HUMANIORA
27 Sep 2017 11:00
2755
Dea Anugrah dan Isi Kepalanya

Penakota.id - Pada mulanya adalah sebuah pertanyaan. Saat melamuni mantan kekasih yang masih bertengger di dalam hati, di malam hari. Saat merenungi kehidupan pasca wisuda dan aku masih menganggur. Saat  hujan dan melihat seekor kucing sedang kedinginan di jalan dan aku gamang pada bulu-bulunya. Kugenggam sebuah pertanyaan saat lamunanku mengacir lantas aku mencari-cari sebuah buku namun sudah tidak ampuh lagi menghilangkan perih.

Sebelumnya aku sudah berkali-kali membaca buku itu, dua buku karya seorang penulis yang pada tangannya diramalkan bakal menggenggam dunia prosa negeri kami. Namanya Dea Anugrah. Sejujurnya aku baru mengetahuinya. Saat nama Dea sering disebut-sebut dan karyanya pun mulai sering nongol dalam media massa, barulah aku mengetahui kalau ia seorang lelaki.

Aku mulai sering mencari-cari karya Dea yang sudah tenggelam karena kulewatkan begitu saja. Pada “Lamia” aku mulai menyukai Dea. Puisi yang kutemui di sebuah koran cetakkan 23 Juni empat tahun silam tersebut membuatku merasa bahwa aku telah menanamkan bibit dendam pada seorang perempuan. Dea seolah menjelma angin lantas memasuki jurang telingaku dan memberikan nubuat-nubuat yang membuatku sadar kalau aku telah bersalah.

Berangkat dari nubuat Dea lewat “Lamia”, bukannya malah bergegas meminta maaf kepada perempuan yang telah kusakiti, aku malah tenggelam dalam apriori yang panjang. Menyebabkan tembok-tembok kamar dipenuhi coretan jadwal pengingat bunuh diri. Namun, keinginan tersebut berhasil terlerai oleh sebuah gonggongan anjing yang berwajah Dea Anugrah pula. Ketika berhasil kumiliki kedua buku Dea, Misa Arwah (Indie Book Corner, 2015) dan Bakat Menggonggong (Buku Mojok, 2016), aku tertolong dari keinginan melubangi batok kepalaku sendiri seperti Neil Perry dalam cerita yang dibangun oleh Schulman. Apalagi saat Dea mengajakku bertamasya pada kisah “Tamasya Pencegah Bunuh Diri”. Kali ini Dea serupa kuda bersayap yang membawa terbang manusia suci ke langit.

Tapi kuulang kembali. Saat ini aku, Sir Pentoel--tokoh fiktif buatan platform Penakota--sedang menggenggam sebuah pertanyaan. Saat aku atau pun manusia lain membutuhkan karya terbaru Dea--karena karya-karya lamanya sudah tidak ampuh menjadi sebuah obat--ke mana kami harus mencari karya barunya? Pasalnya sampai sekarang, Dea seperti berhenti muncul menitipkan nubuatnya di media-media. Seperti ada rahasia atau bom yang ia tanam. Tinggal menunggu waktu yang tepat, ia sepertinya akan meledakan itu semua. 

 

WAWANCARA DENGAN DEA ANUGRAH

Kira-kira begitulah sedikit gambaran fiktif yang kami buat saat harus membicarakan penulis yang buku puisinya pada tahun 2016 lalu masuk daftar panjang Kusala Sastra Khatulistiwa dan buku cerpennya menjadi salah satu buku Indonesia terbaik versi Rolling Stone. Untuk sekarang, mungkin para penggemar Dea Anugrah bertanya-tanya kapan ia akan meluncurkan karya baru, ada hal menarik apalagi dalam isi kepalanya? 

Bagi yang kangen dan penasaran apa yang sedang ia lakukan dan pikirkan, berikut obrolan kami bersama Dea Anugrah setelah acara Celebrating POST 3.0 atau perayaan 3 tahun POST di Pasar Santa (23/09/2017). Narasi fiktif di atas bisa saja dilewatkan, tapi sebaiknya jangan untuk percakapan berikut ini.

Halo Dea, apa kabar? Omong-omong lagi sibuk apa sekarang?

Sekarang aku lagi sibuk nulis novel yang kemungkinan rampung akhir tahun depan. Tapi nggak tahu juga sih, soalnya baru sedikit. Sama satu lagi, ada satu naskah lagi yang sedang aku garap. Kalau kamu tahu Bartleby and Co, atau Nazi Literature in The Americas-nya Bolano. [Eeee] kayak begitu, bikin ensiklopedi.

Kalau Bolano kan isinya tentang penulis-penulis kanan di Amerika Latin, kalau Bartleby and Co tuh tentang penulis-penulis yang memutuskan untuk berhenti menulis. Oh iya, Bartleby and Co itu karya Enrique Vila-Matas. Nah, naskah kedua yang sedang aku garap itu semacam ensiklopedi seperti mereka. Isinya tentang penulis-penulis Indonesia yang dilupakan orang, salah satunya tokoh Rudi, si penulis yang hilang dan ada di dalam calon novel pertamaku. Jadi, nanti dua naskahku ini saling berkaitan, novel dan ensiklopedi. Dan semuanya itu fiktif.

 

Kalau dilihat-lihat (mudah-mudahan benar) karya Dea Anugrah sudah tidak pernah terlihat di media-media. Apa alasannya?

Memang sudah berhenti ngirim sih. Karena tadinya, kalau koran-koran tuh cuma dua yang biasa kukirim, Tempo dan Media Indonesia. Waktu halaman sastra Tempo masih dipegang Nirwan Dewanto. Sekarang kan Nirwan sudah nggak di situ, aku nggak tahu siapa gantinya dan malas saja ngirimnya. Kalau Media Indoneia, nggak tahu ya. Memang karena sedang malas saja sih. Kalau dulu aku rajin ngirim karena butuh uang. Sekarang aku tidak butuh itu lagi.

 

Boleh tahu nggak Dea Anugrah pertama kali mulai menulis itu kapan? Alasannya?

Aku pertama kali nulis itu sejak SMA, tepatnya kelas 2. Hari-hari itu aku banyak menghabiskan waktu di warnet, main game Counter Strike, keliling-keling naik motor kaya anak muda lah. Sampai suatu hari waktu aku di warnet tuh, ada guru bahasa Indonesiaku mau kirim email, tapi gagal, kesulitan gitu. Akhirnya dia minta tolong sama aku, terus ya sudah aku bantuin. Besoknya dia ngajakin aku ketemuan di kantin sekolah, terus cerita, “Saya tuh ngirim tulisan.”

Di situ pertama kali aku mendengar bahwa ada orang yang berprofesi sebagai penulis. [Eh..] maksudnya, sebenernya aku tahu, tapi kayak masih jauh gitu loh. Berkat kejadian itu, aku jadi merasa dekat dengan profesi itu. Ya sudah aku tanya-tanya. Itu semacam hal yang membuatku tertarik untuk mulai menulis. Terus sejak saat itu juga aku mulai merasa hidupku nggak jelas juga. Semacam panggilan.

 

Nah, kalau itu kan bisa dibilang awal kali Dea tertarik buat nulis. Kalau membaca?

Kalau sebagai pembaca, aku sudah mulai suka baca sejak lama. Cuma kebetulan kalau waktu kecil gitu bacanya kan nggak pake rencana gitu, apa aja yang ada dibaca. Tapi pas waktu SMA, [eh...] SMP sih, karena kekurangan aktifitas di sekolah, jadinya aku sering ke perpustakaan. Di sana aku baca Horison, terus aku ingat novel pertama yang aku baca waktu SMP itu The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway.

 

Menurut Dea perkembangan dunia sastra di Indonesia sekarang ini cenderung maju atau bagaimana?

Tentu saja maju. Banyak penulis maju yang bermunculan. Dunia bekerja dengan cara seperti itu kupikir, hari ini akan selalu lebih baik dari kemarin. Dulu kita tidak kenal komputer, dulu kita tidak bisa menyembuhkan penyakit cacar, tidak bisa menyembuhkan pes. Sekarang bisa. Evolusi juga bergerak seperti itu, semakin meningkat. Rinciannya seperti ini: penulis-penulis sekarang itu aksesnya lebih muda dibanding-misalnya tahun 70-an.

Aku pernah dengar, nggak tahu ini beneran atau cuma gosip ya, bahwa di tahun 70-an itu penulis Indonesia yang baca Emily Dickinson cuma satu orang, namanya Goenawan Mohamad. Yang lain nggak tahu siapa itu Emily Dickinson. Nggak tahu ini valid atau nggak ya. (Tertawa).

Nah, kalau sekarang siapa pun bisa baca Emily Dickinson hanya dengan mengetik namanya di google-PDF, langsung bisa baca. Jadi penulis sekarang tidak punya alasan untuk tidak pintar karena mereka punya akses.

