Aku mengenalnya tiga tahun yang lalu. Karena ayahku pindah tugas ke Jakarta, aku dan kakak harus ikut pindah sekolah juga. Sebenarnya aku sudah betah di Lembang, tempatnya sejuk dan asri. Tapi mau tidak mau aku harus tetap ikut orang tuaku, karena di Lembang aku tidak punya saudara dekat.
Pagi itu ditemani Bu Marni, aku memasuki kelas XI MIPA A. Beliau memperkenalkan aku sebagai murid baru di kelas itu. Setelah perkenalan, aku disuruh duduk di kursi kosong yang terletak di barisan tengah.
“Duduklah di samping Hana!” kata Bu Marni sambil menunjuk kearah satu-satunya kursi yang kosong di kelas itu.
Aku pun segera melangkah dan berjalan ke kursi di samping Hana. Baru sampai di meja kedua, terdengar suara berbisik dan terkesan genit.
“Hai manis…selamat datang!” sapa seorang laki-laki sambil mengedipkan satu matanya.
Aku tak menjawab, tapi terus melangkah ke bangku kosong yang ditunjuk oleh Bu Marni. Hana tersenyum menyapaku dan memberi salam perkenalan.
“Selamat datang, aku Rayhana, panggil saja Mbak Hana, karena aku paling tua di kelas ini!” katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Semoga kau bisa jadi sahabatku, dan aku akan selalu melindungimu!” ujarnya.
Aku pun membalas uluran tangannya dan memperkenalkan diriku. Aku sangat senang karena langsung mendapatkan sahabat di sekolah yang baru. Saat istirahat, Mbak Hana mengajakku ke kantin dan aku pun mengangguk setuju. Saat Mbak Hana ke Toilet, aku pun duduk sendiri sambil menikmati bakso yang sudah disuguhkan.
Tiba-tiba ada seseorang yang menegurku sambil mencolek bahuku dari belakang. Aku kaget dan menoleh. Laki-laki itu malah tersenyum dan menggodaku.
“Hai manis, sendirian nih, Abang temani yah!” katanya sambil duduk di depanku.
Aku bingung dan merasa takut dengan laki-laki itu. Untung Mbak Hana segera datang. Dia membentak dan mengusir laki-laki tersebut.
“Hai Ton, jangan sekali-kali berani mengganggu Sarah!”teriak Mbak Hana dengan keras.
“Kalau berani mengganggu, kau akan berhadapan denganku!” lanjutnya sambil mengepalkan tangan di depan wajah Toni.
Toni segera pergi ketakutan melihat Mbak Hana marah seperti itu. Dia tidak berani karena pernah ditonjok oleh Mbak Hana saat hendak mengganggu temanku yang lain. Aku sangat berterima kasih kepada Mbak Hana. Dia bak pahlawan bagiku. Dari hari ke hari aku tambah akrab dengan Mbak Hana. Dia kuanggap sebagai sahabat sekaligus kakak perempuan bagiku.
“Rah, Mbak ingin main ke rumahmu, bolehkah?” tanya Mbak Hana sebelum bel sekolah berbunyi.
Aku pun menjawab dengan anggukan dan senyum gembira. Setelah bel berbunyi, kami pulang bersama ke rumah. Aku dibonceng sepeda motor oleh Mbak Hana. Aku berpegangan erat di pinggang Mbak Hana, karena dia naik sepeda motor agak kencang. Mbak Hana terlihat agak canggung saat kupegang pinggangnya. Tapi dia tetap membiarkan dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Sampai di rumah, aku menyuruh Mbak Hana untuk masuk kamar dan istirahat dulu. Mbak Hana menolak dan maunya di ruang tamu saja. Aku agak heran, tapi biarlah karena itu keinginannya. Dia menunggu di ruang tamu, sementara aku masuk ke kamar untuk meletakkan tas sekolah dan berganti pakaian. Aku keluar sambil membawa minum dan makanan kecil untuknya. Jam tiga sore Mbak Hana pamit pulang. Kutarik tubuhnya dan kupeluk erat, rasanya aku berat sekali ditinggal pulang oleh Mbak Hana. Mbak Hana tidak berkata apa-apa dan melepaskan pelukanku pelan-pelan. Kemudian dia menuntun sepeda motor dan menaikinya. Dia melambaikan tangan kepadaku dan aku pun membalasnya.
Tidak terasa sudah tiga bulan aku bersekolah. Berarti sudah seumur itu persahabatanku dengan Mbak Hana. Tapi pagi itu, Mbak Hana tidak terlihat di kelas. Tidak ada pemberitahuan sama-sekali mengapa dia tidak masuk sekolah. Aku pun sedih dan bertanya-tanya mengapa dia tidak masuk sekolah. Tiba-tiba saat rehat ada anak kelas sebelah yang masuk dan menemuiku.
“Ini ada surat dari Hana untukmu!” katanya sambil memberikan lipatan kertas kecil kepadaku.
Aku segera membuka dan membacanya. Ternyata dalam surat itu tertulis pesan “Temui aku di RS Permata Ruang Satria 113”. Aku ragu dan bertanya dalam hati “Bukannya Ruang Satria untuk Laki-laki?”. Tapi untuk menghilangkan rasa penasaran dan keraguanku, setelah pulang sekolah, aku bergegas ke alamat yang diberikan.
Aku berjalan di koridor rumah sakit Permata. Suasana di situ telihat lengang, hanya satu dua orang penunggu berada di bangku panjang di depan kamar pasien. Aku sudah sampai di depan kamar 113, di situ tertulis: Rayhana (18 th). Pelan-pelan aku masuk dan ucapkan salam.
“Waaalaikum salam…masuklah Rah, ini aku, Hana!” ada seseorang yang menjawab.
Aku masuk dan kulihat seseorang yang sebelumnya kukenal, tapi sekarang sudah berubah tidak seperti yang kemarin. Rambutnya tidak panjang lagi tapi pendek layaknya seorang laki-laki. Aku malah terdiam dan bingung tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya dialah yang bercerita.
“Inilah aku yang sebenarnya Rah, aku adalah seorang lelaki. Karena keinginan orang tuaku mempunyai anak perempuan, dari kecil aku diberi dandanan layaknya perempuan!” cerita Hana dengan wajah sedih.
“Allah telah menunjukkan kekuasaanNya, aku menderita sakit hernia, dan harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri bingung, apa yang harus kukatakan pada semua orang?” lanjutnya.
Pelan-pelan akhirnya aku bisa berpikir jernih. Aku katakan padanya agar kembali pada jati diri yang sebenarnya. Kembali pada kodratnya sebagai laki-laki.
“Kamu harus jadi dirimu yang sebenarnya, yaitu seorang lelaki!” kataku memberikan semangat padanya.
“Kamu tetap jadi sahabatku dan sekarang aku akan memanggilmu Mas Ray!” ujarku sambil tersenyum.
Dia pun akhirnya ikut tersenyum dan berjanji akan kembali kepada kodratnya.
Bionarasi*
Tri Setyawati. Lahir di Kebumen Jawa Tengah. Penulis adalah ibu dari dua anak dan menjalani keseharian sebagai pendidik. Jejak bisa ditemukan di akun Instagram tri_setyawati23