HUMANIORA
30 Nov 2018 12:00
1253
Meramu Imajinasi Abinaya Ghina Jamela di Tengah Riuhnya Arus Digital

Penakota.id – Sebelum matahari tenggelam, Sir Pentoel telah usai dengan rutinitasnya–mencari nafkah untuk membayar berbagai tagihan alih-alih membangun peradaban. Hari itu adalah hari yang cukup padat baginya. Setelah bolak-balik ke berbagai tempat dan bertemu berbagai narasumber, ia jadi melewatkan makan siang. Ia lupa mengisi perutnya karena terlalu asik dengan tenggat tulisan yang diamanatkan atasannya. Kini, telinganya seolah menangkap jeritan-jeritan cacing yang bergemuruh.

“Turun di sini saja Pak,” tuturnya kepada ojek daring yang setia menemaninya ke mana-mana.

Sir sudah lama menetap di indekosnya, di bilangan Jakarta Timur. Oleh karenanya ia sudah mafhum akan tempat makan yang menurutnya sedap di lidah maupun tidak. Atau yang murah di kantong maupun yang membuat dompetnya setipis tempe. Anak kos tentunya sangat memikirkan hal ini.

Pasca Sir turun dari sepeda motor dan memberikan uang belasan ribu, ia pun memutuskan untuk menyambangi lepau milik seorang pria paruh baya. Pria itu biasa ia panggil Paman Mulyo. Pria tersebut sama dengan Sir, seorang pendatang yang telah menetap di kawasan Jakarta Timur. Hanya saja, Paman Mulyo sudah amat lama menjadi perantau di Jakarta.

Paman Mulyo adalah seorang pedagang nasi goreng. Letak lapak dagangannya lumayan dekat dengan indekos Sir Pentoel. Ia pun memutuskan untuk memadamkan kelaparannya di lepau itu. Sir sudah mengenal Paman Mulyo seperti keluarganya sendiri. Mulai istri dan anaknya, Sir kenal betul wajah mereka semua.

Nasi goreng tanpa kecap, tidak pakai cabai, telur setengah matang, tanpa acar, ditambah es teh manis. Lengkap sudah menu kasual pilihan Sir Pentoel yang ia pesan dari Paman Mulyo. Esensial dan subtil, ungkap Sir dalam hati. 

Pesanan di lepau Paman Mulyo saat itu masih banyak yang harus diselesaikan. Sir harus bersabar menunggu terlebih dahulu. Untung saja Sir membawa sebuah buku puisi yang baru ia miliki beberapa hari yang lalu. Buku penyair medioker yang namanya tidak sementereng Joko Pinurbo, Avianti Armand maupun Mario F. Lawi. Skenario Menyusun Antena milik Galeh Pramudianto, semacam karya cult di lingkungan terdekat Sir. Ia sudah lama ingin memiliki buku itu, namun apalah daya buku itu telah sulit ditemukan sebelum pada akhirnya ia berhasil mencuri dari kekasihnya.

Sambil menunggu pesanannya datang, Sir membaca buku puisi itu. Sesekali matanya celingak-celinguk ke arah lapangan tanah merah yang sedang dipenuhi anak-anak bermain bola. Anak-anak yang bermain di lapangan itu berteriak sana-sini, mengejar bola plastik, mengumpat satu sama lain, tertawa dan kesal. Melihat adegan tersebut, terbesit sedikit dalam hati kecil Sir.

“Pekerjaan wartawan adalah kuli tinta. Aku harus jadi baik agar sepak bola kita juga baik,” tuturnya dalam hati dan tertawa sambil menatap bocah-bocah yang berlarian.

Di tengah lamunannya, sekonyong-konyong seorang anak lelaki mendekati lepau nasi goreng Paman Mulyo. Anak itu berkacamata, berambut pendek, dan rahang mukanya bulat. Ia datang dan terlihat kelelahan. Ia mengambil air yang ada di warung itu. Sir sudah tidak asing lagi dengan anak itu, ia adalah Tomo, putra Paman Mulyo.

Di hadapan Sir, Tomo terlihat kehausan. Keringatnya masih mengucur deras dan bajunya basah kuyup. Sir tersenyum memandangnya. Selepas menghabiskan air minum yang ia genggam, Tomo tidak lagi tertarik kembali ke lapangan merah. Tomo lebih tertarik dengan gawai yang baru saja dicas oleh ibunya. Walaupun ibu dan bapaknya menasehati ini dan itu berkali-kali, hal tersebut tetap tak dapat membuatnya menyerah meraih gawai.

Berkali-kali Sir mendengar, ibunya kerap memerintahkan Tomo untuk tidak bermain gawai karena dari ia pulang sekolah hingga sore hari gawai selalu berada di tanganya. Barangkali ibunya khawatir dengan kuota yang baru saja diisi, menonton yang tidak-tidak, atau matanya tambah rawan. Sampai akhirnya, sang ibu, bahkan Paman Mulyo menyerah dan seakan-akan 'ya sudahlah'.

Pada akhirnya anak itu tanpa henti menatap layar gawai yang terang. Saat itu Sir melihatnya sedang membuka Youtube dan Sir tidak tahu pasti apa yang ia tonton. Sir sendiri tidak merasa heran jika Tomo bersikap demikian, sebab sering kali sebelumnya Sir menemukan ibu Tomo sendiri terlihat kegandrungan dengan gawai yang ia miliki. Menonton dangdut dan acara-acara reality show.

Bahkan saat sang ibu sedang menyiapkan berbagai kebutuhan masakan, ia kerap meletakkan gawai di senderan tumpukan piring dan tetap menonton. Seperti menjadi hal yang lazim, anak-anak dilarang bermain gawai, tetapi yang melarang itu juga asyik masyuk dengan gawai.

Sir pun sangat menyayangkan ketika melihat seorang anak yang sudah kecanduan dengan gawainya seperti Tomo. Seakan-akan dunia anak berubah menjadi realitas maya saja. Tetapi Sir tidak mau menghakimi dan sok tahu untuk hal seperti itu. Ia sadar betul bahwa ia bukan ahli di bidang pengembangan potensi anak seperti Kak Seto.

“Apa karena ini Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2011 melaporkan bahwa kemampuan literasi anak Indonesia terbilang rendah? Apa karena ini hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) di tahun 2015 yang menunjukkan masih rendahnya kecakapan anak-anak untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari? Literasi adalah kunci, gawai adalah candu,” Ia menghela napas, pikirannya melayang lagi.

Namun Sir tidak ingin pikiran negatifnya melanglang lebih larut. Pasalnya di sisi lain, ia juga amat mafhum dengan era digital sekarang. Anak-anak yang notabene merupakan Genarasi Alfa, memang lebih suka melakukan segala hal dengan gawai dan teknologi. Bisa jadi dengan gawai mereka juga belajar, membaca dan sebagainya.

“Bagaimana Anda memaknai literasi? Apakah hanya sebatas pada buku cetak? Mengapa Anda mempermasalahkan anak-anak zaman sekarang yang lebih suka bermain smartphone daripada membaca buku di perpustakaan?” tiba-tiba ia terngiang prolog dari sebuah artikel dari Ali Nashokha di Geotimes

Sir pernah membaca artikel tersebut dan ia pun turut mengamini. Pikir Sir, artikel yang berjudul Budaya Literasi Indonesia Tidak Rendah, Tapi Bermetamorfosis juga merupakan tesis yang masuk akal. Pada tulisannya, Ali ingin membunuh anggapan bahwa literasi Indonesia, terutama di kalangan anak-anak tidak rendah. Hanya saja ia bertranformasi seiring perkembangan zaman yang ada. Ali menggap bahwa pemikiran menyalahkan era digital dan mengatakan hal itu menyebabkan literasi rendah merupakan sebuah pemikiran yang kuno dan kolot.

“Pemaknaan semacam itu rasanya terlalu naif di tengah semakin pesatnya perkembangan teknologi. Faktanya perpustakaan online terbesar di dunia archive.org telah memindai 12 juta eksemplar buku dalam bentuk digital dan bebas diakses oleh siapapun. Literasi Indonesia tidaklah rendah hanya saja bermetamorfosis dalam bentuk digital,” tulis Ali.

Lebih lanjut, Ali juga membeberkan bahwa banyak juga isi buku yang diterjemahkan ke dalam bentuk gambar maupun video yang lebih mudah dipahami dalam proses pembelajaran siswa di sekolah. Mereka pun bisa mengakses jutaan jurnal ilmiah yang kaya akan referensi buku hanya dengan satu kali klik di internet.

“Apakah semua kecanggihan dalam mendapatkan pengetahuan tersebut tidak bisa dimaknai sebagai literasi? Literasi bukan sekadar buku cetak, melainkan media apa pun yang memberikan pengetahuan baik berupa teks, audio, visual, maupun perpaduan di antara ketiganya,” tegas Ali.

Sir pun tidak ingin pusing dengan hal tersebut. Sir paham betul dirinya juga tidak berhak menyalahkan satu atau dua pihak dan membenarkan sesuatu di luar keahliannya. Kendati demikian, Sir hanya ingin membuktikan bahwa masih ada anak-anak ‘ajaib’ di era ini yang belum terkontaminasi lebih oleh gawai. Keadaan itu pun menjadi sebuah hal positif untuk mereka. Sekejap Sir membayangkan seorang gadis kecil yang di usia delapan tahun telah menerbitkan buku puisi buah karya tangannya sendiri.

 

Dia adalah Abinaya Ghina Jamela. Panggilan akrabnya adalah Naya, gadis kecil yang lahir di Padang, 11 Oktober 2009. Naya juga sudah menerbitkan buku puisi berjudul Resep Membuat Jagad Raya yang membuat para penikmat dan pegiat sastra terkejut dengan kelihaiannya menulis puisi. Baru-baru ini pula ia telah menerbitkan buku keduanya yaitu kumpulan cerita pendek Aku Radio Bagi Mamaku

Untuk itu Sir berusaha mencari dan menghubungi orang tua Naya, Yona Primadesi agar mengetahui lebih jauh tentang Naya dan bagaimana cara mereka mendidik Naya hingga menjadi salah satu penulis cilik yang menggetarkan jagat literasi Indonesia. Selain itu, Sir juga tertarik terkait pandangan Yona sebagai seorang penulis Dongeng Panjang Literasi Indonesia terhadap anak-anak di era digital. Siang itu, Minggu (25/11) pukul 13.00 WIB Sir menghubungi Yona lewat telepon seluler.

 

Bagaimana pola asuh orang tua terhadap anak-anak yang tumbuh di era digital dan terkesan jauh dari iklim literasi?

Sebenarnya anak-anak itu secara umum tidak jauh dari literasi. Hadirnya media informasi dan teknologi itu sendiri justru membuat informasi semakin mudah didapat dan mudah diakses. Inti literasi itu kan bagaimana pada akhirnya anak mampu mendayagunakan modal-modal informasi yang ada. Nah, mungkin kalau di sini peran orang tua itu jadi lebih ekstra. Kalau dulukan orang tua perannya terbatas pada literasi yang masih bersifat konvensional, tapi sekarang kan tidak. Salah satunya literasi media, bagaimana kemudian orang tua mengawasi, membatasi, memberikan pengertian kepada anak tentang bagaimana boleh menggunakan media, akses media, akses informasi atau tidak sama sekali. Mungkin tugas sebagai orang tua lebih berat di era ini untuk mendampingi anak terhadap perkembangannya.

Untuk Naya sendiri seperti apa?

Kami itu mungkin berangkat dari asumsi-asumsi bahwa perkembangan kemampuan anak bertahap, literasi anak bertahap. Memang yang paling dasar dalam literasi itu membaca dan menulis, karena itu hal yang paling awal. Jadi, kami masih menarik ke proses membaca dan menulis yang konvensional. Dulu saat kita membaca buku konvensional kita membaca per halaman, kita bisa menggaris, menebalkan, jadi membaca lebih cermat. 

Sementara jika kita membaca menggunakan gawai itu artinya membaca skimming. Kita mencari informasi yang kita butuh, kalau tidak ada ya sudah lewat. Itu kan berpengaruh terhadap proses belajar. Kami berasumsi bahwa untuk bisa menyerap informasi yang baik, dia (Naya .red) harus melewati tahap awal dulu. Makanya di awal delapan tahun kami mensterilkan Naya dari gawai.

Awalnya Naya itu kecanduan gawai seperti anak-anak yang lain cuma tiba-tiba apa efek baik gawai untuk perkembangan Naya itu apa, malah tidak ada. Individualis itu malah yang muncul. Orang-orang barat individualis ketika membaca teks, anak-anak individualis ketika bermain gawai. Itu kan sangat tidak bagus.

