HUMANIORA
16 Nov 2018 12:00
1916
Selintas Fiksi Ilmiah Indonesia dan Percakapan dengan Triskaidekaman

Penakota.id - Belakangan ini fiksi ilmiah sedang menjamur di berbagai industri kreatif Indonesia. Pertama, bisa kita lihat dari dunia audio visual. Ada film Tengkorak yang mempertanyakan nalar dan kepercayaan, lalu yang akan tayang mendatang: Foxtrot Six dan Gundala Putra Petir lewat serangkaian adegan aksi. Kedua, fiksi ilmiah ternyata juga dapat dijadikan acuan untuk pidato. Mungkin hal-hal yang berbau spekulatif itu memang menyenangkan. Ketiga, bagaimana fiksi ilmiah dalam konteks prosa di Indonesia? 

Di Indonesia, prosa-prosa fiksi ilmiah sebenarnya bisa dikatakan tidak terlalu banyak dan juga tidak sedikit. Sedang-sedang saja. Sir Pentoel, rekan kami telah berselancar di rimba maya soal buku-buku fiksi ilmiah yang ia temui. Ia pun mengangguk mafhum bahwa pencariannya tidak bisa memuaskan banyak pihak. Pasti ada karya yang luput. Ia pun jalan terus dan memberikan selintas pandang soal novel-novel fiksi ilmiah di Indonesia.

Djokolelono penulis seri Penjelajah Antariksa (Bencana di Planet Poa, Sekoci Penyelamat, Kunin Bergolak), Jatuh ke Matahari dan Bintang Hitam menulis fiksi ilmiah sejak akhir tahun 1970-an, namun bila menilik ke zaman kiwari, regenerasinya bisa dibilang gagal berkembang.
 
Di awal milenium kita mengenal Eliza V. Handayani lewat Area X: Hymne Angkasa Raya. Bahkan tokoh kawakan sastra dan akademisi seperti Budi Darma dan Melani Budianta memuji karya tersebut. Jarang ada penulis Indonesia yang menulis dengan jernih lewat persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Hal yang semakin menarik ialah novel tersebut ditulis Eliza ketika ia berada di masa sekolah menengah. 

Kemudian kita mengenal serial Supernova (2011-2016) karya Dewi Lestari (Dee) yang menawakan perspektif humaniora bersanding dengan eksakta dan spiritualitas. Banyak puji dan kritik yang hinggap soal posisi dan genre novel tersebut. Dee pun tak terlalu pusing soal itu. Ia secara terang-terangan tidak mau larut dan terjebak dalam pengategorian genre.

Para penulis fiksi ilmiah dengan temuan dan pengaruhnya, kerap menginspirasi dunia lewat inovasi teknologi dan pembacaan akan kemungkingan di masa depan. Mary Shelley menciptakan monster untuk mengetahui asas penciptaan dan arti kehidupan. Jules Verne melakukan perjalanan-perjalanan yang fantastis. Lewat kapal selam, pesawat terbang, gedung bertingkat hingga pendaratan manusia di bulan. H.G. Wells menemukan mesin waktu untuk berkelana di berbagai spektrum dan mendapat ancaman dari planet lain selain Bumi. Di Indonesia, penemuan-penemuan yang sudah ada tersebut dikembangkan lewat konteks sosio-politik serta menawarkan daya ucap yang khas.

Ada novel yang berkisah soal kemungkinan penggunaan cip untuk menumbangkan sebuah rezim Novel ini bercerita tentang dunia masa depan di abad 22, tepatnya di tahun 2122. Ketika itu, seluruh negara di dunia bergabung dalam satu federasi pemerintahan global yang disebut NSJ (Nation's Society for Justice). Novel itu adalah Mumi Legenda (NSJ 2122) dan The Independent (NSJ 2122) (2004) karya Efi F. Arifin. Selanjutnya ada Lanang karya Yonathan Rahardjo (2006) yang memenangkan penghargaan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006. Premisnya bersoal tentang virus dan rekayasa genetika. Novel yang sarat dengan istilah biologi.  

Setelah di ranah biologi, ada juga yang dominan di ranah percintaan. Quantum Leap (2008) karya Bimo dan Gerry Nimpuno. Premisnya: percintaan antara seorang arkeolog dengan alien. Kemudian ada teenlit Cinta Andromeda karya Tria Barmawi (2007) percintaan antara manusia dengan robot. Setelah itu ada Chimera (2008) karya Donny Anggoro yang berbicara soal Indonesia di tahun 2020 beserta konspirasiya

Selanjutnya, di masa yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan sekarang, ada novel-novel dari Moka Media: Spora oleh Ahmad Alkadri (2014), Gerbang Trinil oleh Riawani Elyta (2014) dan Alpha karya Nathalia Theodora (2015). Ada juga karya-karya dari penulis muda yang mengolah bentuk dan isi lewat gagasan sains dan distopia seperti Anomali Hati dan Cerita Bumi Tahun 2683 (Mojok, 2018). Selebihnya mungkin kalian ingin menambahkan di kolom komentar atau malah membuat tulisan baru di sini?

Fiksi-Ilmiah

Pepatah mengatakan, kegiatan menulis itu sebenarnya dapat menghemat tenaga. Utamanya untuk hal-hal yang berat seperti mengingat yang lampau dan luput. Sementara buku adalah jendela dunia. Selain sebagai jendela, ia juga seperti mesin waktu yang bisa membuka jendela masa depan. Sir Pentoel dari Penakota.id berkesempatan untuk bercakap-cakap kepada Henny Triskaidekaman, seorang penulis yang karya-karyanya identik dengan perspektif ilmiah dan eksakta.

 

        WAWANCARA DENGAN TRISKAIDEKAMAN


Mari kita mulai dengan Buku Panduan Matematika Terapan (BPMT). Dari mana datangnya ide novel tersebut? bisa diceritakan proses kreatifnya hingga diikutsertakan di Unnes International Novel Writing Contest 2017?

BPMT mulai kukerjakan di Maret 2017. Kebetulan di saat itu aku baru bergabung dengan komunitas Monday Flashfiction dan aku cukup sering ikut prompt dengan tema dan pembatasan-pembatasan tertentu di sana. Pada saat Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengumumkan ada lomba penulisan novel, aku baru punya 1-2 flashfiction tentang filsafat-matematika. Aku sempat ragu mau ikut, karena ada syarat bahwa novel yang dikirimkan harus memuat nilai solidaritas kemanusiaan. Padahal sebelumnya aku tidak pernah menulis cerita yang berkaitan dengan nilai kemanusiaan. Jadi, bermodal kenekatan dan keinginan coba-coba, aku mengarahkan potongan-potongan flashfiction tadi dalam susunan tertentu yang ada cerita besarnya; dan jadilah BPMT itu.

Kalau ditanya “kenapa matematika”, aku malah bingung menjawabnya. Yang pasti, aku sudah sering bermain di forum sains-matematika Brilliant sejak tahun 2015 (padahal saat itu aku belum menulis fiksi), aku senang membuat hitung-hitungan prediksi klasemen Formula 1, dan aku senang mengulik artikel tentang matematika kalau sedang iseng.

 

Sebelum menulis fiksi, kamu dikenal sebagai penulis ilmiah dan medis. Dimulai sejak kapan kamu menulis fiksi dan apa pemicunya?

Menulis fiksinya sejak 2016. Kalau menulis ilmiah sejak 2007.  Dulu aku berkeinginan jadi penulis nonfiksi, yang punya buku cetak di bidang nonfiksi juga. Namun di tahun 2014-15, beberapa teman mengatakan bahwa buku nonfiksi cuma diminati orang tua dan bos-bos, sehingga pangsanya tidak bakal bagus. Mereka menyarankan agar aku mencoba fiksi saja. Aku baru mulai melakukan apa yang mereka bilang di awal sampai pertengahan 2016, ketika platform menulis Storial sedang baru-barunya.


Menurut kamu apakah latar belakang seorang penulis dapat membantu riset dengan akurat? Bisa diceritakan pengalamanmu di dunia medis dan relevansinya dengan karya-karyamu?

Menurutku latar belakang penulis menentukan dua hal: jenis bidang primer yang dikuasainya dan cara berpikirnya. Tetapi karena cara berpikir bisa dilatih lewat kelas-kelas tertentu (termasuk kelasnya Mbak Ayu Utami), bisa dibilang bahwa latar belakang penulis menentukan bidang primer yang dikuasainya. Pengetahuan tentang bidang primer ini memudahkan penulis untuk mengambil jalan pintas dalam riset. Artinya, karena dia sudah tahu beberapa hal maka riset menjadi lebih mudah dan ringan dilakukan. Tingkat akurasi juga lebih tinggi karena pengetahuan tersebut membantu penulis untuk menghindari kesalahan-kesalahan mendasar. Coba bandingkan kalau penulis harus riset bidang yang tidak sesuai dengan latar belakangnya. Memang bisa; tetapi usaha, tekad, dan kebutuhan pengecekan kembali yang diperlukan jelas lebih banyak.


Apakah kamu memiliki kebiasaan-kebiasaan atau semacam ritual sebelum menulis? 

Tidak ada ritual khusus, sih. Biasanya hanya memasang daftar lagu di Spotify. 


Waktu menulis, kamu memikirkan tentang pembaca enggak?

