HUMANIORA
31 Oct 2020 17:09
1517
Tubuh Novel, Jiwa Romcom

Penakota.id - Bagaimana seandainya sebuah novel ditulis bernyawakan film komedi romantis alias romcom? Saya kira, novel Candra Aditya, When Everything Feels Like Romcoms, adalah jawaban atas pertanyaan tersebut. Candra boleh dibilang “orang film”. Ia lulusan Jurusan Film Binus International yang kini menjadi penulis dan filmmaker. Tulisannya bisa dijumpai di beberapa media daring, dan beberapa film pendeknya hadir di berbagai festival. Pemirsa Youtube barangkali telah mengenal Candra melalui serial ANJAS dan Ruang Casting.

Kedekatan Candra dengan film menjadikan penulisan novel bernyawa romcom ini terlihat mudah, lantaran ia mempunyai stok pengetahuan melimpah. Pengetahuan adalah satu hal, sebetulnya, dan keterampilan menulis adalah hal lain. Jadi, keberhasilan When Everything Feels Like Romcoms belum bisa disimpulkan begitu saja berdasarkan siapa penulisnya. Belum lagi, Candra menarasikan novelnya menggunakan dua gaya ungkap berbeda. Pilihan Candra ini mungkin cukup “serius” untuk novel “pop”.

Namun, saya kira, novel ini menawarkan sesuatu yang lebih penting ketimbang apakah ia akan dilabeli novel pop atau novel serius alias—katakanlah—karya sastra. Sesuatu yang lebih penting itu kenikmatan membaca. Kenikmatan membaca novel ini tentu saja bukan datang dari langit, melainkan diusahakan dengan sungguh-sungguh oleh Candra, juga tentu campur tangan penyunting dan penerbit.

Dua gaya ungkap yang digunakan Candra hadir bergantian, mirip yang dilakukan oleh Junichiro Tanizaki dalam Kagi (1956)—terjemahan bahasa Indonesia terbit dengan judul The Key (2012). Dua gaya ungkap itu mewakili sudut pandang dua tokoh utama: Reza Adhyaksa dan Kimmy Cornelia Susanto. Perbedaan gaya ungkap keduanya terasa bahkan sejak kalimat pertama masing-masing. “Hari ini adalah hari yang saya tunggu-tunggu sepanjang hidup saya,” ungkap Reza, dan, “Jadi, mulai dari mana gue cerita?” ungkap Kimmy.

Reza, sutradara yang berasal dari Jawa, menarasikan cerita dari sudut pandangnya menggunakan kata ganti “saya”, sementara Kimmy, “cewek 27 tahun berzodiak Virgo” yang pada dasarnya manusia urban Jakarta itu, memakai kata ganti “gue”. Perbedaan kata ganti itu tidak berlaku dalam dialog. Candra menunjukkan bahwa Reza berusaha berbaur di Jakarta, dengan ber-“lo-gue” dalam percakapan sehari-hari. Kendati begitu, Candra tidak menyangkal kejawaan Reza yang menjadikan “lo-gue”-nya medok. “Terus emang kenapa kalau gue ngomongnya medok? Yang penting kan gue profesional.”

Penggunaan dua gaya ungkap—juga dua sudut pandang—itu menuntut Candra untuk terlebih dahulu mematangkan karakter kedua tokohnya: Reza dan Kimmy. Cara Reza memperkenalkan diri kepada pembaca berbeda dari Kimmy. Kimmy terasa lebih lugas sementara Reza lebih subtil. Cara masing-masing tokoh memperkenalkan dirinya itu pun sesungguhnya sudah menunjukkan kematangan karakter masing-masing. Konon sebelum menulis novelnya, Candra terlebih dulu menyusun character bio—seperti yang lazim dalam pembuatan film. Pantas saja.

Novel Candra, sesuai judulnya, adalah film komedi romantis apabila dijelmakan dalam teks. Sebagaimana film komedi romantis, inti cerita novel When Everything Feels Like Romcoms adalah perjalanan cinta kedua tokoh yang saling menceritakan dirinya, hidupnya. Inti cerita itu berlatar dunia perfilman, dunia yang dihidupi Reza dan Kimmy. Kendati masih berkisar di percintaan, novel ini berhasil melepaskan diri dari belenggu klise dan picisan. Candra, dalam novelnya banyak membicarakan hal-hal di sekitaran. 

Novel ini, dalam perspektif tertentu, bisa dipandang sebagai etnografi kota, karena menggambarkan semesta yang lebih luas ketimbang seputaran lingkungan “orang film” saja. Tokoh-tokoh dan tempat-tempat yang benar-benar ada, alias bukan fiksi, beberapa kali Candra munculkan. Dalam novel ini, pembaca dapat melihat bagaimana manusia urban, terutama yang berusia ujung kepala dua dan usia 30-an, hidup dan berelasi satu sama lain. Tidak ada tabu. Novel ini, saya kira, akan terasa dekat bagi para pembaca yang hidup di Jakarta. Pembaca dari luar Jakarta pun dapat mengintip secercah kota “pusat” Indonesia ini melalui When Everything Feels Like Romcoms.

Sumbangan lain novel ini adalah pemunculan judul-judul film romcom luar negeri yang digunakan untuk menjuduli tiap-tiap bab. Ada Crazy, Stupid, Love sebagai judul bab pembuka. Ada Juliet, Naked sebagai judul bab penutup. Ada Chungking Express, film yang paling saya sukai di antara film-film yang judulnya dipinjam. Trilogi Before tentu mustahil absen. Pemunculan judul-judul film romcom itu barangkali hadiah dari Candra, sebagai rekomendasi tontonan menghibur—terutama pada masa pandemi ini.

Kendati tiap-tiap bab novel ini menggunakan judul-judul film romcom luar negeri, rujukan paling kental When Everything Feels Like Romcoms justru dari film romcom lokal yang... apalagi kalau bukan Ada Apa dengan Cinta? (2002). Reza dan Kimmy sering membicarakan film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra itu. Kimmy bahkan mengaku penggemar nomor satu film itu. Sebetulnya, masih ada beberapa hal yang menguatkan klaim Ada Apa dengan Cinta? sebagai rujukan utama novel ini, tetapi saya kira lebih mengasyikkan jika pembaca menemukannya sendiri.

Saya tidak ingin membocorkan lebih banyak hal dari When Everything Feels Like Romcoms. Hal terbaik yang ditawarkan novel ini adalah kenikmatan membaca, sesuatu yang saya kira semakin jarang kita dapatkan, mengingat banyak novel yang diproduksi dengan tuntutan ini-itu sehingga lupa bahwa cerita itu sendiri mestilah dapat dinikmati. Membocorkan lebih banyak hal dari novel ini berisiko bakal mengurangi kenikmatan pembaca, sehingga saya memilih untuk mencukupkan diri dan menawarkan akhir yang nanggung—seperti kebanyakan kisah cinta. 

Judul               : When Everything Feels Like Romcoms

Pengarang       : Candra Aditya

Penerbit           : POP

Cetakan           : Pertama, April 2020

Ukuran            : viii + 303 halaman; 13,5 x 20 cm

ISBN               : 978-602-481-378-9