

Tegaplah raga, meski jiwa telah berserak,
bagai kaca retak yang enggan disatukan,
ia berdiri, bukan karena tabah,
melainkan murka pada bayangannya sendiri.
Adakah keberanian itu sekadar bayang-bayang,
yang bergeming di bawah cahaya redup,
sementara hati, layu dan hancur,
menyulam doa yang tak pernah selesai?
Indahkah hidup bila dilihat dari luka,
dari kegagalan yang menjelma bunga layu,
yang harum bukan karena mekar,
melainkan karena runtuhnya kelopak di tanah basah?
Maka berdirilah, wahai tubuh yang membatu,
jadilah prasasti bagi jiwa yang tersungkur,
karena semesta tak memberi jawaban,
selain diam yang panjang,
dan diam itulah yang paling ramai.