Tidak. Aku pernah mencoba memikirkan pembaca ketika membuat kerangka, dan hasilnya adalah aku tidak jadi mengeksekusi cerita tersebut karena aku kehilangan gairah di tengah jalan. Setelah itu, kupikir sebaiknya aku hanya menggunakan standar diri sendiri: jika aku menyukai cerita tersebut, proses menulisnya bakal lancar dan cerita itu bisa selesai. Buatku itu yang terpenting.


Menurut kamu apakah ada formula khusus untuk menciptakan dunia fiksi ilmiah sehingga pembaca dengan ‘mudah’ masuk ke dalam dunia tersebut?

Memasukkan beberapa unsur yang sifatnya berkenaan dengan kehidupan sehari-hari di masa sekarang. Bisa jadi salah satu komponen worldbuilding atau konfliknya.


M.V. Wresti Budiaju A.P pernah melakukan penelitian berjudul Kajian Perkembangan Fiksi Ilmiah Anak dan Remaja Karya Pengarang Indonesia 1968–1991. Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa fiksi ilmiah yang muncul pertama kali di Indonesia adalah karya Djokolelono dengan judul Jatuh ke Matahari (1976). Apa kamu mengikuti karya-karya fiksi ilmiah di Indonesia? 

Tidak, malah. Terkait fiksi ilmiah, aku justru lebih mengandalkan buku nonfiksi (termasuk buku sains populer dan ensiklopedia) dan berita-berita sebagai referensi.
 

Bagaimana tanggapan kamu tentang perkembangan fiksi ilmiah tanah air yang tidak terlalu ramai diperbincangkan?

Begitu mendengar frasa “fiksi ilmiah”, pembaca mungkin akan terfokus pada kata ilmiah, dan asosiasinya dengan “menjelimet”, “banyak berpikir”, dan “menguras otak.” Sementara secara umum pembaca masih lebih memilih bacaan yang “mudah”, alias tidak harus memeras otak. Dari urusan kesan pertama itu saja, fiksi ilmiah sudah “kalah”. Masalahnya di situ.
 

Sampai sekarang, ada beberapa pembaca yang menganggap Supernova karya Dewi Lestari itu bukanlah fiksi ilmiah dan hanya tempelan belaka. Apakah kamu sependapat dengan itu?

Pengategorian buku jadi genre ini memang akan selalu jadi masalah. Menurutku, tema besar serial Supernova adalah pencarian jati diri. Mungkin toko buku kesulitan mengklasifikasikan buku fiksi yang isinya pencarian jati diri ke dalam genre yang sudah lazim dikenal. Berhubung tujuan besar berupa pencarian jati diri ini sempat dikaitkan dengan fisika kuantum di buku pertama, jadilah toko buku semacam terarahkan untuk mengategorikan Supernova sebagai fiksi ilmiah. Ini mengakibatkan buku kedua hingga keenam “dijejalkan” juga ke genre fiksi ilmiah, padahal muatan fiksi ilmiah di setiap buku Supernova tidak sama.


Mochtar Lubis pernah melakukan pidato kebudayaan tentang sifat-sifat orang Indonesia, salah satunya percaya pada takhayul. Apakah hal tersebut mempengaruhi karya-karya fiksi ilmiah yang sepi peminat? 

Menurutku sih tidak. Justru dengan percaya takhayul, seharusnya ruang untuk berspekulasi tentang apa saja yang akan bisa ilmu lakukan terhadap kehidupan kita menjadi terbuka.


Apakah kamu percaya ada buku-buku yang memang harus dibaca sebelum manusia punah? Jika iya, buku fiksi dan nonfiksi apa yang menurutmu harus dibaca?

Nonfiksi saja: The Grand Design (Stephen Hawking & Leonard Mlodinow), 50 Ways The World Could End (Alok Jha), dan Sapiens (Yuval Noah Harari).


Banyak orang mengatakan sebuah buku dapat mengubah dunia, apa kamu sependapat dengan itu? Jika iya, buku fiksi dan nonfiksi apa yang menurutmu harus dibaca?

Tidak juga. Sejarah menunjukkan bahwa mengubah dunia itu tidak gampang dan pelakunya tak pernah hanya satu orang, walaupun terkadang kesannya seperti itu. Kalau kuanalogikan dengan buku, aku lebih condong ke pendapat bahwa buku yang mengubah dunia itu ada banyak, dan menyebut satu buku lebih penting daripada yang lain adalah tidak adil.

(Penakota.ID - glp/fdm)

Para penulis fiksi ilmiah dengan temuan dan pengaruhnya, kerap menginspirasi dunia lewat inovasi teknologi dan pembacaan akan kemungkingan di masa depan.