Aku menggaruk bebatuan yang menggantung di atas bukit
Jauh, puncaknya masih jauh.
Sedang kakiku sudah seratus tahun tak lagi menapak di tanah
Sesekali kakiku tergelincir
Aku bahkan pernah jatuh dan menghantam ranjau di lembah
Anehnya, aku masih disini
Mendaki perbukitan yang tak ada mulusnya.
Sambil sesekali melukis pemandangan
Sebagai penanda agar tak lupa jalan
Dua ratus tahun berikutnya, aku sampai di puncak bukit.
Sedikit melegakan
Namun saat pandangku berpendar
Aku melihat masih banyak bukit yang harus ku daki
Tinggi, beberapa bahkan tak nampak ujungnya
Hanya kelihatan kabut di atas sana.
Aku meraung
Mengumpat sekuat tenaga
Aku sudah lelah
Sudah tak mampu untuk melanjutkan perjalanan.
Tubuhku semrawut,
Rambutku kusut,
Pikiranku kalut.
Aku merebah di atas tonggak besar
Merajuk, tak mau beranjak.
Ku bongkar poket dan kuambil lukisanku.
Banyak ternyata.
Sudah mau seribu buah.
Mataku menelisik
Memandang kagum tiap tanjakan dan turunan yang sudah ku lewati kurun waktu.
Di lukisan nomor sembilan ratus sembilan puluh delapan, aku berdiri.
Mengemas kembali poket beserta segala perkakas
Lalu megambil satu langkah menuruni bukit.
Begitu seterusnya dan seterusnya.
•••
Ditulis di Ranai, 6 Januari 2022