HUMANIORA
02 Jan 2018 12:00
862
Bagaimana Sir Pentoel Membangun Latar Pada Sebuah Cerita

Ada pengalaman pahit yang paling berkesan dalam hidup Sir Pentoel terkait percintaannya dengan sang mantan. Ketika dia sedang mempersiapkan satu buah kejutan yang menurutnya saat itu akan membekas dan manis. Namun, sebaliknya, Sir putus karena suatu permasalahan. Kejutan itu dia rasa belum pantas untuk diberikan, sementara satu momen sudah pergi.

"Kemana kau saat ulang tahunku? Kau tidak ada kabar barang sedikit pun!"

Penakota.id - Aku duduk di kursi ini sudah hampir sebulan lebih sebelum ulang tahunmu tiba. Di depan layar kaca sambil membayangkan kisah-kisah kita. Kurajut huruf demi huruf dan badanmu menari-nari di halaman per halaman. Aku melupakan orang-orang di luar. Demi kisah-kisah kita, kubangun rumah laba-laba di siku kamar indekos. Kuhamburkan abu-abu bekas roko di ubinnya. Daun telinga kututup agar siapa pun tidak mengganggu. Sebab, sebelum cerita-cerita ini usai, aku adalah seorang narapidana di kamarku sendiri, seekor binatang, dan sesosok alien. 

Menciptakan kisah-kisah ini tidak semudah yang kita bayangkan, sayang. Walau di kepala lahir ide-ide mantap, nyatanya masih ada elemen-elemen lain yang harus diperhatikan. Seperti yang sahabatku bilang tempo lalu.

"Ini kisah cinta yang eksperimental. Tapi percuma saja kisah ini mantap secara konsep dan alur kalau secara penggambaran latar kau masih lemah. Seperti yang sudah kukatakan padamu sebelum-sebelumnya, bahwa sungguh tokoh dalam sebuah novel (selanjurnya ditulis cerita) saling berinteraksi berdasarkan latar yang kau bangun. Keberadaan latar membuat tokoh pada ceritamu semakin hidup dan kaya, di mana tempat tinggal si tokoh misal, di mana tempat istirahat, atau tempat dia bermain. Maksudku, misalnya ketika kau sedang menceritakan satu tokoh, di mana si tokoh itu menghabiskan nyaris seluruh kegiatan pentingnya berdasarkan plot pada setiap ceritamu," jelas sahabatku, yang membuatku semakin bersemangat merombak tulisan-tulisanku hanya untukmu, sayang.

Perlu kau tahu, sayang, atau mungkin kau sudah mengetahuinya. Menururt W.H. Hudson melalui Waluyo dalam bukunya yang berjudul Pengkajian Sastra Rekaan (2002), latar (setting) adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Latar adalah tempat kejadian cerita yang dapat berkaitan dengan dimensi-dimensi seperti fisiologi, sosiologi, dan psikologi. Dia, Hudson, melalui Waluyo juga menambahkan bahwa selain itu, latar pada sebuah cerita juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Lebih lanjut dipaparkan, bahwa latar berkaitan dengan pengadeganan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadeganan di sini memiliki arti penyusunan adegan-adegan dalam cerita. Perlu kehati-hatian untuk menggambarakannya, sayang. Sebab kita dianjurkan agar tidak melukiskan semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh pada setiap adegannya.

Adegan-adegan yang kita pilih alangkah lebih baik hanyalah adegan yang mewakili cerita saja. Latar belakang (background) dalam menampilkan latar dapat berupa latar belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat menghidupkan cerita itu.

Latar

Dari sekian elemen-elemen latar dalam sebuah cerita, hal yang paling rumit menurutku adalah menggambarkan latar tempat atau lokasi. Kenapa? Sebab menururt Andri Wicaksono dalam bukunya Pengkajian Prosa Fiksi (Edisi Revisi) (2017), peranan setting itu bukan hanya pada batasan bagaimana kita menunjukan tempat kejadian dan waktu terjadinya, lebih dari itu.

Pada latar yang kita ingin bangun, menurutnya harus terselip suasana atau kondisi tertentu. Kondisi di mana itu semua akan membentuk keutuhan sebuah struktur cerita. Wicaksono, mengutip pendapat Sudjiman dalam buku Memahami Cerita Rekaan (1998) lebih lanjut menuliskan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita.

Maksudnya begini, bahwa dalam cerita fiksi, gambaran tokoh akan terlihat lebih nyata dan hidup bila didukung oleh gambaran berupa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana dalam karya tersebut.

Beberapa kritikus dan para pengajar sastra kerap menganggap latar cerita sebagai satu kesatuan yang hidup dalam masyarakat, termasuk kepercayaan dan kepribadian. Akan tetapi, menurut Wicaksono, dalam definisi latar yang sederhana dapat disebut dengan waktu dan tempat saja. Dia menambahkan, jika nantinya ada perluasan dan pendalaman, pembaca atau penganalisis karya selalu dapat mengembangkannya. Oh iya, selain waktu dan tempat, temperatur suhu atau cuaca mungkin dapat tercangkup, hanya saja jika dalam beberapa cerita ihwal itu penting.