Ketika Naya berusia empat tahun, kami sudah berusahan untuk memutus semua hubungan Naya dengan gawai sampai di usianya ke delapan. Dia harus memaksimalkan kemampuan otak, kemampuan motoriknya sebagaimana yang anak-anak butuhkan. Karena bila dengan gawai, kemampuan motorik dan sosialnya akan hilang.

Naya sekarang berusia sembilan tahun. Akhirnya dia punya kebutuhan dan sebagai orang tua kita hanya bisa memfasilitasi dan membentengi dia bagaimana cara menghadapi itu semua. Dia sekarang sudah punya laptop sendiri, bisa update Youtube untuk kepentingannya. Jadi, memang di delapan tahun pertama memang tidak boleh sama sekali.

Bagaimana jika ada teman sebayanya yang ingin menghubunginya?

Dia harus komunikasi bertatap muka, tidak boleh dengan Whatsapp (WA). Jika ada hubungannya dengan WA harus menghubungi aku (Yona .red).

Kami dianggap berpikiran konvensional. Karena kami berpikiran secanggih apapun program untuk edukasi anak, itu belum sepantasnya dalam bentuk audio visual yang terhubung dengan perangkat-perangkat elektronik. Kami ingin anak kami berkarakter. Karakter itu muncul ketika kita tahu potensi mereka. Potensi itu muncul salah satunya ketika mereka berinteraksi dengan dunianya, bukan dengan dirinya. Nah, kami ingin mencoba membangun itu, jadi nanti ketika dia dilepas ke dunia luar, anak kami tahu mana yang harus dia dahulukan dan apa kepentingan yang harus dia utamakan. Hal itu tidak akan maksimal ketika mereka terpapar gawai dengan aktif.

Kami beranggapan, bahwa ada usia-usia tertentu untuk mengonsumsi gawai dan juga usia-usia yang diperuntukkan membangun interaksi dengan dunia mereka. Jadi, dia harus tahu dulu, untuk apa barang tersebut digunakan dan harus ada alasan yang masuk akal akan barang tersebut. Hal-hal yang sifatnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan proses pembelajarannya. 

Bagaimana latar belakang Naya hingga terlibat ke dunia sastra?

Sebenarnya awalnya itu kami tidak menyangka Naya sampai sejauh ini. Dulu ketika Naya lepas dari gawai, harus ada kegiatan untuk mengalihkan perhatian dia. Awalnya melukis, terus dia ingin belajar membaca. Setelah dia belajar membaca dia belajar menulis. Nah, setelah pada tahap menulis, saat itu aku berpikir kita itu masyarakat yang sangat kental kelisanannya. Kita punya ide tapi sulit untuk menulisnya. Pada akhirnya, aku harus mempraktikkan. Naya belajar nulis lewat buku yang diberi nama Jurnal Harian Naya. Naya menulis puisi itu karena sering diajak bermain dengan Nermi Silaban (penyair. red), itu pun tidak disengaja.

Saat bermain dengan Nermi, selalu Naya diajak bermain dengan alam di sekitarnya, seperti mencari persamaan gunung dan benda lainnya. Terus juga ditambah oleh referensi bacaan. Kemudian ketika menulis diari, dia mulai menggunakan majas dan metafora. Itu efek dari bermain, membaca dan diskusi. Literasi yang dialogis itu lebih penting. Bila kita menyuruh anak membaca dan memberi anak buku, itu salah besar. Hal yang paling terpenting dalam proses membaca adalah sebelum membaca dan sesudah membaca, bukan ketika membaca.

Misalnya, ketika Naya membaca buku Pram dan Hemingway. Kami bukan memberinya buku, tapi kami mulai menceritakan dulu pengarangnya untuk menarik perhatian Naya, siapa itu Pram dan Hemingway. Setelah dia baca bukan berarti anak sudah literat, kalau dibiarkan saja maka pengetahuan itu akan ia simpan untuk apa? Maka perlu diadakan diskusi. Melalui diskusi itu pengetahuan akan bertambah dan berkembang. Kadang-kadang hal itu terjadi ketika proses membaca saat ia menemukan kata-kata sulit yang tidak dimengerti. Tidak langsung diarahkan untuk melihat ke kamus, tetapi dicatat dulu nanti di rumah baru didiskusikan.

Adakah cerita-cerita yang belum saatnya Naya baca?

