State of Mind – Medan Perjuangan yang Tak Terlihat

Dalam bahasa Latin, kata “mens” merujuk pada pikiran, jiwa, atau kesadaran. Dari akar kata ini muncul berbagai istilah yang menghidupkan tradisi filsafat Barat: mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat), animus (kehendak, semangat), hingga mentis dalam ungkapan seperti locus mentis—tempat bagi jiwa untuk tinggal dan berpikir.

Konsep state of mind sendiri dalam terjemahan bebas dapat dimaknai sebagai status mentis—keadaan jiwa, posisi batin, atau orientasi kesadaran seseorang terhadap hidupnya. Ia bukan sekadar “apa yang kita pikirkan”, tapi bagaimana kita berpikir tentang dunia, tentang diri kita, dan tentang relasi antara keduanya.

State of mind adalah fondasi diam-diam di balik semua tindakan kita. Ia adalah ruang dalam batin tempat segala keputusan dirundingkan, tempat segala ketakutan dan harapan berdialektika. Dalam dunia modern, kita diajarkan untuk memperhatikan apa yang tampak: prestasi, hasil, penampilan. Tapi para pemikir agung—dari Socrates, Descartes, hingga Bung Karno—justru menekankan pentingnya menyelami yang tak tampak: dunia dalam jiwa manusia.

Socrates berkata bahwa hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak dijalani (an unexamined life is not worth living). Descartes memulai filsafatnya dari keraguan batin, bukan dari dunia luar. Dan Bung Karno, dalam retorika-retorika dahsyatnya, selalu mengajak bangsa ini bukan hanya untuk merdeka secara politik, tapi juga untuk merdeka dalam berpikir—untuk memiliki state of mind yang bebas, sadar, dan bertanggung jawab.

Maka dalam bab ini, kita akan menelusuri apa sejatinya state of mind itu:

Apakah ia sebuah kondisi psikologis belaka?

Ataukah ia adalah ruang kesadaran yang menentukan arah hidup manusia?

Bagaimana ia terbentuk, dan bagaimana ia dapat diubah?

Lebih dari sekadar definisi, kita akan membedah bagaimana state of mind membentuk takdir individu—dan pada akhirnya, nasib sebuah bangsa.