oranment
play icon
Telepon yang Tak Sempat Berdering
Cerpen
Kutipan Cerpen Telepon yang Tak Sempat Berdering
Karya Haetami
Baca selengkapnya di Penakota.id

Senja merambat pelan di langit kota. Cahaya jingga membias di jendela kamar, membuat bayangan tubuhnya jatuh ke lantai yang dingin. Ia duduk bersandar di tepi kasur, menatap ponsel yang tergeletak di samping laptop. Layar hitamnya terasa seperti cermin, memantulkan wajah lelah dan mata yang penuh harap.


Namanya Aynun, kerap dipanggil Nun. Ia meraih ponsel itu, membuka layar, lalu menatap satu nama di kontak favorit. Ia tidak menulis nama lelaki itu dengan panggilan khusus hanya terlihat emoji bergambarkan dinosaurus. Namun baginya, simbol itu selalu cukup untuk membuat tersenyum manis.


Ia ingin sekali menekan tombol panggil. Ia ingin mendengar suara yang bisa membuat segalanya terasa ringan. Tapi jarinya hanya berhenti di atas layar, lalu gemetar. Ragu selalu datang, takut mengganggu, takut percakapan yang diharapkan hangat justru berakhir dingin.


Jadi, seperti malam-malam sebelumnya, ia meletakkan ponsel itu kembali.

Yang tidak Nun tahu, jauh di kota lain, lelaki itu sedang melakukan hal yang sama.


***


Lelaki itu duduk di kursi kamar rumahnya. Tubuhnya penat setelah seharian menatap layar laptop dan buku, tapi ada sesuatu yang lebih berat daripada lelah fisik, rindu yang menumpuk tanpa jalan keluar. Di tangannya ada ponsel, dan di layar terpampang nama Aynun.


Ia sudah ratusan kali hampir menekan tombol hijau. Tapi selalu berhenti. Kadang karena takut wantita itu sudah tertidur, kadang karena yakin ia terlalu sibuk untuk mendengarnya. Dan sering kali, alasan sebenarnya hanya satu, ia sendiri merasa wanitanya sudah terlalu lelah menjalani hari.


Rindu itu mengganjal di dada, berputar-putar, lalu hanya keluar dalam bentuk tulisan yang akhirnya terhapus.


"Nun, aku ingin dengar suaramu."

"Aku kangen sekali."

"Boleh aku telepon?"


Pesan-pesan itu selalu ia ketik, tapi tak pernah ia kirim. Ia merasa konyol, tapi begitulah caranya bertahan.


***


Wanita itu sering terjaga di malam hari, menatap langit-langit dikamarnya. Di antara rasa sepi, ia kerap berbisik pada dirinya sendiri,

“andai dia mau menelpon…”

Lalu ia menutup mata, membiarkan harapan itu larut dalam mimpi.

Namun, kadang ia juga mengetik pesan yang sama seperti pria itu:


"Aku kangen."

"Kenapa kita jarang ketemu lagi?"


Pesan itu pun terhapus sebelum sempat dikirim. Nun tidak ingin terlihat terlalu rapuh.


***


Minggu-minggu berlalu. Pertemuan mereka semakin jarang. Waktu, pekerjaan, dan jarak seperti bersekongkol untuk memisahkan. Namun, rasa rindu itu tidak pernah berkurang. Justru semakin hari semakin menumpuk, seperti hujan yang tertahan di awan.


Suatu sore, lelaki itu memberanikan diri. Ia menutup buku yang kerap kali dibacanya, duduk di kursi, dan membuka kontak. Kali ini ia benar-benar menekan tombol panggil.


Nada sambung terdengar. Dadanya berdegup kencang. Ia membayangkan wajah Nun yang kaget melihat panggilannya. Tapi sesaat kemudian, layar ponselnya menampilkan tulisan,

“jaringan terputus”.

Ia menatap layar lama sekali, sambil tersenyum tipis “yasuda nanti saja,” katanya lirih.


Di saat yang sama, wanita itu sedang duduk di ruang tengah rumahnya, menatap telvisi menonton tayangan dangdut kesukaannya, sesekali melirik ponselnya yang diam tak berdering. Ia menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Hatinya terasa hampa, seolah dunia sengaja mempermainkannya.


***


Hari berikutnya, Nun mencoba lebih berani. Ia mengetik:


"Aku kangen. Aku ingin ketemu kamu."


Pesan itu ia kirim, lalu jantungnya berdegup menunggu balasan. Namun, ponsel lelaki itu mati kehabisan baterai. Pesan itu baru terbaca berjam-jam kemudian, saat Aynun sudah tertidur.

Ia membaca pesan itu dengan senyum getir.


Ada rasa bahagia karena wanitanya mengungkapkan kerinduan. Tapi ada pula sesal-kenapa ia tidak ada di saat dirinya menunggu? Ia ingin segera menelpon, tapi jam sudah terlalu larut. Ia menahan diri, berharap esok bisa memperbaikinya.


***


Namun esok kembali jadi lusa. Lusa jadi minggu depan. Dan rindu lagi-lagi terjebak di dalam hati.

Lelaki itu mulai menuliskan kerinduannya di buku catatan kecil miliknya yang seringkali ia tulis.


"Kadang aku merasa bodoh. Kita berdua sama-sama menunggu, tapi sama-sama diam. Telepon yang tak sempat berdering jadi jurang yang makin dalam di antara kita. Seandainya salah satu dari kita sedikit lebih berani, mungkin jarak ini tidak akan terasa sejauh sekarang."


Ia menutup buku itu, lalu menangis pelan.


***


Suatu malam, hujan turun deras. Lelaki itu duduk menatap jendela, lalu tiba-tiba menekan tombol panggil lagi. Kali ini ia bertekad tidak akan membatalkan. Ia ingin mendengar suara Aynun malam itu juga.

Namun, saat panggilan berjalan, Nun sudah tertidur dengan ponsel yang diletakkan dalam mode senyap. Panggilan itu hanya berputar di ruang kosong, tak sempat membangunkannya. Lelaki itu akhirnya menutup telepon, menarik napas panjang, lalu berkata pada dirinya sendiri, “mungkin besok.”


***


Waktu berlalu. Mereka berdua terus menunggu satu sama lain, terjebak dalam lingkaran ragu. Telepon yang tak sempat berdering semakin sering terjadi, seperti sebuah kebiasaan.

Hingga suatu malam, entah kebetulan atau takdir, mereka akhirnya sama-sama mencoba di saat yang bersamaan.


Nun menekan tombol panggil, tepat ketika lelaki itu melakukan hal yang sama. Layar keduanya menampilkan notifikasi “menunggu panggilan”. Mereka berhenti, lalu sama-sama tertawa kecil sendirian.


Beberapa detik kemudian, telepon itu benar-benar tersambung. Suara mereka tumpang tindih, penuh rindu yang lama terpendam.


“Kenapa lama sekali kita nggak bicara?” tanya lelaki itu dengan suara lirih.

“Aku lagi ngerjain beberapa tugas, aku juga takut ganggu kamu…” jawab Aynun dengan nada Mahalini.

“Dihh, justru aku juga sama selalu nunggu kamu nelpon.” tegas lelaki itu.


Hening sejenak, lalu mereka tertawa dengan lega, tertawa dengan air mata.

Malam itu, mereka bicara lama sekali. Tentang kerja, tentang lelah, tentang mimpi-mimpi yang ingin dicapai bersama. Tentang rindu yang akhirnya tersampaikan.


***


Sejak malam itu, mereka berjanji, tak akan lagi membiarkan telepon hanya berdering di hati. Karena cinta bukan sekadar rasa, tapi juga keberanian untuk mengetuk pintu hati, meski hanya lewat suara di ujung telpon.


(Belum bersambung, masih ada!)

 

calendar
09 Sep 2025 19:05
view
35
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig