oranment
play icon
Penjahit dan Tata Rias Dinar
Cerpen
Kutipan Cerpen Penjahit dan Tata Rias Dinar
Karya Trisetyawati
Baca selengkapnya di Penakota.id

Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi penjahit dan membuka salon. Semua gara-gara Mas Wisnu. Karena Mas Wisnulah yang telah membuat cita-citaku kandas. Kami tiga bersaudara. Aku adalah anak kedua. Sebagai perempuan, mungkin orang melihatku tomboy. Kebanyakan temanku adalah laki-laki, karena aku sekolah di SMK jurusan tehnik pertambangan. Walaupun di kelas hanya tiga yang perempuan, aku tetap betah sekolah di situ. Semua seperti saudara, tidak pernah saling mengganggu.

Saat perpisahan kelulusan, temanku yang bernama Haris menarik dan mengajakku ke belakang panggung. Ternyata dia ingin menyampaikan sesuatu.

“Din, sekarang kan kita sudah lulus, aku ingin memberikan sesuatu untukmu!” kata Haris sambil menyerahkan bingkisan yang terbungkus kertas kado.

“Oh ya, nanti surat ini kau baca dan segera balas ya!” lanjutnya sambil menunjuk amplop warna merah jambu di atas bingkisan itu.

‘Terima kasih ya Ris, tapi aku tidak membawa hadiah apa-apa untuk kamu, besok saja ya, sekalian ku balas suratmu!” kataku berjanji untuk membalas suratnya.

Setelah pulang sekolah, aku sudah tak sabar lagi, ingin segera membuka hadiah dan surat dari Haris. Sampai di rumah, aku melihat di samping pagar ada sepeda motor warna biru. Ternyata teman Mas Wisnu. Mas Wisnu adalah kakak yang tertua. Dia yang bekerja membiayai sekolahku dan adikku Rani. Sebelum aku masuk kamar, Mas Wisnu memanggilku.

“Din, kenalkan teman Mas nih, namanya Mas Hadi!” ujar Mas Wisnu.

Aku pun mendekat dan berkenalan. Menurutku Mas Hadi terlihat dewasa, lumayan ganteng, tapi aku kurang suka karena dia terlihat seperti bapak-bapak, apalagi saat itu dia memakai baju batik. Setelah berkenalan, aku segera masuk ke kamar.

Aku segera membuka hadiah dari Haris, ternyata isinya Sweater warna maroon kesukaanku. Kemudian kubaca suratnya. Isinya adalah pernyataan cintanya padaku. Aku tersenyum sendiri, tak kusangka diam-diam Haris suka padaku. Dalam surat itu, Haris mengajakku untuk melanjutkan kuliah ke Malang. Di sana ada saudaranya yang mempunyai usaha pertambangan. Aku juga akan diajak untuk melamar kerja di sana. Saat aku masih senyum-senyum sendiri membaca surat dari Haris, tiba-tiba pintu kamarku diketuk dan terdengar suara Mas Wisnu memanggil.

“Din, ayo makan, sekalian ada yang ingin Mas bicarakan,” kata Mas Wisnu dari luar kamar.

Aku buru-buru menyimpan surat dan hadiah dari Haris, lalu segera keluar kamar, menuju meja makan.

Setelah selesai makan, Mas Wisnu mengajakku duduk di ruang tamu. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.

“Din, kamu sepenuhnya adalah tanggung jawab Mas, karena bapak dan ibu sudah tidak ada,” kata Mas Wisnu. Aku jadi sedih mendengar bapak dan ibu disebut-sebut.

“Tadi siang, Mas Hadi bilang, ingin serius dengan kamu, dia ingin menjadikanmu istrinya,” ujarnya.

“Selama ini, keluarga kita banyak berhutang budi kepada keluarga Mas Hadi.”

“Apalagi, Masmu ini, dulu bingung cari kerja, akhirnya dibantu oleh Mas Hadi sehingga bisa bekerja di kantor dan bisa membiayai kamu dan Rani. Semoga kamu setuju, ya Din!” Mas Wisnu terus membujukku.

Aku diam dan tidak segera menjawab. Baru saja aku menerima ajakan Haris untuk kuliah dan bekerja di Malang, tapi sekarang aku harus memutuskan untuk menjadi istri Mas Hadi, teman Mas Wisnu yang baru kukenal. Selama ini aku tidak tahu bahwa keluarga Mas Hadilah yang telah banyak membantu keluargaku.

Tiga hari kemudian Mas Hadi dan orang tuanya datang ke rumah untuk melamarku. Aku sayang sekali kepada Mas Wisnu dan tidak ingin melihatnya kecewa. Aku pun akhirnya menerima lamaran itu. Saat itu usiaku 18 tahun dan Mas Hadi 30 tahun. Acara pernikahan dirayakan dengan sederhana, tanpa mengundang teman-temanku. Tapi akhirnya mereka tahu juga dan beberapa ada yang ke rumah mengucapkan selamat.

