oranment
play icon
Guruku Semangatku
Cerpen
Kutipan Cerpen Guruku Semangatku
Karya Trisetyawati
Baca selengkapnya di Penakota.id



“Mengapa aku berbeda?” itu yang selalu ada dalam pikiranku.

Kami bertiga sekolah di SMP yang sama. Dua kakakku adalah juara kelas di sekolahnya, sementara aku selalu peringkat tiga besar dari bawah. Setiap hari saat masuk kelas adanya hanya rasa takut dan malas. Omelan dari guru dan hinaan teman sudah jadi sarapan rutin bagiku. Tidak ada teman yang mau bermain bersamaku. Hanya kucing penjaga sekolah yang selalu kugendong dan menemani dengan setia saat jam istirahat.

“Mir, apakah kamu sudah mengerjakan PR Matematika?” tanya Dodi teman sebangkuku.

Aku menggelengkan kepala karena memang belum mengerjakan PR. Kulihat teman-temanku semua sudah siap dengan PRnya masing-masing. Hanya aku yang terlihat takut dan kebingungan.

“Huh, dasar bodoh…ediot!” kata Irfan dengan nada ejekan.

“Kamu tidak pantas sekolah di sini, tapi di SLB!” lanjutnya sambil tertawa-tawa.

Aku tidak suka dengan kata-kata itu. Kuambil bukunya yang di atas meja, lalu kubuang ke lantai. Irfan tidak terima, dia menarik rambut dan memukul kepalaku. Aku ingin membalas namun tiba-tiba pak Heri guru matematika sudah menarik telingaku dan menyuruhku duduk.

“Berhenti berkelahi, duduk di tempatnya masing-masing!” perintah pak Heri dengan tegas.

Setelah berdoa, beliau memerintahkan semua anak membuka PR. Melihat aku yang kebingungan, pak Heri langsung bertanya.

“Mana PR mu? Jika tidak mengerjakan, cepat keluar!” beliau berteriak keras membentakku.

Aku tertunduk lesu dan berjalan keluar. Hukuman sudah sering kualami karena kebodohan dan kemalasanku. Di luar kelas kulihat kakakku yang pertama sedang berolah raga. “Bil, lihat tuh, adikmu dihukum lagi, kamu pintar kok adikmu bodoh?” tanya teman mas Billy. Mas Billy diam saja dan sepertinya terlihat malu. Dia hanya melirikku sebentar kemudian pergi.

Setelah pelajaran matematika selesai, aku masuk kembali ke kelas. Selanjutnya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Ibu Susi menyuruh kami membuka buku paket Bahasa Indonesia halaman 125. Beliau menyuruhku untuk membaca halaman tersebut. Aku membaca dengan sangat pelan dan terbata-bata. Ibu Susi tidak sabar dan marah padaku.

“Baca dengan keras dan benar!” perintahnya.

Aku membaca agak keras namun masih terbata-bata juga. Akhirnya bu Susi menyuruhku berhenti dan Dodi yang meneruskan membaca.

Tiba-tiba petugas TU memanggilku untuk datang ke kantor Kepala Sekolah. Ternyata aku diberi surat untuk disampaikan kepada kedua orang tuaku. Inti surat itu adalah aku di suruh untuk pindah sekolah, karena jika tidak pindah, maka terancam akan tinggal kelas.

Sampai di rumah, aku bingung. Surat itu tidak kusampaikan kepada orang tuaku tapi kubuang ke tempat sampah di depan rumah. Aku tidak ingin jauh dari keluargaku dan tidak mau masuk sekolah berasrama. Ternyata pihak sekolah menelpon ayahku dan menanyakan tentang surat itu. Lalu kuambil lagi surat itu dan kuberikan kepada ayah.

“Ayah akan pindahkan kamu ke sekolah berasrama yang terletak di Bandung!” kata ayah dengan tegas.

“Tiga hari lagi Ayah akan antar kamu ke sana, bersiap-siaplah mulai sekarang!” lanjutnya.

Aku sedih sekali mendengar keputusan ayah. Dengan masuk sekolah berasrama berarti aku akan jarang pulang. Aku jadi benci diriku mengapa aku bodoh di sekolah dan harus pindah ke sekolah asrama Tapi aku tidak bisa menolak keinginan ayah dan harus pergi tiga hari lagi.

Hari ini, adalah hari yang tak pernah kulupakan. Ayah, ibu dan kedua abangku mengantarku ke sekolah berasrama di Bandung. Kurang lebih 4 jam perjalanan, sampailah aku di sekolah asrama tersebut. Kulihat gedung sekolahnya besar-besar dan halaman sekolahnya luas. Ada 3 lapangan olah raga di sini. Kulihat sekelompok anak sedang latihan baris berbaris di salah satu lapangan. Aku diantar ayah dan ibu masuk ke kantor kepala sekolah. Kini aku resmi menjadi penghuni sekolah asrama itu. Ayah, ibu dan kedua abangku memelukku dan berpamitan. Kesedihan kurasakan setelah ditinggal mereka. Walaupun mereka sering memarahiku, tapi aku tetap menyayanginya.

Diantar pengurus asrama, aku memasuki gedung asrama putra. Dengan keraguan, kulangkahkan kakiku ke kamar yang sudah ditunjukkan. Ada delapan orang dalam satu kamar. Mereka berasal dari berbagai daerah, tapi paling banyak berasal dari Jakarta. Aku berkenalan satu per satu dengan mereka. Malam itu aku gelisah dan susah tidur sebab masih memikirkan keluargaku, Karena kondisi sudah lelah akhirnya aku tertidur juga.

