HUMANIORA
03 May 2018 11:00
1149
Meneroka Metode Pendidikan Lewat Film Pilihan

Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? -W.S. Rendra (dalam “Sajak Seonggok Jagung”).

Penakota.id - Sir Pentoel, kemarin (1/5/18) telah bertemu dengan kami di salah satu kedai kopi di bilangan Jakarta. Saat pertemuan berlangsung, kami berbicara berbagai hal. Kebetulan poin yang paling menarik adalah terkait Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI). Sebuah perserikatan pelaku media dan industri kreatif yang giat menyuarakan masalah ketenagakerjaan. Ia mafhum betul bahwa manifesto “Kurangi jam kerja, perbanyak bercinta” dari SINDIKASI begitu relevan dengan realitas sekarang.

Dunia saat ini, diakui Sir Pentoel begitu sibuk. Informasi seperti air bah, penuh namun tak terarah. Kelonggaran waktu adalah barang mewah. Hingga rasanya siapa pun yang bermalas-malasan akan tergilas oleh sesuatu yang menyeramkan: atas nama peradaban.

Ia sejatinya paham bahwa makna ‘bercinta’ itu punya makna yang luas. Salah satunya mempunyai waktu untuk diri sendiri, keluarga dan teman. Saat kami kongko, banyak perbincangan yang terjadi. Utamanya adalah soal narasi pendidikan kiwari (kekinian).

Sambil sesekali menyesap kopi, Sir bercerita panjang soal masa sekolahnya dulu. Ia rasanya bersyukur berada dalam institusi keluarga yang membebaskannya menentukan pilihan studi. Seperti di kisah cerita di novel Klub Film karya David Gilmour. Saat masa sekolah, Sir begitu gandrung dan karib dengan seni dan budaya. Seringkali ia bermain teater lewat ekskul dan juga mengadakan diskusi film bersama teman-temannya.

Film-Pendidikan

Ia bercerita tentang film-film favoritnya. Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2018 kemarin, ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  (Kemendikbud) menggaungkan tema “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”. Sir Pentoel berbagi cerita lewat film-film favoritnya bertema pendidikan. Sebelumnya, ia juga tahu bahwa persoalan memilih film lebih baik diserahkan kepada seseorang yang memiliki pemahaman premis lewat media audio visual. Ia tidak ingin seperti kasus Kemendikbud yang sempat keliru memilih film untuk nonton bareng.

Perlu diketahui, padahal sebelumnya, dikatakan oleh Sir, Kepala Pusat Pengembangan Film Kemdikbud pernah mengatakan, film yang diputar oleh pihak mereka merupakan film yang memiliki nilai-nilai pendidikan karakter. Terdapat setidaknya lima nilai pendidikan karakter yang termuat dalam film tersebut yakni integritas, cinta tanah air, kemandirian, gotong royong, dan religius.

“Memang tidak semuanya secara gamblang memuat lima nilai tersebut, namun secara substansi, ideologi dan estetika pilihanku tidaklah buruk-buruk amat,” tegas Sir Pentoel.

Sedeng Sang

Maka, mulailah Sir memaparkan kelima film yang ia ingin bagikan kepada kami. Pertama adalah Sedeng Sang.  Film ini adalah Pemenang dari kategori film fiksi umum pada Festival Film Kawal Harta Negara 2017. Festival yang diadakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) untuk menyadarkan masyarakat soal kepedulian akan harta negara. Sedeng Sang arahan Reza Fahriansyah diproduksi oleh Bor(n)eo Films.

Film ini memotret dunia pendidikan lewat psikologi dan karakter tokoh. Berbicara pendidikan tentu bukan hanya bagi yang mampu saja. Semuanya berhak untuk menerima pendidikan yang layak.  Cerita film ini bertitimangsa pada Tokoh ayah dalam menghadapi dilema: menjual ladang untuk biaya pendidikan anaknya atau mempertahankan ladang tapi anaknya tak bisa sekolah.

Dari situ kita bisa memahami bahwa persoalan pendidikan bukan persoalan malpraktik guru atau murid dalam kegiatan belajar mengjar. Namun jauh dari itu ada persoalan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Bagaimana komersialisasi pendidikan kini mulai menjamur dengan berbagai dalih: tidak ada yang gratis di Indonesia, kencing pun kita perlu merogoh kocek barang seribu perak. Lihat perjuangannya di sini.

Cheng-Cheng Po

Kedua adalah Cheng-Cheng Po. Film ini adalah film pendek arahan B.W. Purba Negara. Seorang sutradara berbakat yang menggarap Ziarah lewat aksi Mbah Ponco Sutiyem yang begitu sentimental. Film ini juga diproduseri oleh Yosep Anggi Noen, sutradara Istirahatlah Kata-kata. Film yang menyabet Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2008 ini bercerita tentang kisah persahabatan sekelompok anak dari beragam latar belakang budaya. Han adalah orang Tionghoa di sekolahnya.

Di suatu waktu ia dipanggil oleh gurunya karena tidak bisa membayar SPP. Ketika Han tak bisa membayar SPP, Tohir, Markus, dan Tiara berusaha membantunya. Awalnya mereka meminta tolong pada orang tua mereka masing-masing, namun semuanya gagal karena alasan-alasan stereotip bernama SARA.

Mereka pun mencoba sebuah cara yang tidak biasa, yaitu dengan mencari dana lewat pentas Barongsai sederhana. Sebuah cara jenaka untuk memaknai Bhinneka Tunggal Ika.

Dari Cheng-Cheng Po kita bisa belajar bahwa tolong menolong itu sifatnya universal tanpa memandang suku, ras, dan agama apa pun. Dari kepolosan anak-anak kita belajar menghargai satu sama lain. Mengajarkan penuh cinta tanpa menebar kebencian. Simak aksi toleransi dan gotong royong mereka di sini.

Lembar Jawaban Kita

Ujian Nasional apa pun bentuknya memang menjadi momok bagi setiap pelajar. Dari mulai persoalan yang memprihatinkan soal bunuh diri, hingga komentar-komentar yang jenaka di akun Instagram Kemdikbud.

Dewan juri Festival Film Jawa Barat 2015 menetapkan film pendek berjudul Lembar Jawaban Kita sebagai film terbaik. Film ini mengisahkan tentang kecurangan ujian nasional yang terjadi di sebuah kelas sekolah dasar. Film garapan Traffic Light Picture dari Bandung itu disutradaarai oleh Sofyana Ali Bindiar.

Film tersebut menceritakan seorang anak bernama Ali. Saat mengikuti ujian nasional di tingkat sekolah dasar, ia harus melakoni tes mental yang mengukur kejujurannya. Selesai menjawab soal, ia mendapat sepotong kertas berisi kunci jawaban yang beredar dari meja ke meja. Kertas kunci jawaban itu sempat berhenti sejenak di mejanya. Ali menindihnya dengan lembar soal lalu keluar ruangan ketika kawan di belakangnya meminta potongan kertas lecek itu. Hal yang menarik adalah ketika Guru pengawas mendapati kertas sontekan di meja Ali.

Apa yang terjadi adalah sebuah fenomena pendidikan di negeri ini. Sebuah otokritik untuk lembaga pendidikan dan guru yang seharusnya mampu mendidik sesuai prinsip-prinsip kejujuran. Simak jawabannya di sini 

Harap Tenang Ada Ujian!

Menurut Sir, agaknya benar yang dikatakan Tan Malaka lewat Madilog: Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi. Kekuatan sebuah buku mampu menancapkan pemikiran yang konstruktif asal sesuai dengan temanya.

Film pendek Harap Tenang Ada Ujian adalah sebuah satir di dunia pendidikan, bahwa kebiasaan menghafal dalam setiap pelajaran terkadang malah hanya menjadikan pelajar sebagai mesin fotokopi. Film garapan Ifa Isfansyah ini menceritakan tentang peristiwa anak laki-laki memaknai sebuah teks dalam buku. Berawal dari seorang anak laki–laki yang sedang mempelajari buku mengenai sejarah bangsa Indonesia. Buku yang dibaca ini berisi sejarah bangsa Indonesia di zaman penjajahan Jepang. Bagaimana rakyat Indonesia dijajah, terjadi kerja rodi, korban berserakan dan lain sebagainya.

