

Hujan sudah menyambut Naura ketika dia keluar dari kelasnya. Sedikit kerut muncul diantara kedua keningnya karena hujan sore ini. Bukan karena dia membenci hujan. Justru sebaliknya dia salah satu orang yang benar-benar menyukai hujan. Hanya saja hujan hari ini terasa tidak tepat.
Sambil menunggu hujan reda, Naura memutuskan untuk duduk di lobi sekolah. Headset sudah terpasang ditelinga sejak tadi. Naura tidak menyadari jika sejak tadi sepasang mata sudah mengawasinya dari jauh. Naura yang larut dalam syair lagu dan bacaannya tidak menyadari jika sepasang mata itu sudah berjalan mendekat padanya.
"Astaga Biyan". Tegur Naura pada laki-laki yang kini sudah duduk disisinya. Laki-laki yang sejak tadi mengawasinya.
"Kenapa belum pulang?". Tanya Biyan mengabaikan keterkejutat Naura.
"Kamu tak lihat jika diluar sama masih hujan". Kata Naura sedikit kesal karena pertanyaan Biyan.
Biyan kembali memandangi Naura yang kini sudah kembali larut dalam bacaannya. Senyum tiba-tiba terlukis dibibir Biyan melihat pemandangan itu. Pemandangan yang sudah lama dirindukannya.
"Naura". Panggil Biyan.
Naura menoleh menatap Biyan tepat dimanik matanya. Dia kemudian melepas headset yang sejak tadi menutupi telinganya.
"Kenapa?". Tanya Naura singkat.
"Maaf"
"Ada apa dengan maaf? Seingatku kamu tak melakukan kesalahan". Kata Naura bingung dengan sikap Biyan.
Biyan kembali bungkam, menatap Naura yang kembali larut dengan novelnya. Terus menatap Naura seperti ini membuat Biyan kembali merasakan rasa itu. Rasa bersalah yang membuatnya kini menyesal.
Hujan sepertinya belum menunjukkan tanda untuk mereda. Tidak ingin larut dalam bersalahnya, Biyan mengalihkan tatapnya pada hujan.
Hari itu sama seperti hari ini. Hari ketika Biyan mengajak Naura untuk menjalani sebuah hubungan. Mereka duduk berdua menanti hujan reda.
"Jadian yuk. Aku suka sama kamu".
Enam kata yang diungkapkan Biyan bersama dengan hujan saat itu. Enam kata yang menjadi awal kisah mereka namun berakhir di enam bulan cerita mereka. Hanya enam bulan hubungan itu harus berakhir.
"Bisa kita akhir ini?". Tanya Biyan pada Naura.
Setelah enam bulan, Biyan akhirnya mengatakan itu. Meminta Naura untuk mengakhiri semua cerita mereka.
"Aku ada salah? Kenapa kamu minta untuk berakhir?". Tanya Naura terluka dengan permintaan Biyan.
"Aku tidak ingin menyakitimu lebih lama". Jawab Biyan.
Menyakiti? Bukankah permintaan Biyan ini juga bagian dari menyakiti? Naura patah hati untuk pertama kalinya.
"Kenapa berkata seperti itu?". Naura masih mengejar jawaban Biyan.
Biyan tidak dapat memberi alasan pada Naura. Dia takut alasan itu hanya akan semakin membuat Naura terluka.
"Karena Febi?". Sambung Naura lagi. Mendengar nama Febi disebut membuat Biyan semakin diam. "Kamu mencintainya? Febi, kau cinta padanya?". Tanya Naura lagi.
Anggukan samar yang diberikan Biyan semakin membuat hatinya patah. Bukan karena ingin menyakiti, tetapi Febi. Febi menjadi alasan Biyan melepas Naura.
Setelah mendapat anggukan halus itu, Naura kemudian memegang pundak Biyan. "Boleh aku menatapmu?". Tanya Naura lagi. Biyan lalu mengangkat wajahnya dan menatap Naura tepat dimanik matanya. Kemudian sebaris senyum tergambar diwajah Naura, dia berusaha menyamarkan luka hati yang telah digores Biyan padanya.
"Maaf karena tak bisa membuatmu jatuh cinta padaku. Dan terima kasih sudah membuatku merasakan rasa yang ternyata indah ini. Terima kasih untuk enam bulan kita. Kalau dengan mengakhiri ini kamu merasa bahagia maka aku bisa melepasmu". Kata Naura.
Biyan tak dapat berkata apa pun. Mereka masih saling menatap ketika Naura memutuskan untuk menjauh. Naura membelakangi Biyan lalu dengan langkah ringan dia pun menjauh. Benar-benar menjauh dari Biyan.
Biyan hanya menatap punggung Naura yang mulai menjauhnya. Hingga satu kesadaran itu menghempaskannya. Naura telah pergi dari sisinya dengan membawa sekeping hatinya. Tanpa Biyan sadari, sekeping itu telah tercuri oleh Naura. Dan Naura tak akan mengembalikan hati itu.
"Biyan. Aku duluan. Hujannya sudah berhenti".
Teguran Naura mengembalikan Biyan dari masa lalunya. Dia kembali menatap Naura yang sudah berdiri disisinya.
