HUMANIORA
24 Jan 2021 14:35
1523
Gagalnya Eksperimen Medis dan Penggelapan Sejarah

Penakota.id - Dalam penulisan sejarah, lazimnya terbagi atas dua pendekatan yakni menulis orang besar atau orang kecil. A.L.Rowse (1946) menyebut pendekatan yang paling logis dan konkret adalah dengan menulis orang-orang besar yang tindakan dan pemikirannya dapat memengaruhi dan dipengaruhi peristiwa besar dalam sejarah. Sedangkan, E.H. Carr (1988) berpendapat bahwa sejarah bukan hanya milik orang-orang besar. Menurutnya banyak persitiwa sejarah yang diinisasi oleh orang-orang kecil atau rakyat biasa. Oleh sebab itu, menulis sejarah orang biasa jauh lebih etis. Dua dikotomi ini hampir tak pernah bisa menyatu dalam sebuah buku sejarah.

Namun, tidak bagi buku Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang karya J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki ini. Buku yang terdiri dari 12 bab ini justru menempatkan sebuah kejadian yang melibatkan 900 kematian romusha sebagai katalisator dibunuhnya seorang dokter yang paling brilian di Indonesia saat itu, Achmad Mochtar. Peristiwa bermula dari sebuah kamp perkumpulan romusha di Klender, Jakarta Timur. Kamp tersebut berfungsi sebagai tempat singgah atau pelatihan sebelum para romusha dikirim ke beberapa daerah di Indonesia atau bahkan ke beberapa negara jajahan Jepang di Asia Tenggara.

Pada Agustus 1944, sedikitnya 900 romusha yang dikumpulkan dari berbagai Pulau Jawa mendapatkan vaksinasi yang dilakukan oleh dokter yang dibawahi oleh Angkatan Darat Divisi 731 Jepang yang terkenal sadis. Tak sampai seminggu setelah melakukan vaksinasi, beberapa romusha meninggal mendadak disertai dengan ciri demam, kejang, dan kaki serta tangan yang meliuk, persis seperti penderita tetanus.

Padahal beberapa hari sebelumnya, mereka menerima vaksin Thypus Cholera Dysentery (TCD). Penulis mencatat, hanya sekitar 90 romusha yang dapat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat—saat ini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)—untuk dirawat dan diobservasi (hlm. 150-152). Semuanya meninggal.

Achmad Mochtar sebagai Direktur Lembaga Eijkman yang mengepalai observasi kematian para romusha berpendapat bahwa ada sebuah kesalahan dalam pemberian vaksin kepada romusha. Selanjutnya, ia menganalisis dan menyimpulkan bahwa vaksin yang disuntikkan itu mengandung tetanus (hlm.162). Tak terima dengan kesimpulan Mochtar dan takut dianggap sebagai sebuah kejahatan perang. Tentara Jepang justru menuduh Mochtar dan timnya mengganti vaksin dengan kuman tetanus. Padahal sudah sangat jelas bahwa vaksin tersebut didatangkan dari Lembaga Pasteur di Bandung yang dikuasai dan diperintah Divisi 731. Satu fakta penting bahwa vaksin itu hasil improvisasi lemah dan hasil uji cobanya tak memuaskan (hlm. 201-202).

Semua dokter dan peneliti di Lembaga Eijkman diinterogasi dengan siksaan oleh kenpeitai. Mereka dipaksa mengakui bahwa Mochtar bersalah dalam pemberian vaksin kepada romusha. Tak tega rekan sejawatnya disiksa, Mochtar dengan berat hati mengakui segala tuduhan yang ia tidak pernah lakukan (hlm. 192). Tak heran jika penulis menyebut bahwa Mochtar adalah seorang martir. Ia pun dieksekusi mati di Ancol, 3 Juli 1945.  

Kematian dan tuduhan Mochtar tentu saja menjadi kecacatan dalam sejarah Indonesia, bila tuduhan tersebut terus diyakini sebagai sebuah kebenaran. Meski buku ini bertujuan untuk menyingkap dan memulihkan nama Mochtar dalam sejarah, tidak lantas membuat buku ini tidak berimbang. Data-data yang ditampilkan oleh penulis buku ini sangat komprehensif dan banyak menggunakan sumber primer dan manuskrip buku rekan sejawat Mochtar yang tak pernah diterbitkan.

Memang buku ini tidak merinci daftar nama 900 romusha yang menjadi korban eksperimen keji Jepang. Akan tetapi, karena kejadian yang menimpa orang kecil itu dijadikan dalih untuk menginvestigasi dan mengorbankan paksa sang orang besar: Achmad Mochtar.

Achmad Mochtar dan Kebenaran Sains

Sikap Mochtar yang bersikukuh dengan hasil analisis dan kesimpulannya merupakan sebagai tanggung jawab atas kebenaran yang sudah dibuktikan secara saintifik. Dan untuk membuktikan kebenaran sains memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sebab, sains harus mengakumulasi pengetahuan; melakukan validasi dan invalidasi. 

Munculnya sikap anti-sains di masyarakat dan pemerintah yang terjadi di banyak negara saat ini merupakan sebuah kekeliruan kita dalam memahami sains, tapi menyukai manfaat sains. Ketidakpercayaan pada sains meluas disebabkan adanya perubahan setiap waktu dalam sains. Sedangkan, manusia hari ini ingin segala sesuatunya cepat dan pasti. Padahal, David P. Barasah (2015) menegaskan, yang acap kali dilupakan itu adalah sains—bersifat dinamis. 

Oleh sebab itu, banyak dari kita tak memercayai sains dan saintis. Terlebih dalam kasus Covid-19, ketidakpercayaan masyarakat begitu besar, karena pemerintah pun kerap menganggap remeh dan mengabaikan peringatan dari saintis. Akan tetapi menekan saintis untuk mempercepat produksi vaksin. Vaksinisasi dianggap menjadi harapan, meski nyawa rakyat menjadi taruhan.

Sejarah sudah mengajarkan, tentu kita tak ingin menjadi bangsa keledai; dengan mengulangi kesalahan eksperimen keji Jepang yang mengorbankan rakyat dan mengkambinghitamkan saintis. Dari Achmad Mochtar pula kita belajar bahwa sains selalu berpijak pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, ia menempatkan manusia sebagai subjek dalam sains, bukan sekadar objek eksperimen reaksioner dari siapapun itu. Sebab, keselamatan dan manusia bukan hanya sekadar angka.

Mochtar juga menunjukkan bahwa seorang saintis tak mudah untuk “terbeli” atau tunduk pada kekuasaan atau kepentingan politik. Hal ini juga mesti menjadi pembelajaran tak hanya bagi para saintis, tetapi juga pemerintah untuk bisa lebih mendengar saintis dan meredam hasrat untuk menekan saintis demi kepentingan legitimasi politiknya.

Judul Buku       : Eksperimen Keji Kedokteran Jepang (Tragedi Lembaga Eijkman

                           & Vaksin Maut Romusha)

Penulis             : J. Kevin Baird & Sangkot Marzuki

Penerbit           : Komunitas Bambu

Tahun Terbit    : September 2020

Tebal                : xxx + 290 hlm