HUMANIORA
04 Apr 2021 16:46
1124
Teori Cahaya: Menatap Tubuh Bergelimang Warna

Penakota.id - Berbicara soal cahaya, saya jadi teringat akan sebuah peristiwa sains yang diabadikan Storm Thorgerson pada cover album Pink Floyd, Dark Side of The Moon. Sebuah cahaya menembus prisma, lalu keluar menjadi spektrum pelangi. Sebuah album berisi perjalanan, refleksi, dan ragam tafsiran pada relasi manusia dan sekitarnya. Teori Cahaya milik Sartika Dian Nuraini ini berada di antaranya. Serupa cahaya polikromatik hasil dari dispersi berbagai spektrum warna menjadi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Warna-warna itu adalah identitas.

Kita tahu bahwa esai memungkinkan dirinya untuk menjadi apa saja dan melihat sesuatu dengan kecenderungan minat yang beragam. Ia bisa menjadi juru bicara, bisa pula intim dan personal. Ia bisa aktual dan merujuk peristiwa tertentu, bisa pula tak perlu mengekor pada hal-hal banal yang berebut perhatian di media sosial. Esai-esai di dalamnya menjadi spektrum suatu zaman dan penulis menguraikan gugusan-gugusan yang menarik perhatiannya. Hampir seluruh esai di dalamnya telah dipublikasikan sebelumnya di media cetak maupun daring. Dengan rentang waktu yang beragam dan isu yang relatif timeless.

Keberagaman isu itu terpancar ke segala hal yang berasosiasi pada: cari sesuatu yang menarik. Berada di ambang personal maupun komunal. Dari teater, film, seni rupa, perempuan, seksualitas hingga fenomena sosial. Isi buku dibagi menjadi tiga bab: “Tatapan dari Dekat Sekali”, “Tatapan Makna dari Kejauhan” dan “Pembiasaan dan Sifat-sifat yang Ditatap”. Pembagian dan klasifikasi itu bertautan dengan tema-tema yang digarap.

Di bagian awal, kita disuguhi hasil pembacaan atas kota, rupa, biografi dan segala hal yang tampak. Hal-hal yang bagi penulis dekat dengan biografi tubuhnya. Dekat dalam laboratorium kerja, strategi tekstual maupun pilihan estetik. Pada sebuah pembacaan atas pertunjukan Teater Garasi, "Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi" penulis mendedahkan argumentasinya tentang sudut pandang penonton yang akan mendapat kenikmatan lebih bila dilihat secara isometrik atau mata sebagai drone yang luwes.

Begitu pula ketika ia mempertanyakan kurasi tema dalam kerangka dramaturgi sehari-hari yang cenderung pada narasi 65. Penulis mempertanyakan: “bisakah kemudian kita sebut data as the new dramatic?” pertanyaan itu seolah menjawab apa yang ada pada esai-esai berikutnya. Soal kota-kota tenggelam, teater anak, imajinasi akan kota, tegangan antar ruang dan sebagainya.

 

Spektrum dan Medium

Bila hendak menyitir KBBI, spektrum bermakna rentetan warna kontinu yang diperoleh apabila cahaya diuraikan. Begitu pula esai-esai di dalam buku ini. Ada beragam warna ketika judul-judul esai dipisahkan dalam klasifikasi bab. Pada beberapa esai, penulis membincang nasib literasi, kegagapan di kalangan akademik, kerja kuratorial, data sebagai tambang baru dan pariwisata.

Penulis telah memprediksi polemik Pulau Komodo dari tahun 2012 yang menjadi bagian dari warisan kolonialisme. Begitu pula nasib Pabrik Es Saripetojo yang telah tercerabut dari akar budaya, terusir dari tanah sendiri dan telah menjadi bagian dari industri kapital atas lobi-lobi politik. Penulis juga memandang cara kerja dunia modern dan logika kapital. Seperti tentang Putri Indonesia, seksualitas maupun sarjana. Ia menulis: sarjana adalah potret terang di depan kamera. Sebuah anekdot atas wisuda yang sarat akan selebrasi semata.

Pada esai lainnya tentang perempuan, seksualitas dan keperawanan, penulis mendedahkan hal yang telah menjadi problematika dan sesat pikir di Indonesia sejak lama. Soal patriarki, kehendak bebas, mitos buatan struktur sosial tertentu dan pendisiplinan tubuh sebagai jembatan industri. Tentang kontes kecantikan yang telah lama menjadi polemik karena ada subordinasi antara penonton dan objek yang ditatap. Perempuan hendak diobjektifikasi dari wajah dan tubuh semata. Meski ada embel-embel brain dan behavior, nyatanya hal itu berhenti pada slogan semata. Foucault pernah menuturkan tentang disiplin tubuh yang bisa menjadikan semua seragam menurut standar tertentu. Tubuh tidak punya otoritas dan disetir oleh sistem relasi kuasa yaitu panoptikon itu sendiri.

Berikutnya pada salah satu judul esai: Teori Cahaya, merujuk pada pembacaan Dian atas film Fever Room garapan Apichatpong Weerasethakul. Sebuah seni lintas disiplin antara film dan instalasi. Antara ‘peristiwa’ dan ‘kehadiran’. Penonton adalah subjek dan objek itu sendiri. Tubuh liminal yang berada di suatu ekosistem. Saya baru menonton satu karya sutradara asal Thailand itu yaitu Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives. Tentang siklus hidup manusia yang dituturkan secara alegoris-absurd, juga konsep reinkarnasi dan karma. Pengalaman menonton yang mengasyikan tentu, ketika penulis menatap-mengalami atmosfer secara langsung dan mengulasnya dengan argumentasi yang rinci, ketika tidak semua orang bisa mengalami.

Meski begitu, ada kecenderungan esai-esai di dalamnya bisa menjadi menarik dan perlu tergantung menurut siapa. Atau dengan kata lain, ada hal baru yang bisa kita dapatkan, bisa pula pengulangan dari apa yang sudah kita ketahui. Bagi mahasiswa awal yang sedang menikmati proses membaca dan menulis secara intens, maka buku ini akan cocok. Pembaca bisa mempelajari ragam suara dan tendensi apa yang disuarakan. Begitu pula bagi pembaca umum, kita akan menemukan beragam ulasan dan pembacaan penulis akan produk budaya maupun biografi tokoh.

Pada akhirnya Teori Cahaya serupa sifat-sifat cahaya itu sendiri: refleksi, refraksi dan dispersi. Buku ini bersifat demikian. Pembaca bisa membacanya secara acak dari esai mana saja. Gagasan-gagasan di dalamnya bisa memantulkan, membelokkan dan menguraikan ke segala arah. Hal itu ditegaskan pula dari tata letak dan tipografi yang merepresentasikan itu. Kumpulan ini hendak menatap (atau menggugat?) tubuh-tubuh yang dikendalikan maupun mengendalikan hingga tercipta ragam warna dan ruang di antara.

 

Judul         : Teori Cahaya dan Esai-Esai Lainnya

Penulis      : Sartika Dian Nuraini

Penerbit    : Jual Buku Sastra bekerjasama dengan Belantara Books

Editor       : Fauzi Sukri dan Thomas Atasana

Tebal        : 195 halaman