HUMANIORA
17 Nov 2017 12:00
411
Kolonialisme dan Sastra

Penakota.id - Kata kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) berasal dari kata Romawi "colonial" yang berarti tanah pertanian atau pemukiman, dan mengacu kepada orang Romawi yang bermukim di negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan kewarganegaraan mereka. Karena itu, makna kolonialisme dapat dideskripsikan sebagai, "sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru sekumpulan orang yang bermukim dalam lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asal dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan negara asal masih dipertahankan".

Sedangkan sastra menurut KBBI yaitu, bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab, bukan bahasa sehari-hari kesusasteraan, karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah; kitab suci hindu, kitab ilmu pengetahuan; pustaka, kitab primbon berisi ramalan, perhitungan dan sebagainya; tulisan, huruf-huruf; ahli sastra; orang yang paham benar dengan kesusastraan; seni karang-mengarang prosa dan puisi.

Dalam kesempatan kali ini, saya mencoba mencari hubungan kolonialisme dengan sastra---yang mana seringkali luput dari pembahasan tentang studi kolonialisme/pascakolonial. Studi-studi literer humanis sejak lama telah melawan gagasan bahwa literatur tidak ada kaitannya dengan perpolitikan---atas dasar-dasar bahwa yang pertama itu terlalu subjektif, individual, dan personal ataupun terlalu universal dan transenden untuk dipengaruhi.

Pertama-tama, peran penting literatur dalam wacana-wacana kolonial dan antikolonial mulai ditelaah. Sejak Plato, telah diakui bahwa literatur menjadi mediator antara yang riil dengan yang imajiner. Perdebatan-perdebatan Marxis dan pasca strukturalis tentang ideologi semakin mencoba mendefinisikan sifat dari mediasi ini. Naskah-naskah literer, sebagai kumpulan kompleks bahasa-bahasa dan tanda-tanda, bisa diindetifikasi sebagai tempat-tempat yang sangat subur untuk interaksi-interaksi ideologis seperti itu.

23594274-1715922825093863-8425339496618262528-n

Naskah-naskah literer beredar dalam masyarakat bukan hanya karena nilai instrinsik mereka, tetapi karena mereka adalah bagian dari lembaga-lembaga lain seperti pasar, atau sistem pendidikan. Melaui lembaga-lembaga ini, mereka memainkan peran penting dalam membangun suatu otoritas kultural bagi para penjajah, baik di metropolis maupun di koloni-koloni.

Literatur yang ditulis oleh penjajah maupun oleh yang dijajah itu dalam prosesnya sering menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya "lain", menciptakan genre, gagasan-gagasan, dan identitas-identitas baru. Akhirnya, literatur juga merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikkan atau menantang sarana-sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial.

Kontak kolonial itu bukan hanya tercermin dalam bahasa atau gambaran-gambaran naskah-naskah literer, bukan hanya latar atau konteks untuk pementasan drama-drama manusia, tetapi merupakan suatu aspek sentral dari apa yang dikatakan naskah-naskah ini tentang identitas, hubungan, dan budaya. Di lain sisi, sastra memang menjadi bagian penting bagi para penjajah untuk memasukan budaya mereka ke tanah jajahan, atau lebih jauh untuk merubah pola pikir masyarakat jajahannya.

(Penakota.id - abr/fdm)