Banyak sekali. Bacaan-bacaan dewasa, namun diserahkan kepada Naya untuk dibaca. Karena kami orang tua yang cukup percaya diri untuk interaksi kami di dalam keluarga. Jadi, aku tidak cemas Naya membaca buku a atau b, bahwa nanti bisa saja dia mendapatkan sesuatu yang belum sepantasnya. Selagi proses diskusi itu berjalan, aku tidak mengkhawatirkan itu. Misal kemarin, saat dia membaca buku Gabo. Di dalam cerita itu ada dialog yang bercerita tentang perempuan penghibur. Naya bertanya maksud hal itu, dan tanpa disadari pembelajaran seks hadir dalam diskusi tersebut. Jadi, tidak ada buku yang harus dicemaskan untuk Naya baca.

Bagaimana dengan pengaruh orang tua yang tidak literat?

Anak-anak itu butuh figur, itu yang harus diperhatikan. Figur yang paling pas itu orang tua. Kalau di sekolah adalah guru. Kenapa selama ini program literasi itu berjalan lambat sekali, karena anak-anak tidak punya figur. Misal di rumah, orang tua menyuruh anaknya membaca tapi dia sendiri menonton sinetron. Di sekolah, guru menyuruh anak baca tapi ia sendiri gosip di kantor. Akan lebih seru dan lebih asik ketika anak melihat orang tuanya membaca, pasti dia akan malu sendiri dan menumbuhkan kesadaran dia sendiri. Nah, anak-anak memang butuh figur. Jadi untuk membuat lingkungan yang literat perlu ekosistem yang literat juga. Makanya, anak yang literat akan cepat terwujud jika orang tuanya juga literat, jika lingkungannya juga literat.

Jadi, sebelum diajar untuk membaca dan menulis, orang tua harus melakukan hal itu dulu?

Iya, harus. Proses membaca itu proses membaca yang dialogis. Jika orang tua tidak literat lalu anak bertanya, maka apa yang akan orang tua jawab?

Tapi, bukan berarti orang tua itu serba tahu. Paling tidak orang tua bisa tampil sebagai sosok yang dibanggakan. Misalnya Naya bertanya, dan tidak semua pertanyaan bisa aku jawab. Ketika aku tidak bisa menjawab, aku bilang tidak tahu dan akan sama-sama cari tahu. Itu yang namanya literasi yang dialogis, dan itu yang harus dibangun.

Figur tersebut sangat penting di dalam keluarga?

Iya. Contohnya begini: dulu ketika kita ditanya cita-cita ingin jadi apa? Jawabnya ingin jadi guru. Hal itu karena melihat guru merupakan sosok yang luar biasa, begitu pula jika ingin jadi presiden. Kenapa? Karena presiden merupakan sosok yang ‘wah’. Maka ketika salah satu puisi yang terangkum di buku puisi Naya aku baca—salah satu baitnya yang berbunyi kenapa aku suka membaca biar pintar seperti bunda, aku di satu sisi bangga luar biasa. Paling tidak langkah pertama untuk menjadi figur dia aku sudah berhasil. Jadi, sampai umurnya menginjak 8 tahun aku adalah orang yang serba tahu bagi Naya.

Menjadikan orang tua sebagai figur bagi anak merupakan hal yang harus dibangun.

Ada nggak sosok lain selain Mbak Yona yang mempengaruhi kemampuan Naya dalam menulis?

Nermi. Kami itu trio. Kemana pun kami selalu bertiga. Ide awal untuk melepaskan Naya dari gawai itu dari dia. Aku kan ibu ya, melihat anak tantrum minta gawai aku kan suka tidak tegaan. Nah, Nermi itu tegas. Ketegasan itu perlu untuk sebuah aturan. Naya belajar mengenai pengetahuan-pengetahuan banyak hal itu dari aku, tapi belajar lewat permainan dan bagaimana menulis itu dari Nermi. Ada peran yang aku tidak bisa di situ. Nermi dengan caranya bisa memberikan ide-ide yang menurutnya luar biasa. Memang untuk Naya, kami berbagi peran.

Adakah jadwal keseharian yang diatur untuk Naya?

Tidak. Kami itu sifatnya intuitif. Waktu yang sudah saklek itu sekolah dan les, walaupun Naya itu sering bolos. Jika Naya ingin baca, silakan. Jika ingin melukis, silakan. Asalkan waktu yang ia gunakan tidak terbuang sia-sia.