Isi buku tersebut ternyata telah terngiang-ngiang di pikiran anak tersebut. Hingga pada 27 Mei 2006  terjadilah gempa yang maha dahsyat di Yogyakarta. Termasuk pula merenggut nyawa dari ayahnya. Perlu diketahui juga, gempa ini terjadi tepat seminggu sebelum ujian akhir tingkat SD. Dalam keadaan yang semrawut karna masih seringnya terjadi gempa susulan, anak laki–laki itu hidup sendiri, terkatung- katung dan masih membawa buku sejarah Indonesia tersebut. Hingga bertemu pada akhir yang melegakan sekaligus menggelikan. Sebuah otokritik akan kesadaran pelajaran sejarah, juga kepolosan anak SD yang masih wajar. Simak aksinya di sini.

Titian Serambut Dibelah Tujuh

Terakhir adalah Titian Serambut Dibelah Tujuh. Film ini adalah film panjang yang skenarionya ditulis oleh Asrul Sani dan disutradarai oleh Chaerul Umam. Film ini merupakan remake dari film berjudul sama, karya Asrul Sani pada medio 1959. Versi yang baru ini disutradarai oleh Chaerul Umam. Film ini memenangkan penghargaan Piala Citra 1983 untuk Penulisan Skenario Terbaik.

Film yang telah direstotasi oleh Sinematek ini bercerita tentang seorang guru yang bercitacita melakukan perubahan di sebuah kampung namun harus berhadapan dengan ketidaksukaan penduduknya. Ia dituduh memerkosa seorang gadis. Kemunafikan warga akhirnya terbongkar oleh seorang ustad yang mengunjungi kampung tersebut.

Dari film ini kita bisa belajar tentang pentingnya tabayun atau verifikasi terhadap suatu persoalan. Maraknya persekusi yang terjadi belakangan ini sudah diramalkan Asrul Sani lewat tokoh Ibrahim. Seorang guru muda yang teguh, menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam kehidupan kampung yang akan dia tinggali. Telisik filmnya di sini.

Selebihnya masih banyak lagi film bertema pendidikan di negara tercinta ini. Dari mulai Laskar Pelangi yang didaktis dan sesak motivasi hingga sekolah alternatif seperti Sokola Rimba. Contoh lainnya ada Petualangan Sherina, Joshua Oh Joshua, Mengejar Matahari   Denias, Senandung di Atas Awan, Alangkah Lucunya Negeri Ini, Di Timur Matahari, Lima Elang, Tanah Surga..Katanya, Mimpi Ananda Raih Semesta, Aisyah: Biarkan Kami  Bersaudara,  Cahaya dari Timur, Jembatan Pensil dan Stip & Pensil. Atau pun dari yang populer macam 3 Idiots hingga yang satir kiwari seperti Bad Genius. Semua bisa dicari di mesin yang selalu bekerja selama 1440 menit atau 86.400 detik ini. Atau untuk film-film indie bisa dilihat di  ruas halaman Vidsee.

Setelah berkisah tentang film, Sir Pentoel kerap mengeluhkan masalah pendidikan di Indonesia yang terus berulang. Penindasan di dunia pendidikan sulit berakhir sebagaimana terlihat dengan munculnya berbagai problem pendidikan yang tidak terselesaikan. Kebijakan Ujian Nasional, komersialisasi pendidikan yang tersistematis, hingga masalah kekerasan dalam pendidikan.

“Jadi solusi menurutmu apa Sir?”

“Kita bisa menerapkan apa yang diterapkan oleh Paulo Freire di Brasil. Soal pendidikan pembebasan.”

“Maksudmu?

“Siswa bukan jadikan semacam botol kosong yang bisa dimasukkan apa saja. Bukan dengan ‘gaya bank’, bahwa siswa dicekokin saja tanpa tahu relevansinya dengan kehidupan di zaman sekarang.”

“Supaya siswa tidak pasif, ya?”

“Betul, dan mereka adalah subjek yang bebas. Mereka bisa membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri.”

“Tapi apakah di Indonesia itu bisa?”

“Selama sesuai dengan lima pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO: learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together dan learning how to learn maka tak ada yang mustahil.”

Sir Pentoel tersenyum, lalu ia izin ke belakang untuk buang air kecil. Kami menarik lengan gelas dan meminum kopi yang sejak tadi tak tersentuh.

(glp/fdm)

Pendidikan yang kontekstual adalah yang mampu melihat dan bertindak lewat realitas sekitar.