“Oh ya, ini ada surat dari Haris!” kata Wati sambil memberikan amplop putih. Kubuka dan kubaca surat itu.

“Selamat menempuh hidup baru, semoga bahagia. Sekarang aku pamit.” (Haris)

Tiba-tiba ada tetesan air mengalir di pipiku. Aku merasa bersalah. Aku berjanji akan memberikan hadiah dan membalas suratnya, tapi aku malah menikah dengan orang lain. Tapi sudahlah, semua telah terjadi. Aku sudah menerima Mas Hadi sebagai suamiku, maka aku harus bisa melupakan Haris. Mungkin ini takdirku telah berjodoh dengan teman kakakku.

Tak terasa, sudah 15 tahun aku berumah tangga dengan Mas Hadi. Aku sudah diberikan tiga anak. Yang pertama kelas 9, yang kedua kelas 7, dan yang ketiga kelas 5 SD. Untuk membantu kebutuhan rumah tangga, aku membuka toko kelontong di depan rumah. Alhamdulillah, tokoku cukup laris. Tapi, tidak kuduga sama sekali, pagi pukul 04.00, kudapati tokoku terbuka dan barang daganganku ludes dijarah pencuri. Saat itu Mas Hadi sedang di luar kota, hanya aku dan anak-anak yang di rumah. Aku syok, menangis, dan meratapi yang terjadi. “Mengapa Allah mengujiku seperti ini?”batinku.

Mas Hadi segera pulang mendengar berita itu. Dia segera melapor ke polisi peristiwa itu. Aku harus mengikhlaskan semua yang terjadi dan harus bisa berbesar hati.

“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi, Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik dari ini !” nasehat Mas Hadi kepadaku. Akhirnya aku pun jadi tenang dan bisa menerima ini semua sebagai ujian dan pelajaran dalam hidupku.

Atas saran Mas Hadi, aku mengikuti kursus menjahit dan tata rias di sebuah Lembaga Pendidikan di kotaku. Awalnya aku sangat canggung, karena aku terbiasa seperti laki-laki, tapi sekarang menekuni usaha yang mengharuskan aku bersikap feminim. Ternyata dengan ketekunan aku pun bisa menyelesaikan kursusku.

Selesai kursus dan dinyatakan lulus, aku membuka usaha jahit pakaian wanita dan tata rias. Ku pasang plang di depan rumah “Penjahit dan Tata Rias Dinar”. Alhamdulillah, usahaku lancar. Dengan banyaknya orderan, akupun mencari karyawan. Awalnya hanya 2 karyawan yang membantu usaha jahitku dan 1 orang di salon. Aku sangat bersyukur kepada Allah. Awalnya merasa tidak berbakat, tapi dengan terus belajar ternyata jadi berbakat.

Lima tahun sudah aku membuka usahaku. Kini aku sudah memiliki 20 karyawan. Salonku pun semakin maju. Aku sering diundang di acara hajatan, untuk merias pengantin. Ternyata berkat ketekunan, kesabaran, dan usaha keras sekarang aku bisa menikmati hasilnya.

Anak pertamaku sudah masuk kuliah. Ternyata dia memilih jurusan Tata Busana di Universitas di Yogyakarta. Dia ingin menjadi desainer dan ingin mengembangkan usahaku. Sambil kuliah dia membuat gambar desain pakaian dan dijahit oleh karyawanku. Hasil karyanya kupajang di salonku. Ternyata banyak yaang suka. Akhirnya akupun menambah ruangan lagi, khusus menjual pakaian jadi yang didesain anakku.

Hari Minggu pagi, kulihat sebuah mobil parkir di depan rumahku. Aku buru-buru keluar. Ternyata Mas Wisnu sekeluarga yang datang. Aku sangat senang, karena sudah lama tidak bertemu Mas Wisnu. Aku segera menyalami mas Wisnu dan istrinya. Kuajak mereka masuk ke rumah. Mas Wisnu dan istrinya masuk dan keliling melihat-lihat usahaku.

“Din, gimana, nyesel tidak nikah sama Mas Hadi!” kata Mas Wisnu tiba-tiba. Aku jadi malu dibuatnya.

“Ternyata pilihan Mas Wisnu tepat!” kataku sambil tersenyum dan mengacungkan jempol. Semuanya tertawa mendengar jawabanku.



Bionarasi*

Tri Setyawati. Lahir di Kebumen Jawa Tengah. Penulis adalah ibu dari dua anak dan menjalani keseharian sebagai pendidik. Jejak bisa ditemukan di akun Instagram tri_setyawati23.

calendar
04 Dec 2023 23:56
view
50
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig