HUMANIORA
15 Dec 2017 12:00
1087
Black Mirror dan Kecemasan yang Berkedut

Penakota.id Medium is the message adalah pasase yang tersohor dari ilmuwan Marshall McLuhan. Ia mengatakan bahwa media itu sendiri lebih penting daripada isi pesan yang disampaikan oleh media tersebut. McLuhan juga menyebutkan bahwa media adalah perpanjangan dari inderawi manusia. Media tidak hanya memperpanjang jangkauan kita terhadap suatu tempat, peristiwa, informasi, tapi juga menjadikan hidup kita lebih efisien. Lebih dari itu media juga membantu kita dalam menafsirkan tentang kehidupan kita.

Sementara itu, apa yang bisa kita tafsirkan dari media dan teknologi lewat serial televisi Black Mirror? Bagi yang belum mengetahui, Black Mirror adalah serial televisi dari Inggris dengan konsep antologi, alias dengan cerita dan aktor yang berbeda-beda di tiap episodenya—tetapi dengan tema yang sama: paranoia teknologi.

Menonton Black Mirror bagi saya seperti kita sedang membaca antologi cerpen. Kita dapat membacanya satu persatu tanpa harus terkait dengan cerita lainnya. Varian tema yang digunakan fokus pada ihwal teknologi dan sisi gelapnya. Sementara premis yang hadir dari tiap episode ke episode begitu spekulatif: mencekam, satir dan segala potensi fiksi ilmiah diramu dalam sajian durasi 50 sampai 60 menit.

Bagi sebagian orang, menonton serial televisi mungkin begitu candu juga melelahkan. Rasa penasaran akan episode selanjutnya, tokoh siapa yang lenyap, kemudian muncul tokoh baru, konflik baru dan begitu seterusnya. Namun, dalam Black Mirror, ada situasi adiktif lainnya: gagasan. Karena masing-masing cerita berdiri sendiri—tanpa harus lelah berurusan dengan episode sebelumnya—membuat serial ini banyak diminati. Terlebih gagasan yang ditampilkan tak jauh dari keseharian masyarakat yang setiap hari bersentuhan dengan media dan teknologi.

Gagasan yang ditampilkan Black Mirror penuh dengan berbagai kemungkinan dan ketidakkemungkinan. Kemungkinan untuk hidup kembali setelah mati. Tuhan yang menentukan, tapi sains terkadang menawarkan pilihan. Kemungkinan untuk masuk dalam realitas virtual—yang sulit untuk membedakan mana yang nyata atau hanya simulasi. Kemungkinan untuk merekam segala memori lewat cip yang diselipkan di mata. Dan kemungkinan gila-gila lainnya. Kemungkinan gila itu pun mendarat juga pada ketidakmungkinan, seperti: utopia di dunia maya yang malah menghancurkan citra di dunia raga.

Bagi saya menyaksikan episode ke episode dengan judul dan kemungkinan yang berbeda-beda, membuat lelehan imajinasi kian mengepul. Ada guratan ironi, satir dan lintir plot yang membuat adrenalin terus berpacu dan seakan di akhir kisah kita ingin mengutuk karena dunia yang kita alami lewat realitas maya begitu dekat terekam oleh Black Mirror. Seperti namanya, Black Mirror adalah cerminan kegelapan di balik keindahan permukaan. Ada situasi mencekam di balik kedalaman yang hadir di permukaan. Dari mulai gawai di layar ponsel, laptop, televisi dan perangkat sibernetika lainnya. Semua yang nyata kini menjadi simulasi, Jean Baudrillard menuturkan.

25018785-148280112486398-4597280977289478144-n

Jika hal instan adalah hal yang lumrah di era sekarang, seperti dunia yang berlari tanpa henti, maka saya akan mengurutkan hirarki kenikmatan sesuai selera saya terkait episode-episode yang berseliweran dari musim ke musim. Kalian bisa saja tidak setuju dengan daftar urutan ini. Kalian bisa ketik di kolom entri mesin pencarian terkait dari yang terburuk sampai terbaik—semua terpacak di sana. Semua punya hak setuju atau tidak terkait selera, pengalaman, resepsi pembacaan, kedekatan premis, lingkungan dan wawasan personal. Semua itu mempengaruhi pilihan dan konteks yang akan diangkat. Maka dimulai saja dari:

13. The Waldo Moment

Ketika tokoh fiksi di salah satu segmen acara politik menjadi mimpi buruk politisi sesungguhnya. Dari televisi ke jalan-jalan, ruang dan transportasi publik, hingga kecemasan akan citra baik yang gugur. Dagelan politik yang sebenarnya sudah lazim terjadi di Indonesia. Menonton bagian ini rasanya seperti mengonsumsi berita-berita di kanal utama media arus utama: wes biasa.

