

Secangkir Awal yang Pahit
Pagi itu, aroma kopi tidak lagi menenangkan. Entah kenapa, setiap tetes espresso yang menetes dari portafilter justru terdengar seperti detik waktu yang berlari menjauh dari hal-hal yang dulu aku yakini. Meja kayu di sudut kafe yang biasanya jadi tempatku meracik tawa pelanggan, hari ini terasa seperti saksi bisu dari sesuatu yang akan berakhir.
Namaku Hasbi usia ku Dua puluh tujuh tahun. Barista di sebuah kedai kecil bernama “Namq”, di Pusat kota yang ramai tapi terasa sepi kalau kamu tidak tahu harus ke mana untuk pulang. Aku selalu bilang pada diriku sendiri bahwa kopi bukan hanya minuman—ia adalah cara untuk bertahan. Setiap cangkir punya cerita, setiap rasa pahit punya alasan. Tapi pagi itu, bahkan pahit pun kehilangan maknanya.