 

Apa Dea punya hobi lain kah selain menulis?

Pelihara ikan. Tapi aku kurang berbakat memelihara hewan, biasanya cuma sebulan gitu sudah pada mati. Kemudian nonton video hewan-hewan di Youtube. Itu membantu aku untuk menjalani hidup. Hubungan antara manusia itu merepotkan, lebih enak sama binatang.

 

Alasan Dea memutuskan berkarir dalam dunia literasi? 

Kalau latar belakangnya mungkin sama seperti jawaban pertanyaan ketiga tadi. Tapi kalau alasan, mungkin karena aku ngerasa tidak memiliki bakat lain. Aku punya banyak cita-cita, misalnya dulu aku mau jadi pemain sepakbola, mau jadi rockstar, dan macam-macam. Tapi aku nggak bisa main musik. Kalau sepakbola dulu aku sempat ikut klub amatir gitu waktu masih di Bangka. Aku datang sebelum teman-temanku latihan, aku pulang setelah mereka pulang. Tapi ya namanya nggak bakat, ya nggak bisa. Aku percaya sama bakat. Jadi, aku pikir aku nggak punya bakat lain. Ya sudah nggak ada pilihan selain menulis.

 

Dengar-dengar dapat residensi ke Meksiko ya? Kalo boleh tahu kenapa negara itu yang kamu pilih, De?

Jadi begini, itu sebenarnya program tahunan di Kemendikbud kerja bareng Komite Buku Nasional yang mulai dari tahun lalu. Ada penulis-penulis kaya Rio Johan dan lain-lainnya pernah berangkat. Nah, tahun ini diulang lagi. Moga-moga tahun depan masih ada. Mereka itu minta penulis-penulis Indonesia, siapa pun bagi yang sudah menerbitkan buku. Dan nggak harus fiksi. Setelahnya mengirimkan proposal mau residensi di mana, durasinya berapa lama, dan alasannya apa.

Kalau untuk Meksiko, jadi tahun lalu itu sebenarnya aku sudah sempat ikut. Waktu itu aku pilih Kolombia. Tapi aku ditolak, cuma sampai tahap pertama. Terus aku tanya sama panitia yang sekarang, “Kenapa tahun lalu ditolak?” Mereka jawab, “Kami nggak meloloskan karena susah menjangkau Kolombia, takut ada apa-apa”. Nah tahun ini aku pilih Meksiko. Sebetulnya bukan karena Meksikonya, tapi Amerika Latinnya. Tapi ada banyak penulis Meksiko yang aku sukai, dan aku ingin melihat bagaimana cara mereka [bekerja].

Sebenernya intinya begini sih, di negara mana pun, di Amerika Latin, aku ingin membandingkan penulis-penulis yang aku sukai dengan kenyataan yang ada di sana. Aku ingin tahu bagaimana mereka mentransformasi hal-hal yang mereka alami menjadi sebuah teks. Misalnya Juan Rulfo menulis Pedro Paramo tentang kota yang namanya Comala atau sebagainya itu, [ee..] aku mau tahu Comala yang sebenarnya kaya apa sih, bagaimana ia mengubah Comala menjadi Comala dalam Pedro Paramo.

 

Menyambung jawaban tadi, kira-kira Dea mau melakukan apa sepulang dari Meksiko? Menulis novel, puisi atau cerpen?

Sebenarnya tanggung jawab dari program residensi itu sendiri kan haru menyelesaikan satu buku. Nah, aku menjanjikan ke mereka naskah novelku yang pertama, kisah Rudi si penulis yang hilang. Rencananya kuselesaikan sepulang dari sana. Tapi nggak tau sih, kalau naskah kedua yang ensiklopedi kelar duluan, ya yang itu. (Tertawa). 

Jadi, inti programnya itu: Kemendikbud menyediakan uang, menyediakan waktu, dan kebebasan memilih negara buat penulis untuk melakukan riset. Dan setelahnya mewajibkan penulis menyelesaikan satu karya sepulang dari sana.

 

Memperdalam sastra dimulai dari kota kelahiran atau semenjak masuk UGM di Yogyakarta?

Seperti yang aku bilang tadi. Sebenernya aku sudah mulai membaca dan menulis sejak di Bangka. Karena ya aku kan sampai tamat SMA di sana. Hanya saja aku baru benar-benar menemukan iklim yang cocok untuk belajar menulis itu waktu kuliah di Jogja. Kebetulan fakultasku bukan fakultas yang besar, tapi ia memiliki perpustakaan yang koleksinya lumayan luas dan beberapa buku yang berpengaruh padaku, dan aku suka itu. Banyak yang aku temukan di sana.

 

Hal paling menakutkan ketika Dea ‘tenggelam’ di dalam dunia sastra?

Kalau secara spesifik dari sastranya sendiri sih enggak. Tapi aku takut kena demensia. Pokoknya penyakit yang merusak atau melumpuhkan pikiranmu. Karena beberapa penulis yang kukagumi mengalami itu. Gabriel Garcia Marquez kena itu, Hemingway kena itu. Sedih saja sih. Penulis kan bekerja menggunakan kepalanya. Ketika penyakit itu sendiri merusak kepalanya, bisa apa?

 

Punya rekomendasi bacaan buat anak-anak muda?

Sebenarnya aku tidak pernah membedakan sih, mau anak muda atau yang ga muda lagi. Bahkan anak-anak itu bisa membaca buku yang sama. Karena aku percaya kapasitas intelektual itu sepadan, nggak bisa diremehkan. Jangan mentang-mentang anak-anak harus dikasih buku sederhana, remaja harus dikasih buku yang ala kadar. Semua sama saja. Tapi kalau untuk buku rekomendasi, kalau dari sastra Indonesia tuh harus baca bukunya Budi Darma, terutama yang Orang-Orang Bloomington. Buku-bukunya beliau yang lain-lain juga oke sih, misalnya Rafilus dan Olenka. Tapi kalau [karyanya] yang ada di kumpulan cerpen kompilasi pilihan Kompas itu jelek, jauh banget dari Orang-Orang Bloomington.

Kemudian Pedro Paramo-nya Juan Rulfo. Sebelum ‘boom’ sastra Amerika Latin yang dikenal dengan gaya realisme magis semacam yang diterapkan Gabriel Marquez, Mario Vargas Llosa, Juan Rulfo sudah melakukan itu jauh-jauh hari. Dulu sebelum ada istilah realisme magis, namanya fantastic literature. Penulis-penulsinya misal Julio Cortazar, Jorge Luis Borges juga termasuk.

Apalagi ya. Buku puisi mungkin. Ada beberapa penyair yang jelas bagus, jelas perlu dibaca seperti misal Pablo Neruda. Tapi sebaiknya pembaca puisi tidak cukup puas hanya membaca Neruda. Memang tidak terhindarkan membaca Neruda, tapi masa baca Neruda doang. Nah kalau untuk sekarang aku suka penyair perempuan. Jadi ada penyair perempuan, dia itu seorang imigran, tinggal di Argentina. Namanya Alejandra Pizarnik. Itu bagus banget. Terus di Eropa juga ada namnaya Wislawa Szymborska. Itu juga bagus.

 

Musik andalan Dea ketika menemani menulis apa?

Aku suka musik. Tapi aku tidak bisa menulis sambil mendengarkan musik. Karena aku gampang banget terdistraksi sama bunyi-bunyian. Kecuali waktu nulis skripsi yah, karena itu membosankan. (Tertawa).

 

Terakhir mungkin. Dea merasakan nggak sih kalau akhir-akhir ini dunia sastra Indonesia itu berubah kiblat? Maksudnya, sekarang orang-orang lebih banyak membicarakan karya sastra Amerika Latin, sedangkan sebelumnya karya-karya dari Eropa dan Rusia.

Soal tren ya itu maksudnya? Terus terang aku nggak begitu perhatikan ya. Hanya saja, misalkan ada penulis Indonesia yang tulisannya kubaca dan aku suka, ya sudah aku bicarakan ke orang-orang. Kalau tren aku nggak tahu dan kenapa seperti itu aku pun nggak tahu. Tapi kalau di dunia secara luas, itu sekarang memang ada tren penulisan macam metafiksi. Ya macam begitu, yang bermain-main.

Bukan baru-baru ini juga sih, sebetulnya sudah cukup lama tren tersebut. Kalau sekarang misalnya ada penulis muda Chile, Alejandro Zambra. Dia punya beberapa novel yang oke banget. Tapi buku terbarunya itu nggak bisa dibaca, bentuknya itu soal ujian, ada pilihan ganda dan lain-lain. Nah, bisa sampai begitu main-mainnya. Balik lagi, aku nggak tahu apa yang menyebabkan itu, kenapa ada tren seperti itu. Karena kan berurusan dengan industri juga.

 

(penakota.id - fdm/glp)