"Naura". Panggil Biyan lagi.
Naura menghentikan langkahnya lalu berbalik. Perlahan Biyan berjalan mendekati Naura.
"Kenapa?".
"Bisa kembalikan hati yang sudah kau curi dariku?".
Naura tersenyum mendengar pernyataan Biyan. Naura kemudian mengusap lembut pipinya. Biyan memejamkan matanya untuk merasakan tangan lembut itu. Sebuah kerinduan kembali menyusup dalam hatinya.
"Aku tak pernah mencuri apa pun, termasuk hati kamu Biyan. Hati kamu sudah bukan milikku lagi. Hari dimana kamu meminta untuk mengakhiri kita, saat itu juga hati itu aku kembalikan. Karena hati itu sudah bukan milikku lagi". Kata Naura lalu berbalik dan meninggalkan Biyan yang masih terpaku menatapnya.
"Penyesalan itu emang selalu datang diakhir". Sebuah suara menyadarkan Biyan dari keterpakuannya.
"Sejak kapan kamu disini Febi?". Tanya Biyan pada pemilik suara itu.
"Cukup untuk membuatku mengerti kalau kamu benar-benar sudah jatuh pada Naura". Jawab Febi tersenyum.
Biyan kembali duduk ditempatnya diikuti Febi. Mereka masih sama-sama bungkam.
"Kejar dia kalau kau benar-benar cinta padanya". Kata Febi kemudian.
Biyan kemudian menoleh pada Febi meminta penjelasan dengan pernyataannya.
"Melihatmu seperti ini cukup membuatku kecewa. Kau memang disisiku, tetapi hatimu sudah bukan milikku lagi". Kata Febi kemudian. "Seharusnya sejak awal aku tidak menerima hatimu karena aku tahu akan berkahir seperti ini". Lanjutnya lagi.
"Kalau aku mengejarnya. Bagaimana denganmu?".
"Kenapa denganku? Aku akan baik-baik saja. Mungkin pada awalnya akan terasa sangat menyakitkan. Tepai seiring waktu, semuanya akan baik-baik saja". Jawab Febi ringan.
"Tuhan. Kemana saja aku selama ini. Disisiku ada dua malaikat cantik namun selalu ku abaikan". Kata Biyan mengusap kepala Febi. Febi hanya tertawa mendengar kata-kata Biyan itu.
Mereka lalu meninggalkan lobi sekolah. Biyan tidak tahu lagi menggambarkan perasannya saat ini. Dia merasa bersyukur karena Febi dengan lapang dada melepasnya walau dia tahu itu akan sangat menyakitkan. Tetapi dia ingin bahagia. Mungkin egois, namun Biyan memutuskan untuk menerima itu. Biarlah dia sedikit egois untuk kebahagiannya.
***
Walau diluar sana langit terlihat mendung tetapi tidak untuk Biyan. Sejak melewati gerbang sekolah, senyum tak lepas dari wajah Biyan. Hari ini dia akan berjuang untuk kembali meraih hati yang telah dia tinggalkan.
"Kau mau kemana Biyan?". Teriak Edo taman sekelas Biyan. Begitu Biyan memasuki kelas, dia hanya meletakkan tasnya lalu keluar kelas.
Sepanjang koridor Biyan tak pernah melepas senyumnya. Beberapa sapa dari teman-teman yang dikenalnya dia balas dengan senyuman lebar.
"Pagi bro. Senang sekali kau hari ini". Kata Gilang yang sudah menyambutnya didepan kelas Naura. Gilang dan Naura teman sekelas, namun cukup akrab dengan Biyan karena mereka sama-sama aktif di ekskul futsal.
"Naura belum datang?". Tanyanya pada Gilang.
"Ada apa kau mencari Naura?". Tanya Gilang.
"Ada yang ingin aku katakan padanya. Ini penting. Dia belum datang?". Biyan masih mengejar jawaban Gilang.
"Kau belum tahu?"
"Apa?"
"Naura tidak akan datang hari ini dan seterusnya". Kata Gilang kemudian
"Maksud kamu apa? Kenapa dengan Naura?". Biyan mulai khawatir.
"Dia pindah ke Prancis. Ikut ayahnya". Jawab Gilang sedikit khawatir karena melihat Biyan yang tiba-tiba pias.
Seketika itu juga Biyan merasakan asing. "Kapan dia pergi?". Tanyanya.
"Semalam. Kemarin adalah hari terakhirnya disekolah". Jelas Gilang.
"Biyan".
Sebuah suara kembali mengintrupsi mereka. Gilang dan Biyan menoleh pada suara itu.
"Febi, dia pergi". Kata Biyan terbata. "Dia pergi tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan perasaanku sebenarnya". Lanjutnya lagi.
Seketika itu Biyan meluruh kelantai. Gilang segera menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Kepergian Naura cukup membuatnya terkejut.
Naura tidak lagi menjauh dari Biyan tetapi dia benar-benar pergi tanpa memberi kesempatan padanya. Naura pergi setelah berhasil mencuri seluruh hati Biyan dan hanya menyisakan penyesalan. Sama seperti hujan yang berhasil memberi basah pada bumi kemudian menghilang dan hanya menyisakan jejak.
END

