NASIONAL
08 Dec 2017 12:00
656
Kamisan 517: Ny Sumarsih Masih di Bawah Payung Hitam

Penakota.id - Sudah cukup lama, kira-kira 19 tahun yang lalu ia masih dapat menghayati lekuk tubuh, wajah dan tengkuk leher sang anak secara langsung. Pasca itu dan sampai hari ini ia hanya dapat mengampainya di ingatan saja, menguatkan imannya dan berharap perlindungan akan semangat keadilan tak luntur di bawah payung hitam. Anaknya yang malang, ia masih mengingatnya sampai sekarang. Peristiwa itu benar-benar membuatnya rapuh seketika, apalagi saat anak bujangnya diketahui menjadi salah satu korban penembakan oleh tentara. Ibu mana yang tidak bersedih hati ketika harus mendengar kabar duka tentang anak atau belahan jiwanya. Begitu juga ia, Ny Sumarsih.

Politik negeri saat itu memang sedang carut-marut, puncaknya ketika memasuki bulan Mei 1998, ketika Soeharto yang sejak dari jauh-jauh hari ditekan oleh para demonstran, di antaranya mahasiswa dan aktivis untuk mundur memutuskan untuk tidak melanjutkan jabatannya sebagai presiden lagi. Kendati demikian, para demonstran belum merasa puas, pasalnya BJ.Habibie yang saat itu menjadi pemimpin masa transisi dianggap juga telah gagal memenuhi tuntutan mereka, perbaikan ekonomi dan reformasi total.

Situasi makin mencekam dan porak-poranda saat santer terdengar rencana Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1998 dengan kepentingan untuk menentukan Pemilu berikutnya dan pembahasan terkait agenda-agenda pemerintah yang akan dipetakan. Pada saat itu, sumbu dalam hati para demonstran terasa mulai melahirkan anak api kembali. Mereka semua marah. Mereka semua menentang keras lantaran tidak mengakui pemerintah transisi sekaligus mendesak agar supaya militer disingkirkan daripada jantung pemerintahan—juga menyapu Orde Baru yang berada di dalamnya.

Rasa dilema terkesan menghantui hari Ny Sumarsih pada saat itu. Ia yang pada saat itu juga berada di posisi sebagai staf DPR yang juga turut sibuk mempersiapkan Sidang Istimewa harus berhadapan dengan penentangan para demonstran. Apalagi, salah satu dari demonstran tersebut adalah anak bujang kesayangannya, anak bujang yang setiap hari ia khawatirkan keselamatannya pasca peristiwa Trisakti. Ny Sumarsih pastinya merasa kebingungan harus memposisikan dirinya seperti apa. Dua pilihan antara profesionalitas dan batin seorang ibu pastilah bersemayam menghantui.

Hari ketiga Sidang Istimewa menjadi puncak kemarahan para demonstran. Ratusan dari mereka pada akahirnya memutuskan untuk bergerak membanjiri gedung DPR/MPR dari segala arahnya. Naas, mereka tidak berhasil. Seumpama bunga, mereka seperti tidak dihendaki tumbuh, tidak dihendaki adanya, rontok di depan para Tentara dan Brimob negeri sendiri. Chaos pun terjadi, keadaan pasca itu membikin orang-orang seperti kumpulan-kumpulan semut saat kaki manusia sengaja menginjak mereka. Banyak dari mereka terluka, terkapar, bahkan mati malam harinya. Lukman mati. Teddy mati. Dan, Bernadus, anak laki-laki bujang kesayangan Ny Sumarsih mati pula.

Itulah peristiwa yang memisahkan Ny Sumarsih dan anak bujang kesayangannya. Sekarang Ny Sumarsih tidak mengerti harus berbuat apa. Ia hanya memegang payung hitam berharap keadilan datang dan pemerintah akan menyoroti peristiwa yang dikenal dengan Peristiwa Semanggi (dan yang serupa) dengan lebih serius. Sebab sampai hari ini, pemerintah silih berganti hanya berjanji dan berjanji saja.

