Penakota.id - Di masa lalu kita mempunyai seorang sastrawan yang gemar menabrak-nabrakan pemahaman yang kadang bisa membuat bingung sekaligus takjub, misalnya seperti Danarto. Di era milenium ini, ada nama lain yang muncul dan sekiranya cukup terlalu jauh jika harus dibanding-bandingkan dengan Danarto atau sastrawan-sastrawan absurd pendahulunya. Orang ini akrab disapa Sulak dan ia salah satu pelopor sastra angkatan 2000, setidaknya versi Korrie Layun Rampan.
AS Laksana atau menurutnya akan lebih hangat disapa Sulak, adalah sastrawan kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Usianya kini telah mencapai saat ‘matang-matangnya’ dalam berkarya. Pun dari hari ke hari tulisannya memang semakin membuat pembaca ketagihan. Bagi saya, AS Laksana menghadirkan suatu estetik penting dalam prosa kita. Maka itu cukup wajar jika karya dan dirinya dinobatkan sebagai yang terbaik oleh majalah Tempo pada 2004 dan 2013 silam.
Jauh ke masa lalu, Sulak kecil diketahui gemar menjilid karangan puisi serta cerpennya menjadi sebuah buku dengan hiasan vignet. Ia merasa bakat kecilnya itu berasal dari darah sang kakek, Mbah Sumo, yang dahulu juga gemar menulis buku harian. Berawal dari kebiasaan itu, Sulak tumbuh menjadi pribadi yang mencintai literasi. Dirinya tumbuh bersama tulisan-tulisan di majalah Horison, yang sekalipun tidak terlalu ia mengerti, tetapi di masa itu menghadirkan sensasi tersendiri ketika ia baca.
Langkah cerah sastrawan ini mulai terlihat ketika ia memasuki jenjang SMA, dan cerpen 'Suara-suara' yang ditulisnya saat tingkat 2 menjadi karya pertama yang terbit di harian Kartika. Sulak kecil sepertinya tampak sumringah menjalani kehidupan berliterasi. Suatu waktu dalam curhatannya di Tempo, ia juga mengutarakan kegemarannya membaca puisi, walau kala itu berkali-kali suaranya tak pernah keluar sesuai harapan. Sulak kecil pun pernah mencoba bermain drama, sayang kelanjutannya tak berbeda jauh dengan nasib ketika berpuisi. Kecurigaan saya, AS Laksana dulu adalah seorang anak kecil yang cukup pemalu.
Tumbuh besar, Sulak semakin menunjukkan kesungguhannya di dunia sastra. Setelah kuliah Bahasa Indonesia (IKIP Semarang, 1987—1988) dan Ilmu Komunikasi (FISIPOL UGM, 1988—1990) tidak berlangsung beres, pada tahun 1993 ia hijrah ke Jakarta dan membentuk Gorong-Gorong Budaya bersama Hasif Amini, Jose Rizal Manua, Sitok Srengenge, dan Najib Azca sebagai pelabuhan diskusi pertamanya di ibukota. Di sana, mereka melakukan diskusi hingga penerbitan majalah. Walau dalam kelangsungannya gagasan yang mereka godok tidak berlangsung lama.
Sulak pun kemudian kembali menengok dunia jurnalistik yang pernah selama dua tahun ditekuninya di FISIPOL UGM. Bersama Eros Djarot, ia membentuk sebuah majalah politik bernama DeTIK (1993—21 Juni 1994) yang akhirnya dibredel oleh rezim Soeharto. Karir jurnalistik Sulak naik-turun. Setelah DeTIK lenyap, kemudian ia beralih pena ke banyak tempat. Selain membentuk majalah baru, DeTAK, Sulak pun melanglang buana ke Tempo, Tabloid Investigasi, juga kini sering kita lihat mengisi kolom Ruang Putih di Jawa Pos. Walau memang langkah kakinya pun tetap tak jauh dari lingkungan pegiat sastra. Sulak yang terombang-ambing dalam semangat reformasi juga banyak bergelut di Komunitas Utan Kayu yang membantunya tetap produktif menghasilkan banyak prosa.
Pada tahun 2000, Sulak kemudian mendirikan Yayasan Akubaca (bersama Noviana Kusumawardhani), di mana tempat tersebut menghadirkan kontribusi lebih jauh lagi dalam dunia sastra Indonesia. Baginya, salah satu cara membumikan sastra ataupun literasi yang hebat adalah dengan menerjemahkan karya-karya berkualitas. Dari sana setiap penulis bisa belajar banyak dalam meramu formula. Mulai dari menyusun plot, menguatkan karakter, hingga pembelajaran-pembelajaran lain yang semula mungkin luput dari pandangan. Melalui yayasan tersebut ia menerjemahkan karya-karya Viki King, Niccolo Machiavelli, Sherwood Anderson, O. Henry, juga Edgar Allan Poe.
