NASIONAL
04 Sep 2017 11:00
977
Polemik Cicit Ibrahim

Mayoritas para ulama dari umat islam memercayai bahwa anak yang sabar dari Ibrahim adalah Ismail. Ia merupakan anak pertama Ibrahim dari buah perkawinannya dengan istri keduanya, Hajar saat Sarah selaku istri pertama belum juga dikaruniai anak. Akan tetapi berbeda dengan agama lain (baca Kristiani dan Yahudi), mereka berpendapat bahwa anak yang menjadi qurban Ibrahim itu adalah putranya yang lain, yakni Ishak, buah perkawinan Ibrahim dengan Sarah.

Penakota.id - Beberapa hari lalu umat islam terlihat memenuhi masjid dan lapangan-lapangan terbuka. Di bawah matahari pagi, mereka semua bertakbir diikuti sunah berpuasa. "Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar Kabira," semua umat islam mengagungkan nama Tuhannya guna merayakan salah satu hari suci mereka, Idul Adha.

Selepas melangsungkan shalat ied, sirah nabawiyah, yakni kisah Nabi Ibrahim pasti akan kita dengar dari mukadimah-mukadimah para alim yang dipercaya menjadi seorang khotib. Peristiwa Ibrahim ( bapak para nabi) yang diuji melalui wahyu telah menjadi simbol dan sejarah yang selalu dipesankan oleh para alim tersebut guna mengajarkan kepada umat islam agar senantiasa dapat mengurbankan apapun hanya untuk Tuhan dan ikhlas serta pasrah. Selain itu, peristiwa tersebut juga mengandung makna tentang bagaiamana memelihara hubungan antara sesama muslim. Sebagaimana menurut Ali Syariati, seorang cendekiawan Iran dalam bukunya yang berjudul Hajj, bahwa Idul Adha atau ibadah qurban bukan hanya sekedar bagaimana manusia membuktikan cintanya pada Tuhan, mendekatan diri padaNya, akan tetapi qurban juga sebuah refleksi manusia mendekatkan diri kepada sesama. Syariati berpendapat bahwa salah satu makna qurban adalah sebuah perumpamaan atas gugurnya ego manusia.

Ketika hubungan dengan Tuhan sudah terlaksana, ego telah gugur, satu lagi sebagai kelengkapan yakni adalah hubungan antara sesama. Maka dari itu setiap tanggal 10 Djulhijah umat Islam dianjurkan untuk berqurban dan membagikan hasil qurban kepada sesama (khususnya kaum dhuafa atau miskin).


Ismail dan Ishak

Peristiwa qurban yang disimbolkan dari sirah Ibrahim yang menjadi acuan umat islam adalah QS. Ash-Shaffat dari ayat 99 hingga 113. Pada ayat-ayat tersebut dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim pernah berdoa kepada Tuhannya di usia yang semakin uzur namun belum dikaruniai anak, "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh". Maka Tuhan memberikan Ibrahim sebuah kabar gembira, yakni doanya diijabah, Ibrahim akhirnya memiliki anak, dan anak tersebut memiliki sifat yang amat sabar. Kesabaran anak Ibrahim dibuktikan saat sang ayah menyampaikan bahwa ia mendapat sebuah wahyu yang mengharuskan ia harus menyembelih anak itu.

 

Kendati wahyu yang disampaikan oleh Ibrahim kepada sang anak, lantas anak itu berkata, "Wahai bapaku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Mayoritas para ulama dari umat islam memercayai bahwa anak yang sabar dari Ibrahim adalah Ismail. Ia merupakan anak pertama Ibrahim dari buah perkawinannya dengan istri keduanya, Hajar saat Sarah selaku istri pertama belum juga dikaruniai anak. Akan tetapi berbeda dengan agama lain (baca Kristiani dan Yahudi), mereka berpendapat bahwa anak yang menjadi qurban Ibrahim itu adalah putranya yang lain, yakni Ishak, buah perkawinan Ibrahim dengan Sarah. Di sinilah polemik lahir. Berbagai pandangan dan tafsiran-tafsiran bertarung demi mempertahankan keyakinan atas sejarah yang sesungguhnya. Sebelumnya tentu kita sudah mengetahui bahwa Nabi Ibrahim/Abraham dijuluki sebagai ayah dari para nabi menurut beberapa agama.

