HUMANIORA
06 Jun 2018 11:00
529
Tirto Adhi Soerjo; Selayang Pandang Bingkai Sang Pemula

Penakota.id - Tulisan ringkas ini berusaha menyigi sepak terjang sosok yang tak asing bagi insan pers, pergerakan kemerdekaan dan literatur di Indonesia: Tirto Adhi Soerjo.

Seperti kita ketahui, selama periode 1900-1914 cita-cita rakyat Indonesia mulai bergerak ke arah emansipasi dan kemerdekaan. Hal tersebut tidak terlepas dengan adanya Politik Etis yang dilaksanakan di awal dekade pada abad ke- 20. Salah satu kebijakannya ialah pendidikan. Suatu kesempatan yang menghasilkan munculnya suatu kelas orang-orang didikan-Barat, berorientasi-kota, dan fasih berbicara.

Dari situ mulai muncul kelas-kelas terdidik yang merupakan suatu kemajuan bagi rakyat Indonesia. Dari pendidikan, lahirlah para pemikir sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia. Akibat semakin luasnya kesempatan untuk mendapat pendidikan di kota-kota; di mana terpusat pendidikan menengah dan pendidikan kejuruan, maka terbentuklah kelompok kecil Indonesia dengan narasi modern: barat. Mereka memiliki rasa solidaritas yang erat dan menamakan dirinya Kaoem Moeda.

Kaum terpelajar itu disebut juga priyayi baru. Mayoritas status mereka lebih rendah dari kaum elit gubernemen (pemerintahan Belanda). Mereka menekankan perlunya kemajuan dan modernisaasi tanpa mengingkari latar belakang keindonesiaan. Di dalam kelompok ini, di mana terdapat banyak wartawan dan guru, gagasan-gagasan tentang kesadaran “nasional” memperoleh tempat pesemaiannya. Dengan adanya kelas-kelas terpelajar, sekali pun jumlahnya tidak banyak.

Data jumlah kelas terpelajar pada 1900 mengalami perbedaan yang signifikan. Mirjam Maters, dalam bukunya Dari Perintah Halus Ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial dan Pemberangusan 1906-1942 menyebutkan, pada 1900 jumlah murid Indonesia yang mengikuti pendidikan ELS adalah 1.615 orang. Sedangkan M.C. Ricklefs, di karyanya yang berjudul “Sejarah Indonesia Modern” menyebutkan murid yang berasal dari bangsa Indonesia pada 1900 berjumlah 265.940 orang.

Perbedaan mencolok ini dimungkinkan karena data yang digunakan oleh Mirjam Maters adalah data murid yang mengikuti pendidikan ELS dan M.C. Ricklefs menggunakan data keseluruhan bangsa Indonesia yang sekolah pada tahun 1900.

 Hal ini yang kemudian hari mendorong lahirnya kesadaran nasional untuk meraih kemerdekaan. Usaha-usaha yang kemudian dilakukan dalam upaya membentuk kesadaran nasional dan pentingnya kemerdekaan adalah melalui media literasi, lebih mengkerucut melalui surat kabar. Hal tersebut didukung dengan pernyataan E.F.E Douwes Dekker dalam uraian pers Indonesia pada tahun 1909, yang menilai kedudukan pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda, karena pers itu langsung dapat menarik pembaca-pembaca pribumi.

Berkenaan dengan surat kabar sudah barang tentu tidak bisa dilepaskan dari sosok R. M. Tirto Adhi Soerjo. Seperti yang pernah disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer, Tirto Adhi Soerjo adalah Bapak Pers Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Tirto Adhi Soerjo orang Indonesia pertama yang memiliki surat kabar sendiri. Bukan sembarangan surat kabar, melainkan surat kabar yang dimodali dan diisi oleh tenaga-tenaga Bumiputera.

Surat kabar yang dimaksud adalah Soenda Berita yang diterbitkan Tirto Adhi Soerjo pada 1903. Sekali pun Tirto Adhi Soerjo bukanlah orang Belanda atau mestizo, berdirinya surat kabar Soenda Berita tidak terlepas dari kebebasan pers yang sempat berlaku saat itu. Secara umum, pers berarti kebebasan setiap individu untuk mengungkapkan pikiran dalam surat kabar dan majalah, dan kebebasan untuk mencetak dan menerbitkan berkala-berkala tersebut. Itulah yang dinamakan hak asasi kebebasan pers. Sebagai pelopor, Tirto Adhi Soerjo adalah bangsawan Jawa pertama yang dengan sadar memasuki dunia perniagaan dengan jurnalistik sebagai sarana.

Potret-Tirto

Fokus Tirto Adhi Soerjo dalam jurnalistik terjadi selepas dikeluarkan dari STOVIA. Karir jurnalistik Tirto Adhi Soerjo dimulai dengan menjadi penulis lepas surat kabar Chabar Hindia Olanda, koran terbitan Batavia dalam kurun waktu 1888-1897. Semenjak menjadi penulis lepas karir jurnalistik Tirto Adhi Soerjo semakin membaik. Sejak 1 April 1902, Tirto Adhi Soerjo dipercaya memegang kendali Pembrita Betawi sebagai pemimpin redaksi menggantikan F. Wiggers.

Di masa-masa inilah Tirto Adhi Soerjo berhubungan erat dengan Karel Wijbrands. Tirto Adhi Soerjo sangat menghormati Karel Wijbrands selayaknya seorang guru. Masih di 1902, Tirto Adhi Soerjo juga membantu penerbitan surat kabar Warna Sari sebagai asisten editor. Setelah sebelumnya mengundurkan diri dari Pembrita Betawi di awal tahun 1903, pada 7 Februari 1903, setelah menindaklanjuti usulan Karel Wijbrands, meluncurlah surat kabar yang menjadi tonggak sejarah pers nasional: Soenda Berita.