Referensi yang didapatnya sungguh luas. Tidak hanya sebatas pengarang-pengarang yang disebut barusan saja, Sulak terus membuka cakrawalanya hingga ke ujung dunia. Seratus Tahun Kesunyian (Gabriel Garcia Marquez), Dataran Tortilla (John Steinbeck), Prajurit Schweik (Jaroslav Hasek), Lelaki Tua dan Laut (Ernest Hemingway), dan Totto Chan (Tetsuko Kuroyanagi) adalah sedikit di antara karya-karya asing yang difavoritkannya. Banyaknya referensi tersebut menghadirkan pengaruh yang penting dalam gaya penulisan AS Laksana. Ia menjadi cermat dan kemudian bisa mengulik-ngulik berbagai gaya dari setiap pengarang tersebut hingga akhirnya ia mampu menemukan gayanya sendiri dalam bercerita.
Hingga telur pertama pun pecah pada 2004, ketika Bidadari yang Mengembara (KataKita) menjadi daya gedor atas perjalanan penulisan cerpen Sulak selama ini. Kumcer tersebut lahir sebagai penanda bahwa ada gaya estetik absurd yang tidak harus selamanya berpatok kepada Danarto dan angkatan-angkatan tua lainnya. Sekalipun kumpulan cerpen selanjutnya lahir cukup jauh yakni pada 2013, berjudul Murjangkung (GagasMedia). Dan di antara itu sempat hadir pula novel adaptasi dari film yang berjudul Cinta Silver (GagasMedia, 2005).
Di luar itu, sebetulnya ia juga tercatat pernah menghasilkan karya-karya di luar sastra yang sepertinya tidak banyak diketahui penikmat karya prosanya. Seperti Podium DeTIK (Sipress, 1995) yang berisi kumpulan esai-esai perlawanannya selama menjadi wartawan, komik Skandal Bank Bali (1999) kolaborasi dengan Muid Mularnoidin, dan bersama sejawatnya Eros Djarot pernah merilis film semi dokumenter Sakura di Bumi Nusantara (1995) kerjasama Ekapraya Film dengan NHK Japan.
Satu yang penting sebetulnya adalah bahwa AS Laksana dikenal sebagai penyumbang ilmu yang lihai di jagad maya. Tak terhitung berapa banyak tulisan yang sudah disebarnya di internet. Ia berkontribusi banyak dalam membimbing generasi-generasi di bawahnya agar bisa menulis lebih cakap dan piawai.
Berdasar itu perannya kini mulai terlihat krusial jika kita amati dengan seksama. Sulak yang dewasa kini mampu menjadi pencerita yang ulung sekaligus menjadi ayah yang baik bagi generasi muda yang mau berkarya. Ia tidak hanya terus mereproduksi banyak karya untuk mengokohkan namanya sendiri. Pun ada ilmu-ilmu yang ia sebar agar kesusastraan kita menjadi suatu yang wah di mata dunia. Karena baginya selama ini, dunia sastra Indonesia itu memang ramai, tetapi sayang hanya sebatas seru-seruan di arena komplek saja, tidak melangkah lebih jauh lagi.
Sumbangsih untuk Memajukan Literasi
Bermula dari Yayasan Akubaca, Sulak kemudian menjadi rajin dalam melakukan penerjemahan. Ia menggali banyak referensi luar yang kemudian ia olah untuk disebar di dalam negeri. Walaupun tetap pada prinsipnya hal yang dilakukannya memakai azas korporasi, di mana kemudian kebangkrutan menjadi suatu hal yang ditakut-takuti.
Salah satu ilmu dari penerjemahan yang didapatnya adalah mengenai keefektifan dialog. Itu merupakan salah satu pembelajaran yang AS Laksana dapatkan dari gaya penceritaan Hemingway. Sulak merasa bahwa dalam dialog itu kita harus memakai kata yang cerdas dan tepat, tanpa perlu mengulang perkataan pada narasi sebelumnya. Hal-hal seperti inilah yang kemudian menjadi contoh kecil dan semakin memperkaya teknik penulisannya.
Adapun kemudian pada akhirnya kebangkrutan yang dihindari Yayasan Akubaca tak terelakkan juga. Sulak yang sepertinya tidak terlalu lihai dalam masalah ekonomi terpaksa menyudahi yayasan yang bergerak di bidang penerjemahan itu. Ada proyek-proyek penerjemahan yang tidak mendapat respon baik, dana tidak cair, dan akhirnya gulung tikarlah menjadi opsi yang mesti dipilih.
Walaupun demikian, pertunjukan belumlah selesai. Di tahun 2003, bersama Yayan Sopyan, dan Agung Bawantara, Sulak mendirikan Jakarta School, sebuah sekolah penulisan kreatif. Sekolah ini muncul akibat kegetiran sastrawan terhadap pelajaran menulis yang tak kunjung membuat pembelajarnya cakap. Dengan didukung oleh pengajar seperti Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, dan Yusi Avianto Pareanom, sekolah ini menjadi sebuah akademi yang menjanjikan kala itu.
