Hei, Hujan!
Mengapa, mengapa kau menetes kini?
Tak bisakah kau jatuh di lembar hari yang lain?
Mengapa harus hadir di detik yang begini?
Apakah ada rumah yang menangis, dilahap api di ujung bumi sana?
Ataukah nyanyian katak, lirih memohon agar ular tak menelan senyapnya?
Mungkinkah dua puluh petani, dengan doa di telapak tangannya,
memanggilmu turun sebagai penawar dahaga lahannya?
Jawab, Hujan! JAWAB!
Tahukah kau, derasmu menghalangi langkahku kepadanya,
seseorang yang senyumnya kulihat sebagai obat penenang rindu di dada?
Tahukah kau, rintikmu merenggut hangat tawaku bersama mereka?
Aku bertanya, wahai langit yang menangis,
apakah rinduku seberat awanmu yang pekat?
Atau mungkinkah keinginan kecilku tak cukup
untuk kau abaikan walau hanya sekejap?
Maaf, Hujan.
Jika amarahku menusuk suaramu yang lirih,
Jika kecewaku menghardik wangi tanah setelahmu.
Tapi untuk saat ini, izinkan aku membencimu—
sebab rintikmu, adalah jarak bagiku.
-a.peace