Sayang, dalam beberapa cerita, pengarang akan tampak menarik dalam segi penyajian mereka pada deskripsi latar masing-masing, terutama dalam membangun suasana dalam cerita. Pembaca seolah dibawa pada dongeng mereka dan kerap juga merasakan suasana yang mereka bangun. Itulah keberhasilan penulis membangun latar, sebagai contoh  penulis Gol A Gong misal.

Bagaimana Gol A Gong Membangun Latar Lokasi dalam Ceritanya

Ketika aku remaja, penulis Gol A Gong merupakan salah satu penulis favoritku sebelum menyentuh karya-karya Pram, Seno, Agus Noor, Budi Darma, Yusi Alvianto Pareanom dan sebagainya. Penulis yang memiliki nama asli Heri Hendrayana Harris itu kerap membawaku merasakan berada di suasana novel yang dia tulis. Dan pada akhirnya aku menemukan rahasia dia menggambarkan latar di setiap karya-karya yang dia tulis. 

Gol A Gong adalah salah satu penulis produktif yang lahir di Purwakarta, Jawa Barat. Walau sejak usia 11 tahun dia harus kehilangan tangan kirinya lantaran ingin membuktikan nyalinya kepada teman-temannya, nasihat sang ayah untuk tidak terlena dengan cacat yang dia derita saat itu pada akhirnya selalu dia amini.

"Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang dan lupa bahwa diri kamu itu cacat," ucap sang ayah yang masih dia ingat.

Lantas, bagimana Gol A Gong dapat menggambarkan lokasi dan suasana di setiap karya-karyanya dengan apik? Jadi begini, sayang, Gol Agong, disadur dari buku Rahasia Penulis Hebat Membangun Setting Lokasi (2012) mengaku sendiri bahwa dia adalah salah satu dari sebagian penulis yang lemah dalam membangun latar lokasi yang murni khayalan di setiap karya-karyanya. Maka dari itu dia lebih memilih mencatut latar lokasi yang rill, artinya lokasi itu ada di dunia nyata dan pasti sudah banyak dipakai oleh penulis-penulis lain.

Gol A Gong, untuk membangun latar lokasi di setiap karya-karyanya, setiap dia berpergian, dia selalu merekam apa-apa yang dia lihat dan dengar. Dia mengaku bukan hanya memotret, akan tetapi dia juga menggali apa-apa saja yang bisa dia gali dari tempat tersebut. Cara berpikir jurnalistik yang selalu harus "menemukan" bukan "melihat" membuat Gol A Gong rajin sekali menyimpan apa yang dia lihat dan rasakan di sebuah buku harian. Jika Gol A Gong mendatangi sebuah kota, dia kerap berpikir bahwa tidak semua orang bisa mendatangi kota itu. Maka dari itu dia merasa memiliki kewajiban untuk melaporkannya kepada orang-orang melalui sebuah cerpen atau novel.

"Saya ingin berbagi kepada orang lain tentang apa yang saya lihat dan rasakan," tulis Gol A Gong.

Sebagai penulis fiksi, Gol A Gong berusaha menempatkan diri bukan sebagai pelapor semata. Dia juga ingin setiap kata yang dia rangkai menjadi kalimat yang menyihir pembacanya. Walau dia tidak tahu apakah usahanya itu berhasil atau tidak, hanya saja setiap respon pembacanya selalu membuktikan keberhasilan Gol A Gong tersebut. Misal pada novel serialnya Balada Si Roy, banyak orang yang merasa terbujuk ingin datang ke citraan lokasi yang Gol A Gong gambarkan.

Bagi Gol A Gong, menyuguhkan latar lokasi harus disesuaikan dengan tema cerita yang ingin kita tulis. Penulisan dengan cara penggambaran deskripsi alias statis selalu ia hindari. Baginya metode itu cukup akan membuat setiap pembacanya bosan. Dia bilang, untuk menghindari itu semua, cara yang menururtnya tepat adalah membunuh imajinasi pembaca, misalnya dengan tidak langsung menyebutkan di mana lokasi, melainkan menggambarkannya agar pembaca dapat membuka peta dan menemukannya sendiri.

Jadi, ketika dia ingin menggambarkan latar tempat yang sudah banyak dipakai oleh penulis lain, dia harus mencari cara lain untuk menghidangkannya, semua itu dilakukan setiap penulis agar tidak basi. Menurut Gol A Gong itulah tantangan kreativitas setiap penulis. Dan itu akan pula melahirkan karakter yang kuat dan mengakar di benak pembaca yang ingin dibidik.

Agar latar lokasi dan suasana yang ingin dia gambarkan semakin kuat, Gol A Gong, yang pernah juga menjadi seorang wartawan  selalu menjalankan prosedur jurnalistiknya ketika dia ingin menulis sebuah cerita. Misalnya melakukan riset lapangan dan bahkan melakukan 'wawancara' dengan orang-orang yang berada di lokasi yang ingin dia pakai untuk latar karya-karyanya.

Begitulah sayang, betapa rumit bukan menuliskan cerita yang bagus? Aku begini agar aku tidak terkesan hanya sekedar berak di depanmu saja. 

(penakota.id - fdm/glp)