temuan paling mutakhir, yang lantas menggeser beragam barang di atas, lalu menggantikannya dengan barang yang kiranya lebih baik dari bentuk dan fungsi. Dan kehilangan ini, paling tidak terjadi secara perlahan-lahan, bertahap, untuk selanjutnya meninggalkan kesan yang oleh kita dikenal sebagai kenangan. 

Sayangnya, hal tersebut tak berlaku atas menghilangnya banyak benda dalam kisah novel ini, The Memory Police. Yoko Ogawa menyuguhkan kisah surealis yang tak lazim. Sebab dikisahkan sebuah pulau yang tak disebutkan namanya, yang terus-menerus kehilangan beragam benda yang ada di sana. Pernah ada suatu masa ketika pita, parfum, batu zamrud, topi, bahkan kapal eksis di pulau itu. Namun, tiba-tiba semuanya hilang di satu pagi, kekosongan hadir di dalam benak para penduduknya menyangkut keberadaan benda-benda itu. 

Mereka hilang, dalam artian, seperti lubang menganga di hati penduduk. Mereka tak merasakan apa pun mengenai sesuatu yang telah hilang tersebut. Dan selalu saja, ketika nilai atau kesan sebuah benda lenyap, wujud nyata benda yang masih ada dan mereka rasakan tak bergunasecara kolektif akan mereka musnahkan. Baik dengan cara membakar, mengubur, atau pun membuangnya ke laut. 

Kehilangan demi kehilangan pun dirasakan oleh si tokoh utama, seorang novelis yang tak disebutkan namanya. Kendati di masa kecil ia kerap dikisahkan perihal benda-benda yang sudah hilang oleh ibunya—sebab si ibu adalah segelintir orang yang masih mengingat semua itu, ia hanya mendapati kisah itu sebagai dongeng belaka. Betapapun indahnya deskripsi benda-benda itu, si novelis sekadar mendengar cerita yang tak memberi kesan selain takjub, sebab dirinya tak ingat apa pun mengenai semua itu. Sampai kemudian, di usianya yang masih belasan tahun, ibunya dibawa pergi oleh Polisi Kenangan. Dan sejak itu tak pernah kembali lagi. 

Ketika dewasa, si novelis pernah bertanya-tanya, mengapa ada orang-orang seperti ibunya yang dibawa pergi oleh para Polisi Kenangan? Jawabannya pun didapatinya dari obrolan bersama editornya, R, yang berkata, “Pulau ini dipimpin oleh orang-orang yang bertekad memastikan segalanya menghilang. Menurut mereka, segala sesuatu yang tidak hilang setelah diputuskan seperti itu sama sekali tidak bisa diterima. Jadi, mereka pun memaksanya menghilang dengan tangan mereka sendiri." (hlm. 30).

Dari petikan tersebut, tak berlebihan bila novel ini bisa dianggap alegori dari satu kekuasaan di beberapa tempat di muka bumi ini. Keterlibatan penguasa dalam memastikan segalanya sesuai kehendak mereka, terasa jelas di dalam novel, dan itu direpresentasikan dengan gerak-gerik para Polisi Kenangan. Sebab demi melancarkan aksinya, mereka tak segan merepresi penduduk, memeriksa rumah-rumah tanpa punya sikap sopan, dan sering kali tanpa tedeng aling-aling langsung saja membawa seseorang yang mereka curigai masih menyimpan kenangan atau ingatan atas suatu hal. 

Akan tetapi, toh celah selalu ada di setiap peristiwa pemusnahan di muka bumi ini. Di dalam novel ini, celah itu pun direpresentasikan dengan segelintir orang yang masih memiliki ingatan atas banyak benda yang sudah dilupakan orang-orang. Dan dalam kehidupan mereka, sebisa mungkin orang-orang ini menghindari Polisi Kenangan—sebab tangan penguasa ini adalah senyatanya ancaman bagi mereka. Hal serupa, dilakukan oleh si novelis ketika editornya, R, adalah salah seorang dari segelintir orang-orang tersebut. Bersama suami mantan pengasuhnya, si Pria Tua, yang sudah dikenal baik sejak kecil, keduanya mengemban misi menyembunyikan R. Si editor itu pun ditempatkan di satu kamar rahasia di dalam rumahnya. 

Keberadaan R, setidaknya terbaca sebagai orang yang berusaha keras membuat si novelis dan Pria Tua teringat akan beberapa benda yang telah raib dalam kehidupan mereka. Ia berpendapat bahwa, kau mungkin berpikir kenangan-kenangan akan menghilang setiap kali terjadi kehilangan, tetapi itu tidak benar. Kenangan-kenangan itu hanya mengapung di tengah kolam yang tidak pernah dijangkau sinar matahari. Yang harus kaulakukan hanyalah memasukkan tanganmu ke dalam kolam itu dan kau pasti akan menemukan sesuatu. Sesuatu yang bisa kaubawa kembali ke bawah cahaya matahari (hlm. 191).

Itu dikatakannya ketika suatu hari, novel-novel menghilang dan si novelis hendak melenyapkannya dalam kobaran api. Ini barangkali saat-saat yang paling muskil, sebab bagaimana mungkin seorang novelis berniat melenyapkan benda yang selama ini teramat dekat dengannya? Tidak ada jawaban, tetapi begitulah kejadiannya. Begitu menghilang, ia sendiri pun tak mengetahui esensi dari benda itu, kata “novel” pun jadi terasa asing di mulutnya. Dan pepatah “orang yang membakar buku pada akhirnya akan membakar manusia” yang diucapkanya ketika membakar buku bersama si pria tua, sungguh sama sekali tak terasa bermakna bagi mereka. Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa ia ketahui asalnya dari mana.

Namun pada akhirnya, di tengah kehilangan-kehilangan yang terus berlangsung, novel ini pula merekam usaha dari pengembalian ingatan tentang benda-benda yang telah lenyap. Usaha itu setidaknya dilakukan oleh R terhadap si novelis. Editor itu terus mendesak si novelis, bahkan ketika si novelis lupa caranya menulis, R tak berhenti menyemangatinya. Namun, usaha itu rupanya tak berpengaruh banyak. Bahkan si novelis menganggap usahanya itu sebagai lemparan kerikil ke dalam rawa-rawa yang ada di dalam otakku, namun bukannya jatuh ke dasar rawa-rawa, kerikil itu terus melayang turun dan turun ke ujung tak berdasar (hlm. 287). Alias, sia-sia, upaya itu tak membuahkan hasil sama sekali. 

Begitulah, kendati berakhir tragis, kisah novel ini bukan saja sebagai alegori atas kenangan dan trauma kehilangan, melainkan pula sebagai pengingat atas eksistensi hal-hal yang hidup bersama kita. Dengan kesurealisannya, novel yang masuk daftar pendek The 2020 International Booker Prize ini secara baik menunjukkan satu kondisi yang mengerikan, tetapi terlampau dianggap biasa hingga tak dikhawatirkan oleh kebanyakan orang. Novel ini mendedahkan hakikat banyak benda, bahwa kehadiran mereka memberi makna dalam hidup kita, sekecil apa pun itu. 

Judul            : The Memory Police (Polisi Kenangan)

Penulis         : Yoko Ogawa

Penerjemah : Lingliana 

Penerbit       : Gramedia Pustaka Utama, 2020 

Tebal            : 296 Halaman