Pada 1904, Tirto Adhi Soerjo merangkap memegang redaksi berkala mingguan 16 halaman Staatblad Melajoe dan di tahun yang sama terbit Oranje Nassau. Tirto Adhi Soerjo ikut andil dengan menjadi redaktur pendamping. Setelah Soenda Berita mengalami kemunduruan karena krisis finansial, sepulang dari perjalanan yang dilakukan pada 1905-1906, Tirto Adhi Soerjo dengan bantuaan dana dari Sultan Bacan, 1 Januari 1907 meluncurkan penerbitan koran kedua: Medan Prijaji. Tidak lama berselang, Tirto Adhi Soerjo juga menerbitkan koran Soeloeh Keadilan dan Poetri Hindia.

Progresifnya langkah-langkah yang dilakukan oleh Tirto Adhi Soerjo dalam surat kabar pada gilirannya membuat Pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Pasalnya, tajamnya pers sebagai alat perjuangan sungguh-sungguh disadari, maka tidaklah mengherankan jika di masa penjajahan Belanda, kaum pergerakan senantiasa berikhtiar menerbitkan suatu surat kabar atau mempengaruhi sesuatu surat kabar.

Perkembangan dalam surat kabar yang digunakan Bumiputera sebagai media untuk mengkampayekan pentingnya kesadaran nasional dan kemerdekaaan adalah malapetaka bagi Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda yang melihat, bahwa pers Indonesia adalah alat yang ampuh di tangan kaum pergerakan, tidak henti-hentinya menimbulkan rintangan-rintangan dalam usaha pers kita, tidak saja dengan mengancam akan menggunakan undang-undang yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda, tetapi ditambah pula dengan beberapa fasal yang sangat terkenal di masa itu, yaitu fasal-fasal tambahan seperti fasal 153 bis dan ter, fasal 161 bis dan ter dan fasal 154 KUHP.

Tetapi fasal-fasal ini pun belum dirasakan cukup, sehingga diadakanlah pula suatu Persbreidel-ordonantie, yang memberi hak kepada pemerintah untuk memberangus surat-surat kabar penerbitan-penerbitan Indonesia pada umumnya, apabila dipandang berbahaya bagi kedudukan pemerintah kolonial.

Hal demikian dilakukan mengingat pers dan barang cetak adalah merupakan sarana yang ampuh untuk melancarkan penghinaan, kecaman dan sebagai alat penghasut agar orang melakukan kejahatan atau pemberontakan terhadap Pemerintah dan Negara.

Kisah Tirto Adhi Soerjo, pada gilirannya menginspirasi Pramoedya Ananta Toer dalam melakukan proses kreatifnya. Selain Sang Pemula yang memang sebagai buku biografi Tirto Adhi Soerjo, Pramoedya Ananta Toer juga menjadikan sosok Tirto Adhi Soerjo sebagai tokoh utamanya dalam roman Tetralogi Pulau Buru, kita mengenalnya sebagai Minke.

Belakangan ini, nama Pramoedya Ananta Toer dan Tirto Adhi Soerjo bagai dwitunggal. Pemberitaan tentang keduanya membumi (lagi) semenjak Bumi Manusia secara resmi diangkat menjadi film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Pada dasarnya pro dan kontra dalam keputusan diangkatnya Bumi Manusia menjadi film adalah hal yang biasa, termasuk penolakan Iqbaal Ramadhan yang berperan sebagai Minke sampai-sampai dibuatkan petisi. Namun demikian, saya merasa dibuatnya petisi tersebut berlebihan.

Jikalau saya boleh berpendapat, saya ingin menyampaikan bahwasanya lebih elok tidak berasumsi tentang suatu objek yang mana objek tersebut masih belum kita lihat. Kondisi seperti ini pun akhirnya menguji kita apakah kita bisa “Adil Sejak dalam Pikiran” ataukah kita hanya menjadikan “Adil Sejak dalam Pikiran” sebagai kata-kata bijak yang kemudian sering dipublikasikan di dunia maya agar terlihat keren, terlihat intelek, terlihat snob. Semoga tidak.

Tirto Adhi Soerjo merupakan bapak pers Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Tirto merupakan sosok Bumiputera pertama yang memiliki media di masa itu.

 

Referensi:

Cardwell, Malcolm dan Ernst Utrecth, 2011, Sejarah Alternatif Indonesia, terjemahan Saut Pasaribu, Yogyakarta: Djaman Baroe bekerja sama dengan Sayogyo Institute.

Hamzah, A. dkk, 1987, Delik-Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Media Sarana Press.

Maters, Mirjam, 2003, Dari Perintah Halus Ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial dan Pemberangusan 1906-1942, Jakarta: Hasta Mitra.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2009, Sejarah Nasional Indonesia V Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik Indonesia (+ 1900 – 1942) edisi pemutakhiran cetakan ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Raditya, Iswara N dan Muhidin M Dahlan, 2008, Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo Pers Pergerakan dan Kebangsaan, Yogyakarta: i:boekoe.

Ricklefs, M. C, 1994, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan Dharmono Hardjowidjono cetakan keempat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Taufik, I., 1977, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia,  Jakarta: PT. Triyinco.

Toer, Pramoedya Ananta, 1985, Sang Pemula, Jakarta: Hasta  Mitra