Mereka terlihat memiliki visi yang sama untuk menularkan kecakapan bercerita pada generasi-generasi yang ada di bawahnya. Sepertinya, istilah sastra ‘cuma rame-ramean di komplek sendiri’ ingin segera mereka hilangkan dari tanah Indonesia. Walaupun memang, pembelajaran sastra tidaklah semudah wacana membalikkan telapak tangan. Dalam sastra, banyak sekali aspek yang harus dikuasai untuk membuat seseorang mampu menghasilkan karya yang luar biasa.
Salah satu usahanya tersebut juga terlihat dari kegigihannya dalam berbagi banyak tulisan di situs blognya dalam tiap waktu. Saya berani bertaruh bahwa banyak penulis muda yang diam-diam mencuri ilmu dari laman pribadi, hingga laman-laman media mainstream yang banyak dijejaki oleh Sulak. Saking banyaknya seolah muncul Sulak-Sulak lain yang ditugaskan untuk membuat berbagai artikel rutin di tiap waktunya.
Coba telusuri as-laksana.blogspot.com untuk mengawali penelusuran kelihaian AS Laksana dalam meramu tulisan-tulisannya di jagat maya. Blog tersebut akan membawa kita melihat sebuah zona baru dalam pembelajaran menulis. Ia menuliskan banyak metode yang mampu meningkatkan kecakapan kita dalam meramu cerita. Mulai dari pengolahannya secara intrinsik, hingga dengan metode yang tak lazim seperti EFT (Emotional Freedom Technique) dan teknik Ericksonial Hypnosis. Salah satu gebrakkannya adalah saat Sulak membuat 'Pelatihan Menulis Buku dalam 21 Hari' pada 2012 dan beriringan pula dengan itu, terbit buku-tronik 101 Hal yang Wajib Diketahui untuk Mahir Menulis.
Setelah itu, secara bernas lahir pulalah buku Creative Writing: Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (GagasMedia, 2013) sebagai kumpulan formula yang tidak perlu diragukan lagi khasiatnya. Dengan segala pengalamannya, buku tersebut sangat berguna bagi orang-orang yang ingin mulai mencoba menulis cerita. Para pendatang baru akan mendapat tuntunan yang jelas ketika membaca buku tersebut. Seperti ada kedua tangan Sulak yang menuntun jalanmu perlahan-lahan.
Dalam buku tersebut dijelaskan 24 panduan dasar yang bisa dilakukan untuk memudahkan hingga meningkatkan kecakapan seseorang dalam menulis. Mulai dari mengulik rahasia kreativitas, bagaimana meramu kebiasaan menulis, cara-cara ampuh membuka cerita, menyusun adegan, dialog, pilihan sudut pandang, hingga persoalan-persoalan mengenai kebahasaan.
Dalam 'Strategi Tiga Kata' misal. Kita diajarkan tentang sesuatu yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mengonstruksi sebuah cerita hanya berdasarkan 3 modal kata yang dimiliki: kata benda, kata sifat, dan kata kerja. Sekalipun dalam keadaan paceklik sekalipun, rasanya dengan memanfaatkan ide brilian Sulak ini kita akan tetap lancar dalam menuangkan gagasan. Sepertinya, writer’s block itu kelak akan menjadi mitos yang tak perlu dirisaukan.
Ada pula petuah untuk mengonkretkan sesuatu yang abstrak. Dalam cerpen, sesuatu yang abstrak itu memang harus dihindarkan demi menjernihkan maksud dari cerita yang ingin disampaikan. Cara memuluskan hal itu adalah dengan konkretisasi pada hal-hal yang abstrak dalam narasi. Bagaimana kita bisa mengungkapkan amarah tanpa perlu menulis kata marah di dalamnya, bagaimana cara menunjukkan kesenangan tanpa menulis kata senang pada tulisan kita. Sebuah pembelajaran yang semakin memperkaya tulisan tentunya.
Dan, dengan demikian tentu semangat seperti ini janganlah putus kepada seseorang saja. Kerendahan hati AS Laksana untuk terus berbagi sejatinya kembali menyentil kita akan pentingnya rasa kepedulian terhadap proses literasi. Mungkin baginya, seorang sastrawan akan memiliki peran baik bukan ketika dirinya mampu melahirkan puluhan karya masterpiece dan juga tulisan-tulisan kanon. Namun yang dibutuhkan sebetulnya hanya ketulusan hati kecil dari setiap pekarya untuk rela berbagi terhadap pekarya lain. Itulah yang kemudian membuat AS Laksana mempunyai tempat tersendiri di hati penulis-penulis muda seperti saya.
Karya teranyarnya yang bisa disimak adalah Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015), yang mendapat penghargaan sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di 2016. Belum lama ia pun terlibat dalam proyek kebudayaan Tubaba: Kerja Sastra dari Tulang Bawang Barat (2016). Walau yang paling saya tunggu sebetulnya adalah kehadiran karya dari hasil residensinya di Finlandia kemarin. Belakangan ia diisukan akan menerbitkan cerita bersambung Medan Perang dari Koran Tempo yang kejelasannya juga masih membuat saya penasaran. Mari ditunggu saja, sebab saya merasa ia sedang meracik formula terbaiknya untuk kembali menghadirkan kejutan-kejutan yang tak kita duga.
(penakota.id - fsf/fdm)