Aku capek. Bukan karena cinta, tapi karena harus terus menebak kejujuran di balik kata-kata yang kau ucap. Aku muak, bukan oleh luka, tapi oleh kesadaran bahwa semua manis itu hanya topeng, bukan niat. Pertanyaannya terus memantul di dalam kepalaku, “Aku salah apa? Aku kurang apa?” — dan jawabannya selalu kembali ke satu hal: bukan aku yang kurang, tapi kau yang tak pernah cukup berani.
Laki-laki terlalu sering mengira komitmen adalah hiasan bibir, bukan tanggung jawab hati. Ucapan kalian mudah sekali lahir, tapi tak pernah punya kaki untuk berdiri di kenyataan. Kini aku tenang, tapi tajam: bukan lagi memohon, hanya mengingat — bahwa kata-kata tanpa keteguhan hanyalah kebohongan yang dibungkus rapi.