12.  The National Anthem

Salah seorang pejabat pemerintahan dibuat geger oleh ulah seseorang yang menculik putrinya. Bukan materi yang diminta. Lalu apa tebusannya? Pejabat ini harus mau melakukan hubungan seks dengan seekor babi lalu disiarkan secara langsung di televisi nasional. Apapun yang dihadapi, ketegangan demi ketegangan melapisi tiap adegan. Rasa penasaran akan hasil akhirnya, atau menikmati kegugupan yang ditampilkan di publik. Sebuah pertunjukan akan nilai kemanusian, harga diri, hingga pertautan emosi keluarga.  Di sini vox populi tidak selalu berarti vox Dei. Alih-alih bebas bersuara, muara katastrof hadir di tengah-tengah kita.

11. San Junipero

Pada beberapa ulasan, episode ini menjadi salah satu pilihan terbaik. Dunia sesudah mati, dunia di ambang mati dan dunia ketika mati. Ketika hidup bukanlah pilihan yang menyenangkan, kematian yang fana dan bisa berpindah ke berbagai spektrum waktu mungkin memang sangat menyenangkan. Lupakan mesin waktu. Kini teknologi itu bisa hadir lewat kesadaran diri yang sedang krisis. Dan sejarah seperti sapu ijuk yang bisa menghapus kotoran di lantai.

10. Hated in the Nation

Persoalan-persoalan lingkungan hidup sering terjadi di belahan dunia manapun. Sejumlah konflik sumber daya alam terjadi di negeri ini. Dari reklamasi sampai pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan premis episode ini saling berpilin. Hingga pada tajuk akhir yang bisa lintir plot, bagi saya bisa saja memang begini adanya: di balik rezim kekuasaan dan daya hidup kapitalistik.

9. White Christmas

Bercerita adalah metode yang ampuh bagi sebagian orang untuk terapi. Namun adakalanya cerita pada orang dan situasi yang tidak tepat dapat menambah masalah baru. Dengan lokasi antah berantah serta durasi bercerita selama 5 tahun, membuat alur berjalan presisi. Berbagai enigma hadir dari spektakel dan dialog-dialognya.

8. Men Against Fire

Di cerita ini, saya mafhum bahwa kebenaran dan kesalahan memiliki versinya masing-masing. Ilusi kebencian dan penghakiman yang marak belakangan ini, menyulut dunia yang tak lagi ramah. Dunia yang terus berlari demi sesuatu yang nirrasa. Mereka jelma pada pengkultusan. Nubuat pada kedamaian dengan dalihnya masing-masing.

7. Be Right Back

Bagi yang sudah menonton Her, mungkin episode ini akan biasa saja atau sebaliknya. Ini adalah versi ekstrim yang rasional bila kita menilik pencapaian teknologi di masa sekarang. Ketika zaman masuk ke automata, ketika semua serba pintar dan cepat. Maka, utopia manusia akan kehidupan yang panjang akan menemukan titik terang atau kegelapan. Tergantung bagaimana kita menyikapi dan menggunakannya. Teknologi implan cip, prostetik, manusia bionik dan lain sebagainya adalah entitas yang akan kita temui dimulai dari hari ini. Raga bisa hilang, namun kesadaran bisa diunduh dan ditransfer ke medium lainnya.

6. White Bear

Seorang wanita bangun dari rumahnya, hilang ingatan. Ketika keluar dan meminta pertolongan, semua orang hanya merekamnya lewat ponsel. Bahkan ketika orang bertopeng mengejar dan berusaha membunuhnya, semua hanya merekam tanpa harus berupaya pada tendensi norma dan moral: tolong menolong. Mindblowing, sampai pada akhirnya semua pertanyaan akan menemukan jawaban di akhir cerita.

5. Playtest

Seorang yang kadung jenuh dengan relitas dunia pertama dan kemewahannya, pergi melancong ke zona dunia ketiga. Tak menemukan kebahagiaan lagi serta sudah bersyukur dengan itu, ia mencoba mencari tantangan baru: menjadi salah seorang kelinci percobaan dari gim virtual augmented reality. Eksperimen demi eksperimen ia dapat dari gim realitas virtual tersebut. Awalnya tentu menyenangkan dengan segala bentuk kemewahan visual dan indrawi yang mumpuni. Seperti kita berada dalam dunia gim tersebut. Ditempatkan di sebuah rumah kosong yang ganjil dan angker, membuat adrenalin dan sensasi kebahagiaan kian melonjak. Ketakutan adalah candu yang dipermainkan. Namun apakah kebahagiaan? Ketika terlampau bahagia berujung hampa dan dapat tertimpa bencana. Lagi-lagi, episode black mirror cenderung mendapatkan jawaban di penghujung cerita. Horror tak selamanya hantu, ia pun merupa psikologi dari candu gim virtual.

4. Shut Up and Dance

Internet adalah ladang untuk menanam dan memetik apa saja. Koneksi tanpa batas memang menjadi hak tiap individu, namun juga menjadi bumerang bagi penggunanya bila kita larut di dalamnya tanpa eling nan waspada. Layanan streaming, unduh mengunduh bisa berakibat fatal bila kegiatanmu semua ada yang memantau. Ketika privasi tak lagi ada, dan orang di luar sana merenggut semuanya untuk kepentingan komersil atau klangenan semata.  Salah satu episode favorit saya. Saw versi psikologis dan mental. Ketika citra diri di dunia nyata dapat hancur seketika oleh sebuah pesan yang masuk terus ke gawai. Ketika manusia patuh akan segala hal, tanpa pikiran yang jernih. Dengan dalih: kosmos citra diri diri. Mencengangkan dan menegangkan sampai akhir.

3. Nosedive

Seorang perempuan ingin mendapatkan apartemen baru namun dengan syarat: kualitas dirimu bisa dilihat dari penilaian orang lain. Perjuangan untuk mendapat rating yang tinggi, menjadi penggerak cerita. Semacam insight, engagement, viewers, likes dan peranti media sosial lainnya. Episode yang paling realistis di Black Mirror. Semua sudah terjadi di sekitar kita. Ketika penilaian dari lingkungan dan masyarakat menjadi premis utama, semua dapat runtuh seketika ketika kita tidak berbuat baik atau setidaknya citra positif tak nampak. Hal sama dinyatakan Kundera dengan kemenangan imagology, dengan dimulainya ‘ketetapan’ citra lebih penting dari realitas empiriknya dan menginduk pada simboliknya. Di era imagology terjadi produksi dan pengendalian budaya manusia. Dalam budaya massa manusia mengkonsumsi produk real dan non-real. Namun yang nyata dan tidak nyata kini telah sublim menjadi entitas yang rumit.

2. Fifteen Million Merits

Di masa depan, semua orang bekerja berdasarkan kasta: kalau punya bakat bisa masuk talent show; kalau biasa aja bisa kerja dengan ‘ngayuh sepeda’ untuk mendapatkan energi dan dibayar dengan mata uang merit; kalau gendut akan dibenci dan disuruh jadi tukang bersih-bersih. Konstruksi ideal ciptaan media dan kelompok mayoritas memang tidak ada habisnya. Kita harus begini, kita harus begitu. Sementara yang tahu jati diri kita, tentu kita sendiri. Kegamangan yang tiada pangkal. Premis dan eksekusi visual begitu ciamik. Seperti kita berada di kamar tersebut dengan berbagai realitas virtual yang hidup. Namun berbagai kenikmatan itu akan jelma jadi bencana (lagi-lagi) yang membuat susah tidur berkepanjangan karena Charlie Brooker mengemasnya dengan apik.

1. The Entire History of You

Kecurigaan akan manusia berakibat masif. Bisa destruktif bisa pula konstruktif. Di suatu masa, semua orang punya alat untuk me-redo alias mengakses ingatan sehingga bisa dipakai seperti nonton TV. Suatu hari, seorang suami mencurigai istrinya memiliki affair dan mencoba mengumpulkan kecurigaannya melalui alat bernama grain. Ketika mata dan otak tak sebatas memandang, namun ia dapat merekam memori lampau yang usang dan panjang. Ketika tak lagi ada privasi, dan dunia menuju memori kolektif yang dapat didikte.

Maka begitulah Black Mirror, penuh kegamangan dan kecemasan di ruang tunggu maupun ruang tak terbatas lainnya. Masalah selalu berkedut tiap episode ke episode. Frame yang subtil, visual yang ciamik serta premis yang kuat membuat serial ini begitu hidup. Bagi yang tak sabar menanti aksi selanjutnya, di penghujung tahun 2017, episode baru akan keluar. Bersiap-siaplah untuk keganjilan yang lazim. Sebuah spektakel dan perpanjangan dari I-robot Isaac Asimov, Brave New World Aldous Huxley dan 1984 George Orwell yang lebih variatif dan kontekstual.

(Penakota.id - glp/mht)