Para ulama islam percaya bahwa anak tersebut adalah Ismail merujuk pada tafsir kitab suci Alquran ayat 112 dari Ash-Saffat, "Dan kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh". Menurut tafsiran mayoritas ulama, di dalam ayat ini terdapat huruf و (wauw)Athf litartibi wa litisholi, maknanya, huruf wauw yang menghubungkan dua peristiwa yang berbeda, secara berurutan sesuai tertib/urutan waktunya, yaitu peristiwa pertama tentang penyembelihan anak Nabi Ibrahim as yang telah dewasa yaitu Nabi Ismail as dan dilanjutkan dengan peristiwa kedua, yaitu kelahiran Ishak as.

Kemudian pada ayat selanjutnya, mayoritas ulama menafsirkan bahwa kalimat (alayhi) di ayat 113, kata alayhi di sini adalah milik Nabi Ismail dan bukan Nabi Ibrahim, mengapa demikian, karena pada kelanjutan ayat Tuhan berfirman : Dzurriyati hima. Dhamir "hima" adalah milik Ismail dan Ishak, karena mereka adalah saudara seayah, sehingga anak cucu mereka yang disebut Tuhan, bukan anak cucu Ibrahim dan Ishak, karena keduanya adalah bapak beranak, jadi yang tepat adalah anak cucu Ibrahim dari putra beliau Ismail dan Ishak.

Berbeda dengan pandangan mayoritas para ulama islam, Inggrid Listiati, seorang Magister dari Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat berpendapat bahwa Ishak-lah anak Ibrahim yang menjadi pilihan Tuhan untuk diqurbankan. Ia mengacu pada sebuah artikel yang ditulis oleh Sam Shamoun. Kata Listiati, umat Islam umumnya mendasari pandangan mereka atas ayat Kej (kitab Yahudi) 22:2; Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Ku-katakan kepadamu". Umat islam jelas Listiati beranggapan, menurut mereka Ismail adalah anak tunggal Ibrahim selama 13 tahun sebelum Ishak lahir, maka frasa "anak" yang disebut dalam Kej 22:2 ini adalah Ismail.

Namun sebenarnya kata Listiati, ayat- ayat Al Qur’an sendiri tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit siapakah nama anak Ibrahim yang diqurbankan. Sedangkan Kitab Suci (Kristiaani dan Yahudi) jelas menyebutkan secara eksplisit bahwa anak yang diqurbankan adalah Ishak. Listiati merujuk pada ayat dari Kitab Sucinya yang terdapat dalam Surat Ibrani dan Yakobus, "Karena iman maka Ibrahim, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal (Ibr 11:17)", "Bukankah Ibrahim, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah? (Yak 2:21)".

Selain dua ayat tersebut, Listiati juga menguatkan pendapatnya yang dikutip dari Shamoun terkait masih banyak juga perbedaan pendapat dari scholar muslim yang seolah mempertanyakan kebenaran yang dipercayai oleh kepercayaannya sendiri. Misalnya Shaykh Hamza Yusuf dari Zaytuna Istitute. Kata Listiati, menurut Yusuf melalui Shamoun, "Ini adalah anak yang diberikan kepada Abraham, dan terdapat perbedaan pendapat tentang siapakah anak ini. Mayoritas scholar di abad- abad terakhir mengatakan bahwa ia adalah Ismail, namun banyak dari scholar di abad- abad terdahulu mengatakan ia adalah Ishak. Hal ini seharusnya tidak menjadi bahan perdebatan antara umat beriman, itu bukan inti dari ceritanya. Keduanya adalah pendapat yang valid/ sah".

Begitulah, polemik tentang Ismail atau Ishak yang sebenarnya bukan daripada inti pelajaran atau hikmah yang terkandung dalam sirah Ibrahim. Setiap agama memiliki keimanan, validitas sejarah hanya milik mereka yang menang.

 

(penakota.id - fdm/fdm)