GAYAHIDUP
15 Sep 2017 11:00
801
Tere Liye: Tokoh Protagonis Literasi Indonesia 2017?

Penakota.id - Bagi para pembaca karya sastra populer, nama Tere Liye mungkin sudah tidak asing lagi. Penulis novel yang cukup kenamaan ini terbukti memiliki banyak penggemar dari berbagai kalangan. Goresan-goresan tangannya selalu ditunggu dan tak jarang menyejukkan batin pembacanya. Bahkan, rak-rak toko buku mayor di seluruh Indonesia pun kerap dipenuhi novel-novel belio.

Selain dikenal dengan status penulis, Tere juga kerap dikenal sebagai motivator ulung. Jika ia menjadi pembawa acara salah satu statisun televisi, mungkin nama Mario Teguh sudah lama tergeserkan sebelum adanya kasus dengan anaknya sendiri. Mengapa? Karena kata-kata Tere seolah beterbangan masuk ke dalam jendela-jendela/status Facebook kepunyaan banyak orang dan melahirkan ratusan jempol dan sad emotion sebagai tanda kesedihan dan ketenangan dan keprihatinan kepada diri sendiri sebagai bahan introspeksi diri.

“Tere Liye itu yang motivator itu kan? Hmmmm saya suka tulisannya. Sering saya like dan sebar lewat pesan WhatsApp untuk keluarga saya,” jawab Mukmin saat ditanyai tahukah ia siapa Tere Liye.

Tidak hanya sampai pada status Facebook banyak orang, kata-kata Tere juga selalu dinukil sebagai pengingat manusia kepada Allah SWT dan sesama. Misalnya pada nukilan dari bukunya yang berjudul Bidadari-Bidadari Surga :

“Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah dan berkongsi, berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga parasnya cantik luar biasa".

 

Tere Liye Menjadi Tokoh Protagonis Dunia Literasi 2017

Meski nama Tere Liye tidak pernah bercokol di ajang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Sayembara Novel DKJ, penghargaan internasional seperti Eka Kurniawan; penulis pertama Indonesia yang berhasil menjadi salah satu nominasi penghargaan sekelas Man Booker International Prize dan mendapat penghargaan Emerging Voice 2016 di AS itu, Tere Liye setidaknya memiliki prestise tersendiri. Penulis dengan nama asli Darwis itu baru-baru ini disebutkan oleh Ahmad Taufiq dalam artikelnya di Mojok.co sebagai tokoh protagonis. Melihat dari konteks sosialnya, Tere telah disebut sebagai tokoh protagonis dalam dunia literasi. Alasannya?

Jadi ceritanya baru-baru ini nama Tere Liye ramai menjadi perbincangan para penggiat literasi dan perbukuan Indonesia. Dikarenakan, Tere Liye memutus kontrak penerbitan bukunya dengan Gramedia Pustaka Utama dan Republika. Penulis buku "Negeri Para Bedebah", "Burlian", "Rindu", dan "Negeri di Ujung Tanduk" ini keberatan dengan pungutan pajak yang terlalu tinggi. Tere mengeluhkan pajak penghasilan penulis yang dinilianya terlampau tinggi dibandingkan dengan pengusaha maupun profesi lainnya. “Kalian harus sopan sekali kepada penulis buku, karena dia membayar pajak lebih banyak dibanding kalian semua,” ujar Tere dalam laman Facebooknya, Selasa, 5 September 2017.

Tere mengatakan, tingginya pajak untuk penulis lantaran menurut dia penghasilan penulis dianggap super netto. “Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto. Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya,” tulis Tere.

Tere mencontohkan, pungutan pajak yang dikenakan terhadap penulis buku dengan royalti Rp 1 miliar bisa mencapai Rp 245 juta. “Total pajaknya adalah Rp 245 juta,” seperti dikutip dari status Facebook-nya, Selasa malam, 5 September 2017.

Dalam setahun terakhir, Tere mengaku telah mengirim surat kepada pemerintah, di antaranya Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Badan Ekonomi Kreatif untuk mengajak berdiskusi mengenai tingginya pajak seoarang penulis. Namun, dia mengaku tidak memperoleh hasil. “Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya,” kata dia.

Akhirnya, Tere memutuskan untuk menghentikan penerbitan bukunya di penerbit-penerbit per 31 Juli 2017. “Dua puluh delapan buku saya tidak akan dicetak ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah hingga Desember 2017,” kata dia.

Unggahan Tere terkait pajak penulis dalam status Facebooknya membuat beberapa tokoh yang bersangkutan dengan dunia kepenulisan angkat bicara. Dewi Lestari, rekan Tere dari kalangan penulis juga menuliskan status di Facebook pribadinya menguatkan Tere. Melalui laman Facebook pribadinya, Dee (begitu orang memanggilnya) mengaku bahwa kebijakan pajak penulis mencekik kawan-kawan seprofesinya.

"Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90 persen dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10 persen untuk idenya (bisa 12,5 persen sampai 15 persen jika punya bargaining power ekstra)," tulis Dee pada Kamis, 7 September.

Berbeda dengan Dee, Kukubama Sitohang, penulis novel Bakso dan Mie Goreng Tidak Pernah Keluar Dalam Lubang Anusku merasa fine-fine saja menanggapai apa yang dimaslahkan oleh Tere dan beberapa penulis lain.

“Aku sih fine-fine aja. Orang aku nyetak buku cuma 10 eksemplar ko. Tanpa ISBN lagi, buat kado mamih. Hehe,” katanya membuat hati kesal (kirain penulis terkenal!).

Selain Dee dan Kukubama Sitohang, Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani juga menuangkan reaksinya atas tulisan Tere di Facebook pribadinya pula. Ia mengaku sangat bersedih hati dan terhenyak saat mendengar Tere Liye yang berhenti menerbitkan buku. Apalagi ini menyangkut persoalan perpajakan di Indonesia.

Ketika adanya perbedaan pandangan antara pihak Ditjen Pajak dengan Tere atau pun penulis lainnya mengenai royalti, perempuan yang kerap disapa Ani ini mengaku telah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut.

“Bila dalam pelaksanaannya di lapangan, masih terdapat adanya ketidaksamaan pendapat dan ketidakpastian perlakuan- seperti yang dikeluhkan Tere Liye- maka saya sudah meminta kawan-kawan di Ditjen Pajak untuk menyamakan kembali pemahaman tersebut, meninjau "Standard Operating Procedure" dalam penanganan masalah-masalah seperti ini - termasuk peranan kepala kantor yang lebih tanggap dan efektif - agar tidak membuat Wajib Pajak frustrasi. Ini adalah bagian dari reformasi yang sedang kami jalankan di DJP,” imbuhnya.

Berangkat dari status Tere Liye, akhirnya Sri Mulyani menggelar pertemuan dengan para penulis dan penerbit buku pada Rabu, 13 September 2017 malam.

Begitulah, Tere Liye seolah menjadi pemantik para penulis bahkan para pelaku seni lain mengeluarkan suaranya membicarakan pajak yang menurut mereka kurang fair satu meja langsung dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), walaupun Tere sendiri absen di pertemuan tersebut. Hal itu pula lah yang mungkin dimaksudkan oleh Taufiq dalam artikelnya di Mojok yang menyebut Tere sebagai tokoh protagonis (wallahhu’alam).

“Ini tulisan ketujuh di Mojok yang menyinggung nama Tere Liye. Dan sepertinya ini satu-satunya yang menjadikan beliau protagonis,” tulis Taufiq dalam kalimat pembuka artikelnya.

(penakota.id - fdm/fdm)