HUMANIORA
30 Sep 2018 11:00
1121
Berburu Ruang Digital bagi Sastra Daerah

Penakota.id - Baru beberapa waktu yang lalu saya minggat dari kepadatan ibu kota dan bervakansi serta pulang ke daerah. Menemukan destinasi yang identik dengan puja-puja atas dasar keindahan dan preferensi. Hal itu sepertinya sulit untuk terjadi di kota metropolitan.

Saya tidak hendak mengatakan ibu kota negara ini membosankan, tetapi saya sebagai seorang yang hidup di ibu kota merasa masa itu menjadi masa yang monoton bagi saya. Oleh sebab itu, lahir sebuah asa untuk mencari relief yang berbeda atau sesuatu yang lebih dinamis.

Tidak seperti biasa, saat itu saya tidak membawa buku bacaan seperti novel, puisi, maupun cerpen. Sembari mencari bahan tulisan dengan suasana yang berbeda, entah mengapa saya penasaran dan memiliki keinginan untuk mencari karya sastra daerah di daerah yang saya kunjungi saat itu.

Memang berbeda rasanya kalau harus memahami bahasa orang lain, tidak hanya urusan membaca tetapi juga budaya dalam karya. Saya mencoba bertanya dengan orang setempat apa yang ingin disampaikan dalam karya sastra itu.

Wajar saja, siapa yang akan membaca bahasa-bahasa yang tidak dimengerti kecuali penuturnya sendiri dan hanya bagi mereka yang memiliki keinginan khusus untuk mempelajarinya. Lebih daripada itu, bagi saya semuanya hanyalah preferensi dan kepentingan.

Memang, nyatanya sastra daerah masih menjadi daya tarik sebagian masyarakat atas nama kearifan lokal. Akan tetapi, dalam karya sastra, berbahasa daerah tentu tidak hanya tinggal baca dan memahaminya, tetapi juga mengartikulasikan ke bahasa yang lebih dipahami secara luas, katakan saja bahasa Indonesia.

Berbeda dengan karya satra yang dituliskan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, hal tersebut tentunya lebih mudah diterima dan dipahami oleh pembaca, baik penutur maupun bukan penutur. Saya sempat menyusuri beberapa komunitas yang menyimpan dan melestarikan karya-karya sastra dalam bahasa daerah. Di sana terdapat perpustakaan yang tidak begitu terurus dan mereka berbincang-bincang dengan “bahasa ibu” mereka sendiri. Ada benturan yang terjadi antara ideologi dan era dalam menghadapi karya sastra kedaerahan.

Sayangnya, buku-buku di sana tidak bisa dijadikan cendera mata kepada saya. Karena tentu sayang seribu sayang tidak ada yang bisa saya jadikan bukti fisik selain dokumentasi. Sedangkan, di Jakarta sendiri sangat sulit menemukan distribusi buku-buku sastra daerah. Untuk bahan diskusi maupun jual-beli, lalu menyimpannya dalam rak buku.

Berdasarkan hasil vakansi saya, pada akhirnya timbul pertanyaan dalam benak. Bagaimana sebetulnya posisi sastra daerah di era serba canggih seperti sekarang. Oleh sebab itu, timbul tebersit keinginan saya untuk bertanya kepada tokoh-tokoh yang ada dalam kepala. Tokoh-tokoh yang menginspirasi di bidang literasi nasional maupun daerah yang saya kagumi.

Yusi Avianto Pareanom. Ia merupakan salah satu novelis canggih yang saya kenal dan beberapa kali saya temui pemikiran-pemikirannya di media sosial. Karyanya yang paling mutakhir ialah Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi (2016). Saya sempat melemparkan beberapa pertanyaan kepadanya dan ia menyambut.

Terkait sastra daerah ini, sastrawan sekaligus Ketua komite sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu mengatakan bahwa posisi sastra daerah sekarang masih dalam posisi membaur dengan budaya modern. Sepengamatan Yusi, walau modernitas semakin menggurita, masih ada orang yang peduli dengan sastra daerah. Mereka menggunakan media sosial (salah satu elemen modernitas) sebagai intrumen agar sastra daerah tidak tergerus dan mati.

“Hal yang kutahu masih cukup banyak yang menulis dalam bahasa lokal di media sosial,” papar Yusi kepada Penakota, Minggu (30/9).

Bagi Yusi, eksistensi sastra daerah sejatinya perlu diinventariasikan. Perlu ada lembaga atau sebuah yayasan khusus untuk itu. Ia memberikan contoh aktivitas yang telah dilakukan Yayasan Kebudayaan Rancage.

Yayasan kebudayaan ini merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah Indonesia. Yayasan ini didirikan oleh budayawan Ajip Rosidi, Erry Riyana Hardjapamekas, Edi Suhardi Ekadjati, dan beberapa tokoh lainnya pada tanggal 23 Maret 1993.

Sastra derah jelas kekayaan budaya nasional. Dan ada orang-orang luar biasa yang masih mencintai dan menekuninya. Yang perlu diperhatikan adalah daya tembusnya ke generasi yang lebih muda. Milenial harus digandeng,” ucapnya melanjutkan.

Diakui Yusi, memang posisi sastra daerah sangat sulit menembus generasi milenial. Apalagi, jika itu hanya berkutat pada penulis dan penuturnya. Oleh sebab itu diperlukan penyajian khusus agar milenial dapat dengan mudah menangkap dan tertarik. “Perlu ada inovasi, bukan dalam konteks karyanya, namun bagaimana cara penyajiannya,” tegasnya.

Sulit Bersaing

Selain Yusi, satu lagi sastrawan yang saya repotkan dengan pertanyaan macam ini ialah Zen Hae. Walau kami belum saling kenal secara pribadi, namun saya dapat mengatakan bahwa saya sudah dekat dengannya karena bukunya, Rumah Kawin (2004)

Berdasarkan modal pengetahuan saya atas Rumah Kawin, dengan senang hati Zen menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya terkait posisi sastra daerah ini. Kemunculan pertanyaan ini dilatarbelakangi dengan keterangan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Prof. Dadang Sunendar, pada “Gelar Wicara dan Festival Tunas Bahasa Ibu” yang menyambut gaung Festival Bahasa Ibu Internasional (21/02/18) lalu.

Saat itu Dadang menerangkan ada 11 bahasa daerah di beberapa wilayah berdasarkan klasifikasinya telah dinyatakan punah dan tidak lagi ditemukan penuturnya. Sebanyak 19 bahasa masuk kategori aman, 16 bahasa daerah stabil, 2 bahasa mengalami kemunduran, 17 bahasa terancam punah, dan 4 bahasa kritis. Bahasa yang sudah punah ditemukan banyak dari wilayah timur Indonesia, yakni Maluku dan Papua.

Eksistensi sastra daerah diakui Zen sangat berkelindan erat dengan banyak jumlah penutur bahasanya. Oleh karena itu, jika situasinya seperti ini, dapat dikatakan eksistensi sastra daerah juga mengikuti.

Zen pun mengamini posisi sastra daerah yang semakin tergusur dengan budaya modern dan digital. Baginya, keberadaan sastra daerah sulit untuk bersaing dengan perkembangan zaman.

“Sulit. Sekarang penggemarnya terbatas. Tetap lebih berpeluang sastra dalam bahasa nasional (Indonesia),” jelas Zen, saat dihubungi Penakota (30/9).

Jika ingin menangkal hal ini, dikatakannya perlu manuver lebih, misalnya dengan membina komunitas pembaca sastra daerah. Sejauh ada yang menekuni dan membacanya, lanjutnya, karya sastra apa pun bisa tertolong dari kematian.

“Saya kira begitu. Orang yang tidak bisa bahasa batak misalnya, mereka tidak mungkin bisa menikmati sastra berbahasa batak atau sastra daerah lainnya, kecuali diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jika kita sepakat sastra daerah adalah sastra yang ditulis dalam bahasa daerah, bukan bahasa nasional, peran penutur begitu penting,” lanjut Zen.

Bagi kita yang bukan penutur, untuk mengapresiasi sastra daerah, dikatakan Zen dapat dimulai dengan membca karya sastra daerah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

“Kalau saya membaca sastra berbahasa Gorontalo yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, misalnya, saya tertarik mencari bentuk-bentuk sastra yang ada. Konten tentu saja menarik dan bisa memperkaya khazanah sastra yang saya kerjakan,” ujar Zen.

Dalam era digital mestinya sastra daerah dapat menjangkau pembaca lebih luas, karena akses internet yang tak terbatas. Peminat sastra Sunda di Belanda, misalnya, bisa langsung membaca tanpa harus ke Bandung.

Lembaga Kebudayaan Independen

Secara fungsi, sastra daerah merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang mengandung nilai penting. Melalui sastra daerah, beberapa masyarakat menganggap jenis sastra ini dapat melestarikan beraneka ragam budaya daerah yang ada.

Keberadaan kebudayaan nasional di Indonesia ini bahkan mustahil dapat terwujud tanpa landasan aneka bahasa dan sastra daerah sebagai wahana penyanggah kebudayaan nasional.

Mesk begitu, dewasa ini elemen tersebut dinilai mulai terbentur dengan kebudayaan modern. Imbas daripada itu, pada akhirnya elemen ini tak sampai kepada generasi milenial sebagai populasi mayoritas di era ini. Hal ini ini pun menjadi perhatian sastrawan asal Riau, Rida K. Liamsi.

Melalui percakapan saya dengan Rida, dapat disimpulkan bahwa sastra yang berunsurkan daerah sulit menarik generasi muda untuk membacanya, kecuali mereka mempunyai minat khusus atau sedang mendapat tugas sekilas.

“Sebab sastra derah tidak diajarkan di sekolah-sekolah kecuali ada beberapa daerah saja seperti Jawa Barat (Jabar) karena bahasa daerah dijadikan muatan lokal. Di Riau hal itu baru dimulai. Jadi generasi muda ini, merupakan generasi yang menguasi bahasa nasional sebagai sumber bacaan utama mereka,” ungkap Rida kepada Penakota (1/10/18).

Unsur lokal termasuk bahasa, tradisi, dan alam serta kehidupan tradisional yang dihadirkan latar sebuah karya literasi lebih kepada bagian dari kreatifitas para sastrawan untuk mendapatkan cara pengucapan atau kepengrajinan yang berbeda dan memecah kebuntuan karya konvensional. Karya sastra terutama sastra serius selalu tidak menarik bagi generasi muda yang lebih metropolis.

Untuk itu, bagi Rida perlu adanya optimalisasi Undang-Undang (UU) pemberdayaan kebudayaan yang harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, menurutnya semua Pemerintah Daerah (Pemda), seyogyanya memilki dinas kebudayaan yang berdiri sendiri.

“Suatu hari kelak harus ada departemen kebudayaan dengan menteri kebudayaan. Artinya pemerintah harus ikut campur dan punya komitmen untuk membangun kebijakan literasi di Indonesia yang terarah dan strategis,” papar Rida.

Saat ini, lanjutnya, gerakan literasi nasional yang digaungkan pemerintah masih dilakukan sporadis dan tidak strategis. Perlu gerakan konsisten atau terus menerus yang dilakukan baik dari pemerintah maupun level akar rumput.

Jika kebijakan membangkikan sastra daerah melalui pendidikan katakanlah ada muatan lokal sastra daerah yang mewajibkan siswa mempelajarinya, bisa saja kelak sastra daerah berkembang. Jawa Barat adalah contoh yang selama ini sukses,” tegasnya.

Untuk daerahnya sendiri, Riau, Rida mengaku saat ini  baru membuat peraturan daerah (Perda). Peraturan itu nantinya setiap materi muatan lokal di sekolah akan mempelajari bahasa melayu dan huruf bahasa melayu. “Belum sampai ke karya sastra lokal, atau ada penghargaan seperti di Jabar yang diberikan Ajip Rosidi,” tutupnya.

(Penakota.id - din/glp)

Sastra daerah jelas kekayaan budaya nasional. Ada orang-orang luar biasa yang masih mencintai dan menekuninya. Yang perlu diperhatikan adalah daya tembusnya ke generasi yang lebih muda.