Malam itu, 5 September 2025, aku masih ingat betul. Dunia seperti berhenti sebentar, bukan karena kehilangan, tapi karena pengkhianatan yang datang dari arah yang tak pernah kuduga. Ia bukan ledakan, melainkan pelan, menusuk, mengiris dari dalam. Orang yang kucintai, yang kusimpan di ruang paling suci dalam hatiku, ternyata adalah dalang dari kepedihan yang diam-diam tumbuh di belakang punggungku.
Dari semua kebisuan yang terjadi, acuh tak acuh, diriku sibuk menerka hingga pada akhirnya semesta punya cara terbaik menunjukan kebenaran itu, tanpa ku cari tahu. Prinsip hidupku tidak pernah berubah, mau berkelakukan busuk kaya apapun masih bisa ku toleransi, tapi, jika sudah masuk ke ranah pengkhianatan, itu adalah mutlak aku tidak akan pernah kembali, seujung jaripun, tak sudi.
Aku sempat bertanya, “Kenapa?” bukan karena ingin mendengar alasan, tapi untuk meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi buruk. Namun jawabannya hampa, tatapan matanya pun tak lagi menyala, seolah kejujuran sudah lama mati di antara kami. Rasanya seperti dihantam gelombang dingin yang merobek tulang — bukan hanya perasaan yang hancur, tapi juga kepercayaan yang selama ini kujadikan pondasi hidupku.
Sejak malam itu, aku bukan lagi aku yang dulu. Bukan karena aku lemah, tapi karena pengkhianatan mengajari satu hal yang tak tertulis di buku mana pun: bahwa tidak semua luka butuh obat, beberapa luka cukup dibiarkan membentuk kulit baru, keras, dingin, dan tak lagi mengenal rasa. Dan untuknya, tidak ada kata pulang. Tidak ada rumah yang bisa ia ketuk kembali.