Empat tahun sudah aku menunggu datangnya si buah hati. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda juga kalau aku hamil, sementara teman-temanku yang menikah di tahun yang sama, sudah ada yang mempuyai dua orang anak. Kekhawatiran menyelimuti pikiran dan perasaanku. Rasa gundah dan ketakutan akan ditinggal suami pun menghantuiku. Pikiranku kalut, kacau, dan sering menyalahkan diri sendiri. Apalagi ditambah pertanyaan dari orang tua, mertua dan teman-teman saat bertemu denganku. “Kapan ya bisa nimang cucu?" "Udah lama kok belum isi juga!" "Si A sudah dua lho anaknya,” dan pertanyaan atau kata-kata lain yang terkadang melukai hati.
Setiap malam dalam sujudku, aku selalu berdoa, agar segera diberikan momongan. Berbagai usaha juga kami lakukan. Mulai tradisional hingga promil ke dokter kandungan. Tapi sampai tahun keempat, kami belum juga dipercaya menjadi orang tua. Dalam hati kadang muncul pertanyaan,” Mengapa aku belum bisa menjadi wanita yang sempurna seperti yang lain?”
Pagi itu aku duduk di teras rumah menunggu penjual sayur keliling. Kulihat seorang ibu berjalan dengan mengendong bayi dan menggandeng anaknya yang masih balita. Tak terasa air mataku menetes. Ada perasaan sedih tiba-tiba menyelinap di hatiku. Akupun menarik nafas dalam-dalam dan berusaha untuk menenangkan diriku. Ternyata Mas Pras memperhatikan dan segera menegurku.
“Jangan terus bersedih Dik, Kamu harus kuat!”, kata Mas Pras memberiku semangat.
“Besok pagi Mas mau ajak kamu jalan-jalan, biar kamu tidak bosan dan jenuh!”
“Ya, Mas, Ratri setuju, sudah lama ingin sekali jalan-jalan ke pantai!” kataku.
Minggu pukul 09.00, aku dan Mas Pras berangkat ke pantai di daerah Indramayu.
Karena hari libur, suasana pantai sangatlah ramai. Banyak anak-anak yang bermain pasir di pinggiran pantai. Melihat itu, kenapa aku jadi sedih lagi. Mas Pras segera menggenggam tanganku erat-erat dan menghiburku.
“Anak adalah titipan dari Allah, jika sampai saat ini kita belum diberi, berarti memang belum dipercaya,” katanya.
“Kita harus terus berusaha dan berdoa!” ujarnya terus menguatkanku.
“Sekarang kita makan dulu yuk!” ajaknya sambil mengandeng tanganku menuju ke sebuah warung di sekitar pantai.
Alhamdulillah, hatiku tenang kembali. Aku bersyukur mempunyai suami yang begitu dewasa dan sabar dalam membimbingku. Sambil menunggu soto yang kami pesan, aku membaca koran yang tadi kubeli saat berhenti di lampu merah. Tiba-tiba mataku tertuju pada kolom iklan yang menuliskan: “Bagi yang ingin cepat hamil, hubungi PO BOX 211” Disitu tertulis alamatnya di daerah Semarang. Aku pun menunjukkan iklan itu ke Mas Pras.
“Kalau kamu mau menghubungi PO BOX itu, ke Mas Widhi saja, rumahnya dekat alamat itu, sekarang kamu makan dulu sotonya, nanti keburu dingin,” ujar Mas Pras.
Akupun mengangguk dan segera menghabiskan soto yang sudah dihidangkan, karena perutku juga sudah lapar. Setelah dirasa sudah puas, kami pun pulang.
Setelah sampai rumah, aku langsung menghubungi Mas Widhi kakakku yang tinggal di Semarang. Ternyata alamat itu memang dekat rumahnya. Pagi harinya Mas Widhi menyampaikan kabar, bahwa dia sudah ke sana. Dia diberi tiga ramuan jamu godhog, satu sabuk magnetik dan buku panduan. Harga semuanya sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Dua hari kemudian, paket itu sampai di rumah. Segera kubuka dan kubaca buku petunjuknya. Kuikuti petunjuk dalam buku itu. Kupakai sabuk magnetik tiap hari dan juga kuminum jamu dua gelas sehari, tiap pagi dan sore.
Tidak terasa sudah satu bulan aku menggunakan sabuk magnetik dan juga minum jamu godhog. Kupasrahkan semuanya kepada Allah. Aku sudah ikhlas dengan yang Allah berikan, yang penting kami tidak putus asa dalam ikhtiar. Aku percaya bahwa keputusan Allah pasti yang terbaik.
Senin pagi, seperti biasanya aku ke dapur untuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk Mas Pras. Setelah sarapan siap di meja, kupanggil Mas Pras. Sudah kupanggil, tapi tidak juga menyahut, aku pun menjadi kuatir. Aku segera masuk ke kamar. Di kamar tidak ada, ternyata dia masih di kamar mandi. Kudengar suara orang sedang muntah-muntah. Aku menjadi kuatir dan segera mengetuk pintu kamar mandi. Mas Pras keluar dari kamar mandi, mukanya pucat. Dia bilang hari ini ijin tidak ke kantor, sedang tidak enak badan, kepala pusing, perut mual dan ingin muntah. Segera kubuatkan jahe hangat agar tidak mual lagi. Kusuapin sarapan, dan mengajaknya untuk istirahat di kamar agar nanti sehat kembali.
Sudah tiga hari Mas Pras tidak berangkat ke kantor. Hari ini aku menghubungi orang tuanya dan mengabarkan kondisi Mas Pras. Ayah dan ibunya segera datang. Merekapun sangat kuatir setelah diberitahu Mas Pras sakit. Ibunya masuk ke kamar dan mengusap kepala Mas Pras. Tiba-tiba Mas Pras terbangun dan memanggilku. Dia minta diantar ke kamar mandi. Ternyata dia mual dan ingin muntah lagi. Setelah kembali ke kamar dia bilang ke ibunya.
“Bu, bolehkah aku minta sesuatu ke Ibu?”
“Aku ingin nasi goreng pete, tidak boleh beli atau dibuatin orang lain, pokoknya Ibu yang harus bikin!” kata Mas Pras merengek kepada ibunya.
“Ih, kamu Pras, kaya orang ngidam saja, atau...jangan-jangan istrimu lagi hamil ya,” kata Ibu. Aku kaget mendengar perkataan Ibu. Mas Pras melirikku dan berkata,” Iya, barangkali Kamu hamil Ratri.”
Aku merasa baru tiga hari terlambat, dan badanku juga tidak merasa seperti orang yang sedang hamil. Tapi karena penasaran aku segera periksa sendiri dengan Test Pack yang memang sudah kusediakan. Ternyata benar, ada garis dua di Test Pack, berarti aku positif hamil.
“Ada dua garis biru Mas!” aku berteriak dari kamar mandi. Mas Pras segera berlari menyusul ke kamar mandi. Dia sudah lupa dengan sakitnya. Dia memelukku erat dan kami pun menangis bersama. Tangisan bahagia, ternyata Allah kabulkan permintaan kami.
Ibu pun mendekat dan memeluk kami berdua. Ibu terlihat sangat senang mendengar aku positif hamil. Kutunjukkan hasil Test Pack itu kepada Mas Pras dan Ibu. Mereka terlihat sangat bahagia.
“Untuk merayakan kehamilan Ratri, Ibu akan penuhi permintaan Pras yang ngidam nasi goreng pete!” ucap ibu dengan semangat. Kami pun tertawa mendengar ucapan Ibu. Mas Pras jadi malu, ternyata sakitnya selama tiga hari ini karena “ngidam” . Setelah makan nasi goreng pete buatan Ibu, Mas Pras sembuh dari sakitnya. Pagi harinya sudah berangkat ke kantor lagi. Hari selanjutnya kujalani dengan ceria dan kebahagiaan untuk menanti lahirnya si buah hati. Tepat jam 10.00 tanggal 05 Mei 2004 lahirlah bayi laki-laki yang selama ini kami nantikan. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur pada Allah yang telah memberikan amanat kepada kami dengan datangnya seorang anak. Semoga kami bisa mendidiknya menjadi anak yang sholeh dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Bionarasi*
Tri Setyawati. Lahir di Kebumen Jawa Tengah. Penulis adalah ibu dari dua anak dan menjalani keseharian sebagai pendidik. Jejak bisa ditemukan di akun Instagram tri_setyawati23. Motto: Kedewasaan akan terbina jika kita bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dan bukan lari dari tanggung jawab.