Kamisan 517

Ibu Tani. Ibu Tani. Ibu Tani. Beberapa dari mereka membawa payung hitam dibarengi bersholawat saat menjelang aksi Kamisan (7/12) akan dimulai. Mereka menghampiri para kerumunan sambil memasang wajah penuh harapan akan keadilan. Mereka, para petani Kendeng menjadi salah satu elemen yang meramikan acara Kamisan di Taman Pandang Istana, Jakarta Pusat.

Acara yang dimulai pukul 15.00 itu mengundang banyak simpati masyarakat. Terbukti, Taman Pandang Istana terlihat penuh oleh orang-orang yang hadir. Diketahui, Kamisan kemarin merupakan aksi unjuk rasa demi menuntut hukum dan hak asasi manusia yang telah menginjak kamis ke 517. Ketika dua MC menyatakan acara telah dimulai, dari belakang kerumunan sesosok wanita dipanggil. Ny Sumarsih. Dia adalah wanita tua yang menjadi penggagas aksi Kamisan yang telah berumur hampir 10 tahun pasca Kamis, 18 Januari 2007 silam.

Ny Sumarsih dengan tatapan kosong namun haru berjalan menuju panggung. Menggunakan pakaian hitam, ia masih saja menggengam payung hitamnya, simbol daripada sebuah perlindungan dan keteguhan iman merujuk pada pendapat yang dikatakannya sendiri.  Di hadapan kerumunan yang saat itu memposisikan diri mereka dengan menduduki bumi Taman Pandang Istana, Ny Sumarsih pun menyamakan posisi. Ia duduk sama rata dengan orang-orang di hadapannya.

Kamisan kemarin bertepatan dengan lahirnya Amnesty International Indonesia. Ny Sumarsih merasa bahwa kasus yang sudah lama terbentur tembok penguasa mendapat sebuah harapan. Ia berharap dengan adanya Amnesty International Indonesia dapat membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia diselesaikan di tingkat internasional.

“Saya berharap agar Amnesty International Indonesia bisa membawa kasus-kasu pelanggaran HAM berat di Indonesia ini dapat diselesaikan di tingkat internasional. Terima kasih, semoga Amnesty Internasional Indonesia mampu mewujudkan visi misi yang diemban di negara Indonesia,” kata Ny Sumarsih dalam pidato pembukanya.

Banyak pekerja seni yang juga turut ambil andil dalam aksi kali ini. Beberapa di antara mereka yakni, Sanggar Ciliwung Merdeka, Ananda Badudu (mantan eksponen Bandaneira), Danila, Pandai Besi, Melani Subono, dan Glenn Fredly.

Selain band Efek Rumah Kaca atau Pandai Besi, Ananda Badudu adalah salah satu pekerja seni yang cukup sering berpartisipasi dalam acara Kamisan maupun acara-acara yang berbau HAM. Dalam hatinya ia merasa sedih, karena menurutnya, ketika dia masih cukup sering berpartisipasi artinya keadilan belum terlihat, masih harus dituntut.

“Sebenarnya sedih ya kalau ikut-ikut terus. Karena artinya ini masih harus dituntut. Cuma akan lebih sedih lagi kalau misalnya ini yang terus menerus sudah bertahun-tahun berjalan orang-orang semakin lupa, semakin hirau akan isu-isu yang disuarakan di momen-momen seperti ini. itu akan jauh lebih menyedihkan. Jadi sebisa mungkin saya, sesuai kapasitas ingin ikutan meramaikanlah,” kata Ananda Badudu.

Ananda Badudu masih percaya bahwa dengan adanya aksi rutin seperti ini, hal-hal yang disuarakan akan terealisasikan walapun menurut Ananda aspirasi-aspirasi terkesan masih sulit menembus dan diresapi oleh elit politik.

“Kita harus tetap percaya suara teman-teman di sini akan terealisasikan. Karena kita harus tetap menjaga harapan itu. Walaupun keliatannya sistem di Indonesia ini masih akan terus mempersulit kita untuk beraspirasi lewat parlemen, beraspirasi lewat eksekutif. Dan isu-isu seperti ini sebenarnya kan sangat tidak seksi karena bisa menurunkan elektabilitas. Cuma ya kita ga peduli. Yang kita percaya adalah nilai, bukan cuma menang di pemilu atau siapa yang berkuasa,” tambah Ananda yang pada hari itu menyumbangkan satu lagunya, 'Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti'. (penakota.id - fdm/fdm)