Senin itu kadang-kadang dia suka malas dan bolos sekolah karena Sabtu dan Minggu seenaknya bangun. Naya harus bisa mempertanggungjawabkan waktu yang enam jam terbuang dengan hal-hal yang bermanfaat. Seperti membantu masak, beres rumah, atau membaca buku. Jadi dia harus tahu jika dia ingin A untuk apa, jika dia ingin B untuk apa dan tahu konsekuensi.

Pola asuh yang seperti ini apakah bisa cocok ke keluarga yang lain?

Itu nggak bisa sih, karena sudut pandang setiap orang tua berbeda-beda. Aku begitu karena basic aku adalah dulu anak yang dibesarkan dengan pola harus sekolah dari Senin sampai Sabtu, dari jam segini sampai segini. Aku merasakan efeknya ketika aku dewasa. Aku merasakan kejenuhan, aku mengalami masalah dengan lingkungan sosial dan aku tidak mau hal itu terjadi kepada Naya.

Sama seperti ketika di sekolah, alasan aku menyekolahkan Naya bukan karena ingin Naya juara 1, tetapi biar Naya bisa berteman, main sama teman-teman. Ketika Naya punya masalah dan ia bisa menyelesaikannya. Ketika ia juga tahu bagaimana rasanya dimarahi guru.

Tiba-tiba panggilan suara yang dari awal direkam terputus. Sir mendapat kabar dari provider baru saja pulsanya habis. Ia mencoba menghubunginya kembali menggunakan nomor yang lainnya.

Bagimana mengubah anak-anak yang sudah terpapar gawai? Dan beralih dari hal itu menjadi buku?

Itu mesti kerja sama, itu tidak bisa dilakukan oleh ibu saja. Aku juga tidak menyangka kami akhirnya bisa seperti itu. Ada dua hal, yang pertama adalah konsisten dan kedua adalah harus tega. Ketika kita melarang anak untuk menggunakan gawai, maka itu harus kita perlakukan pada diri kita sendiri. Dan yang kedua tega, anak-anak yang kecanduan itu kebingungan ketika tidak punya gawai, mereka biasanya nangis. Di situlah orang tua harus tega. Aku butuh waktu sekitar tiga bulan bernegosiasi dengan Naya.

Bagaimana jika di gawai itu sendiri terdapat Electronic book (e-book), apakah diterapkan juga?

Tidak. Kami itu sangat konvensional. Pertama, karena efek bagi kesehatan mata, itu jauh lebih rentan ketimbang membaca buku. Kedua, membaca e-book itu bisa, tapi itu kan membaca skimming. Tidak ada yang senikmat membaca buku konvensional, merasakan kertasnya, mencoretnya, itu satu hal yang membahagiakan.  

Tips bagi orang tua pola asuh yang anaknya kecanduan gawai?

Setiap orang punya perspektif masing-masing. Segala sesuatu itu harus bertahap dan pada usia anak tertentu secanggih apa pun perangkat teknologi sebaiknya jauhkan dulu dari anak-anak. Dunia anak-anak itu bermain, tapi bermain yang bagaimana? Ya bermain dengan teman-temannya, bukan bermain dengan gawainya.

Orang tua melarang anak-anak untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu, namun tidak diberi penjelasan. Yang menjadi persoalan sekarang, anak-anak kurang ruang bermain, yang kedua kontrol sosial tidak ada. Anak-anak sekarang yang aku lihat, rata-rata sudah indivivualistis dengan gawainya. Waktu bercerita kepada anak itu perlu.

Literasi itu bukan kerja satu orang, itu kerja bersama. Ki hajar dewantara menyebutkan tiga tokoh guru dalam pendidikan, satu keluarga, dua masyarakat, dan tiga sekolah. Ketiga elemen itu harus bisa berkolaborasi dan beriringan. Anak butuh figur, entah siapa pun itu.

(Penakota.ID - din/fdm/glp)

Literasi itu bukan kerja satu orang, itu kerja bersama. Ki Hajar Dewantara menyebutkan tiga tokoh guru dalam pendidikan: satu keluarga, dua masyarakat, dan tiga sekolah. Ketiga elemen itu harus bisa berkolaborasi dan beriringan. Anak butuh figur, entah siapa pun itu.