Pagi hari aku dibangunkan oleh Bagus temanku asal Bogor. Aku hanya menggeliat dan pindah posisi tidur.

“Mir, ayo cepat bangun, kamu harus antri mandi, kalau terlambat ke sekolah bisa kena hukuman!” suara keras Bagus sambil mengguncangkan tubuhku.

Mendengar kata hukuman aku bergegas bangun dari tempat tidur dan segera ke kamar mandi. Setelah mandi aku sarapan bersama mereka, kemudian bersegera ke sekolah karena waktu sudah pukul 06.30.

Hari Senin adalah hari pertama aku masuk ke sekolah. Kulihat jadwalnya adalah pelajaran matematika. Aku duduk di bangku depan bagian tengah samping Bagus. Hatiku dag dig dug, aku melamun mengingat guru matematika di sekolah lama yang sering menghukum dan marah-marah. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara salam dari depan mejaku. Ternyata bu guru matematika telah datang ke kelas. Orangnya ramah, cantik dan lembut. Namanya bu Sinta. Tidak ada kesan galak padanya. Beliau mengulurkan tangan padaku dan aku menyambutnya.

“Kamu murid baru di sini ya, selamat datang, semoga kamu betah dan bersemangat di sekolah ini!” kata bu Sinta dengan lembut.

Setelah diajar bu Sinta, tidak ada kesan bahwa matematika itu susah dan menyebalkan. Metode yang disampaikan bu Sinta mudah dan menyenangkan. Beliau mengajar dengan gaya yang disukai oleh anak-anak seusia kami. Dia tidak kaku dan galak, bahkan sangat ramah. Selesai mengajar, saat mau meninggalkan kelas, beliau mendekatiku dan berkata agar aku menemuinya di ruang guru.

Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam kepada bu Sinta. Beliau menjawab salamku dan menyilahkan aku masuk.

“Mir, Bu Sinta tahu tentang kamu dari catatan di raportmu yang dulu!” kata bu Sinta.

“Kalau kamu mau dan benar-benar punya kemauan yang tinggi untuk berubah, Bu Sinta akan membantumu!” lanjut bu Sinta dengan penuh bijaksana.

“Tidak ada anak yang bodoh, semua anak adalah bintang, punya keunikan masing-masing” kata-kata dari bu Sinta yang selalu terngiang di kepalaku dan membuatku bersemangat untuk maju.

Akupun mengangguk tanda setuju. Setiap hari selesai sholat ashar, aku belajar dibimbing oleh bu Sinta. Beliau mengajarkan dengan sabar dan telaten. Aku diajari bagaimana cara membaca dengan benar dan juga berhitung dengan cara yang mudah kumengerti. Dua pekan sudah aku belajar dibimbing oleh bu Sinta. Membacaku sudah lancar dan aku juga sudah hafal perkalian dan pembagian dalam matematika. Rasanya aku sendiri tidak percaya, aku yang dulu dibilang bodoh, ediot, ternyata sekarang aku bisa seperti anak yang lain. Kedua mata pelajaran yang dulunya kubenci sekarang terasa mudah dan bisa kuikuti. Aku tidak malas lagi belajar dan mengerjakan PR yang diberikan oleh guru. Selain mengajar membaca dan berhitung, bu Sinta juga sering memberikan nasehat yang membuatku lebih bersemangat untuk berprestasi.

Tidak terasa sudah dua bulan aku bersekolah di sini. Aku mulai betah dan bisa mengikuti kegiatan yang ada di sekolah asrama ini. Matematika, Bahasa Indonesia dan juga pelajaran lain sudah bukan beban bagiku lagi. Aku sudah bisa disiplin, mandiri dan bergaul dengan teman-teman baruku. Bayangan dan ketakutan tentang sekolah asrama yang mengerikan, penuh hukuman, seperti penjara, ternyata sama sekali tidak kurasakan di sini. Kami dididik untuk hidup toleransi dan penuh kedamaian. Guru-guru mengajar dan membimbing dengan ketulusan dan penuh kesabaran.

Setelah 4 bulan di sekolah asrama ini, ayah dan ibu datang untuk menengok dan mengetahui perkembanganku. Kedua orang tuaku sangat senang melihat aku yang telah berubah menjadi lebih baik dan pandai dari sebelumnya. Prestasi yang lain juga kuperoleh di sini. Yaitu juara baca puisi dan memenangkan pertandingan bulu tangkis. Di sekolahku yang baru aku begitu semangat dan percaya diri. Semua berkat bimbingan guru-guruku. Terutama kasih sayang dan bimbingan dari bu Sinta. Bagiku bu Sinta adalah guru terbaik yang pernah kutemui. Apa yang sudah bu Sinta lakukan selama ini begitu berguna bagiku. Aku tidak bisa membalas kebaikannya. Aku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan berdoa semoga Allah SWT selalu melindunginya.

*Bionarasi*

Tri Setyawati. Lahir di Kebumen Jawa Tengah. Penulis adalah ibu dari dua anak dan menjalani keseharian sebagai pendidik. Jejak bisa ditemukan di akun Instagram tri_setyawati23. Motto: Kedewasaan akan terbina jika kita bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dan bukan lari dari tanggung jawab.

calendar
28 Nov 2023 02:43
view
75
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig