Judul Buku: Kristologi Islam: Telaah Kritis Kitab Rad al-Jamil karya Al-Ghazali
Penulis: Waryono Abdul Ghafur, M.Ag.
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2006 (Cet. 1) & 2012 (Cet. 2)
Tebal: v-x + 194 hlm.
ISBN: 979-2458-37-9
Latar belakang penulisan buku ini, berawal dari pandangan Alquran yang mengkritik keyakinan umat Kristen, yang dianggap telah menyimpang dari kebenaran realitas ketuhanan (Q.S. 4: 171-2; 17: 72; 5: 116; 112: 1-4).
Bagi Waryono Abdul Ghofur (penulis buku), sebenarnya setiap agama sama-sama memiliki persepsi, bahwa agama yang dianutlah yang terbaik dan benar. Sebab bila tidak demikian, maka agama akan kehilangan daya tarik oleh penganutnya. Oleh karenanya, hal yang biasa terjadi antar agama adalah kontestasi dalam membela kebenaran akan keyakinannya masing-masing.
Terkait figur Al-Ghazali (1059-1111 M), ada yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang ensiklopedis, ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang polymathy (orang yang ilmunya bermacam-macam) (h. 62-63). Singkatnya, al-Ghazali mempelajari dan mendalami banyak ilmu.
Ghafur ingin melihat Kristologi dalam sudut pandang logos Muslim dengan memilih tokoh Imam al-Ghazali yang meskipun populernya disebut sebagai Hujjatul Islam, beliau juga disebut sebagai Kristolog Islam. Pandangannya mengenai hal ini tertuang dalam kitabnya al-Radd al-Jamil li Ilahiyyati Isa bi Sarih al-Injil (1992).
Sekilas Pandang Kristologi
Kristologi terdiri dari dua unsur kata, yakni Kristus dan Logos. Yang berarti ilmu (pengetahuan) tentang Kristus atau Logos mengenai tentang Kristus. Kristologi juga biasa disebut sebagai Yesuologi, karena pusat kepercayaan Kristen ada dalam pribadi Yesus.
Kristologi berawal dari pernyataan Yesus yang diajukan kepada murid-muridnya, siapakah Aku ini menurut pendapat kalian. Dan salah satu muridnya, Petrus, menjawab; “Mesias dari Allah” (Lukas 9: 20).
Pembicaraan mengenai hakikat pribadi Yesus mulai muncul sebagai sosok yang kontroversial, terutama pada abad IV M yang dipertemukan sekitar 300 Uskup atau Bishop dari berbagai daerah. Pertemuan ini disebut sebagai Konsili Nicea yang dilaksanakan pada tanggal 19 Juni – 25 Agustus 325 M (h.102). Abad ini bisa disebut sebagai embrio pertumbuhan ideologi Kristen.
Terdapat empat tahap sejarah Kristologi, yaitu tahap awal (masa kebudayaan Yunani-Romawi), tahap abad pertengahan, tahap reformasi, dan tahap kini. Hal ini membuktikan bahwa Kristologi tidaklah bersifat tunggal.
Sumber yang dijadikan pedoman dalam Kristologi ada tiga, yaitu Bible atau Alkitab, Risalah atau Surat-surat Rasul, dan beberapa hasil Konsili.
Bible atau Alkitab
The Bible (Alkitab) mempunyai dua bagian utama; Perjanjian Lama (The Old Testament) dan Perjanjian Baru (The New Testament).
Perjanjian Lama (PL) biasa disebut sebagai Septuaginta atau Septante dalam bahasa Yunani, yang berarti 70 atau 72 orang dilambangkan dengan LXX. Masa penulisan PL menghabiskan waktu yang panjang dan lama, yaitu lebih dari Sembilan abad, dimulai dari abad XI SM, di mana ketika itu terbentuknya monarkhi Yahudi.
Ada empat sumber PL; Dokumen Elohist, Dueteronomy, Kitab Ulangan, dan Code Sakerdotal.
PL terdiri dari 39 kitab dan satu surat (surat Amthal Sulaiman), perinciannya: (1) Kitab Sejarah yakni Kitab Musa yang terdiri dari Kejadian, Keluaran, Imamad, Bilangan, dan Ulangan ditambah dengan kitab Kisan pada Rasul dan mulai Yosua sampai Ester. (2) 12 Kitab Profetis yakni mulai Hosea sampai Molekhi. (3) 13 Kitab Puisi-puisi Keagamaan dan Kesusastraan terkait kebijaksanaan mulai dari Ayub sampai Syi’rul Asyar.
Perjanjian Baru (PB) merupakan hasil kreasi setelah masa Yesus, yang dimulai pada abad 11 M. Fase ini ditandai sebagai masa pemisahan Kristen dari agama Yahudi dan Yahudi-Kristen (Judeo-Christianism).
Meskipun merupakan kelanjutan dari PL, PB memiliki beberapa faktor yang tidak bisa dijadikan satu dengan PL, yaitu (1) perbedaan bahasa (PB dari bahasa Yunani sedangkan PL dari bahasa Ibrani atau Arami), (2) perbedaan budaya (PB tumbuh di perbatasan budaya Oriental dan Hellenis sedangkan PL hasil budaya Timur Tengah kuno), dan (3) perbedaan orientasi pembahasan (PB hanya berpusat pada satu individu sedangkan PL berurusan dengan bangsa Yahudi).
Pengumpulan dokumen PB mengalami sejarah yang hampir sama dengan PL, yaitu proses sejarah yang panjang. Pada mulanya PB merupakan catatan-catatan para Rasul atau surat-surat Paulus yang dikirim ke beberapa daerah Kristen. Sebelum PB dikanonkan menjadi kitab suci, diperlukan 300 atau 400 tahun agar bisa diterima oleh kalangan luas.
Meskipun pada saatnya PB sudah diresmikan menjadi kitab suci, doktrin mengenai satatus Yesus diinterpretasikan dengan jalan ijtihad dan ijma’ (konsensus) bukan mengacu kepada kitab suci mereka.
Terdapat empat Injil kanonik yang dipercaya sebagi Injil yang paling otentik diantara Injil-injil yang ada sebelumnya. Empat Injil inilah yang nantinya dibukukan dalam PB, diantaranya: Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes. Ketiga Injil yang pertama disebut sebagi Injil Sinoptik, yang artinya terdapat kemiripan antara Injil satu dengan lainnya. Bedanya dengan Injil Yohanes, terdapat pernyataan tegas mengenai ketuhanan Isa yang tidak dijumpai dalam Injil sebelumnya.
Risalah atau Surat-surat Paulus
Surat-surat ini merupakan pelengkap bagi empat Injil yang tidak terpisahkan dalam PB. Terdapat 23 surat dengan perincian: 14 risalah Paulus, 3 risalah Yohanes, 1 risalah Lukas, 1 risalah Yakub, 2 risalah Petrus, 1 risalah Yahuda, dan wahyu Yahya.
Dalam risalah-risalah tersebut terdapat suatu penjelasan mengenai ketuhanan Isa, sebagaimana disebutkan dalam surat Paulus untuk penduduk Roma, 10: 9, 16: 18:
“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan dia dari kematian, maka kamu akan diselamatkan. Karena orang yang semacam itu bukannya berketuhanan kita, yaitu Kristus, melainkan bertuhankan perutnya sendiri (baca juga 1 Konrintus 8: 60 dan Yahuda 1: 14).”
Konsili (Christian Councils)
Konsili merupakan musyawarah besar para Uskup atau tokoh-tokoh Kristen untuk meneliti dan kemudian mengambil sikap dan keputusan terkait tentang hal-hal teologis, tata tertib, tindakan pastoral, dan administratif.
Ada dua macam Konsili, yaitu Konsili umum atau ekumenik yang dihadiri oleh beberapa wakil dari berbagai gereja dunia dan Konsili setempat yang hanya dihadiri oleh tokoh-tokoh gereja setempat.
Meskipun dalam Injil Yohanes dan surat Paulus terdapat pernyataan ketuhanan Isa, namun tampaknya hal itu belum menjadi kesepakatan bulat yang menjadi dogma kepercayaan Kristen. Tarik-menarik mengenai apakah Yesus itu Tuhan atau Manusia Tuhan menjadi sebab pertama internal diadakannya Konsili.
Menurut sejarawan, sampai tahun 1869/1870 M telah terjadi sekitar 20 kali Konsili (h.100): Konsili Nicea (325 M), Konsili Konstantinopel I (381 M), Konsili Efesus (431 M), Konsili Chalcedon (451 M), Konsili Konstantinopel II (553 M), Konsili Konstantinopel III (680-681 M), Konsili Nicea II (787 M), Konsili Konstantinopel IV (869-870 M), Konsili Lateran I (1123 M), Konsili Lateran II (1139 M), Konsili Lateran III (1179 M), Konsili Lateran IV (1215 M), Konsili Lyons I (1243 M), Konsili Lyons II (1274 M), Konsili Vienne (1311-131 M), Konsili Kontanzt (1414-1418 M), Konsili Basel-Ferrara-Florens (1431-1445 M), Konsili Lateran V (1512-1517 M), Konsili Trento (1543-1563 M), dan terakhir Konsili Vatikan I (1869-1870 M).
Menurut Ghafur, hasil keputusan Konsili lebih banyak tidak berpijak pada ajaran kitab suci, baik PL maupun PB. Pembahasan dari mulai PL sampai Konsili Vatikan I memperlihatkan dinamika pergulatan dunia Kristen dalam merumuskan teologinya, yang pada akhirnya dirumuskannya Trinitas atau Tritunggal.
Rumusan Trinitas adalah Tuhan Bapa, Yesus Kristus, dan Ruhul Kudus. Ketiga-tiganya berpribadi, tapi esa dalam ketuhanannya. Trinitas adalah one substance three persons. Tuhan Bapa tidak dibuat, dicipta atau diperanakkan dan berada di atas manusia, Tuhan Anak tidak dijadikan dan selalu beserta manusia, dan Ruhul Kudus tidak dibuat, dicipta, dan diperanakkan melainkan keluar dari Bapa. Sedangkan Anak merupakan Tuhan yang berada dalam diri manusia (h.111-2).
Dikarenakan Isa (Yesus) bukan hanya milik umat Kristen, tetapi juga diakui dalam dunia Islam, maka menurut Ghafur, sumber Kristologi bisa ditambahkan dengan sumber Islam, yakni Alquran dan Hadis (h.75). Sehingga muncullah istilah Kristologi Islam yang menjadi pokok pembahasan dalam buku ini.
Istilah Kristologi Islam sebenarnya sudah muncul pada tahun 1976, yang diperkenalkan oleh Mahmoud Ayoub dalam dua artikelnya yang dipublikasikan dalam Jurnal Muslim World; “Toward an Islamic Christology: an Image of Jesus in Early Shi’i Muslim Literature” dan “Toward an Islamic Christology, II: The Death of Jesus, Reality or Delusion”.
Kristologi Al-Ghazali
Di masa al-Ghazali, Kristen sudah terpecah menjadi dua kelompok besar, Ortodoks Timur-Yunani dan Kristen Barat-Romawi. Dalam sejarahnya, kedua sekte tersebut saling beradu domba mempertahankan doktrin yang mereka yakini tentang keesaan Tuhan. Hal ini pun menjadi motivasi al-Ghazali untuk menyumbangkan pemikirannya mengenai keesaan Tuhan sebagaimana yang diimani oleh umat Kristen.
Meskipun dogma Kristen itu dirasa misterius, Ghafur menegaskan, bahwa kepercayaan yang berlaku secara umum di dunia Kristen adalah Yesus itu Tuhan yang sebenar-benarnya.
Ketuhanan Yesus digambarkan melalui proses diperanakkan dan inkarnasi Tuhan dalam dirinya. Tuhan bersemayam dan bersetubuh dalam diri Yesus, sehingga yang ada adalah manifestasi tunggal mewujud Tuhan Yang Esa.
Menurut Mun’im Sirry di salah satu forum, harus dibedakan antara frase “Yesus itu Tuhan” dan “Tuhan itu Yesus”. Apabila Yesus itu Tuhan, maka interpretasi yang muncul adalah bahwa Tuhan masih bersifat tidak terbatas. Bisa saja frase itu diubah menjadi Muhammad itu Tuhan atau sebagaimana keyakinan Syiah ekstrem, bahwa Imam Ali bin Abi Thalib atau Imam Ja’far al-Shadiq adalah Tuhan. Namun apabila Tuhan itu Yesus, maka mereka telah membatasi Tuhan. Dan itu tidaklah logis, karena realitasnya Tuhan itu tidak bisa dijangkau oleh panca indera dan tidak terbatas. Singkatnya, Sirry menghormati keyakinan “Yesus itu Tuhan”.
Formula ketuhanan Kristen yang dirumuskan melalui beberapa Konsili, maka sampai masa al-Ghazali telah terjadi 8 kali Konsili, sedangkan sampai masa Alquran telah terjadi 5 kali Konsili.
Al-Ghazali dalam kitabnya menyatakan keprihatinannya kepada umat Kristen yang menyatakan bahwa Yesus sebagai Tuhan dari tiga oknum atau persona (Trinitas) merupakan keputusan yang lemah pondasinya:
“Sesungguhnya saya telah mengetahui beberapa pembahasan orang Nasrani mengenai akidah mereka yang sangat lemah pondasinya, lumpuh kekuatannya, dan tidak bagus caranya... Mereka tidak memiliki upaya kecuali dengan taklid buta, memegang lahiriah teks seperti yang diajarkan oleh generasi sebelumnya dan mereka tidak bangkit menjelaskan kemuskilan tersebut, karena mereka menduga bahwa itulah syari’at yang Isa ajarkan kepada mereka. Mereka meyakini sebagaimana teks lahiriah dengan asumsi bahwa nash-nash tersebut tidak dapat dita’wil. Keluar dari makna lahiriah adalah sesuatu yang sulit”.
Terdapat dua faktor yang menurut al-Ghazali orang Kristen menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh Isa, yaitu faktor taklid buta kepada para Pendeta atau Uskup dan berpegang pada makna literal teks (hard textualism).
Menurut al-Ghazali, dalam tradisi Islam terdapat paradigma taklid buta yang dipegang oleh kaum Bathiniyyah (Syiah). Umat Muslim Syiah ketika ingin mendapatkan kebenaran, mereka harus mendekat pada kebenaran. Dan kebenaran yang mereka yakini adalah para Imam Syiah. Bagi al-Ghazali, meyakini kebenaran kepada para Imam tidaklah memuaskan, karena keterbatasan pengetahuan manusia sudah umum diketahui dan tidak bisa dijadikan pegangan.
Untuk menjelajah kebenaran itu sendiri manusia harus menyelami kebenaran itu sendiri. Teks-teks agama melahirkan 1001 tafsir, filsafat melahirkan spekulasi, dan percaya kepada orang hanya melahirkan taklid yang tidak jelas. Oleh karenanya, kebenaran yang pasti hanya ada dalam diri sendiri dengan mengalaminya sendiri. Begitu kata bapak Fahruddin Faiz dalam ceramahnya, Ngaji Filsafat ketika menjelaskan pemikiran Imam al-Ghazali.
Sedangkan pembahasan mengenai literal teks, al-Ghazali menjelaskan terdapat tiga macam teks: (1) mubayyan, yaitu suatu kata yang hanya mengandung satu makna dan tidak bisa dita’wil, (2) mujmal, yaitu kata yang mengandung lebih dari satu makna tanpa adanya indikasi makna yang lebih kuat diantara makna-makna yang ada, dan (3) zahir, yaitu kata yang mengandung lebih dari satu makna dan terdapat satu indikasi makna yang lebih tampak dan sesuai dari makna lainnya (h.146).
Al-Ghazali menegaskan, bahwa untuk memahami suatu makna haruslah rasional, apabila makna rasional tidak didapat maka perlu dilakukan metode reflektif-intuitif atau yang lazim disebut mukasyafah.
Metode yang dimaksud al-Ghazali tiada lain cenderung kepada usaha penta’wilan daripada penafsiran. Karena baginya, tafsir hanyalah menerjemahkan bahasa ke bahasa lainnya yang semakna. Sedangkan ta’wil, menjelaskan kata setelah menepikan makna eksplisitnya. Namun untuk menuju penta’wilan suatu teks membutuhkan keahlian yang mendalam tentang ilmu bahasa dan tradisinya dalam segala aspek.
Terkait kritik al-Gahazali tentang dogma Kristen, beliau membagi 3 pokok pembahasan: (1) mengurai teks-teks Injil tentang ketuhanan Yesus, (2) penjelasan Lahut dan Nasut sebagai upaya memahami salah satu doktrin Kristen mengenai inkarnasi melalui proses hulul dan ittihad, dan (3) menjelaskan beberapa gelar Isa dan Tuhan.
Yesus (Isa) Dalam Teks-Teks Injil Perspektif Al-Ghazali
Dalam Yohanes 10: 30-36; (30)“Aku dan Bapa adalah satu. (31) Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. (32) Kata Yesus kepada mereka: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?”
(33) Jawab orang-orang Yahudi itu: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah. (34) Kata Yesus kepada mereka: “Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: kamu adalah allah?
(35) Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah – sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan – , (36) masihkan kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! karena Aku telah berkata Aku Anak Allah?
Menurut al-Ghazali, seharusnya orang-orang Yahudi menangkap kalimat “Aku dan Bapa adalah satu” dipahami sebagai makna majazi, bukan hakiki. Isa adalah orang suci yang mendapat amanah dari Tuhan kepada alam. Kedudukannya itu membuat Isa sangat dekat dan menyatu dengan Tuhannya, sehingga yang diperbuatnya seolah-olah adalah perbuatan Tuhan. Itulah yang dikehendaki oleh Isa.
Dalam Yohanes 17: 11; “Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita”.
Teks ini menggambarkan usaha Isa untuk melindungi keselamatan kaumnya. Teks ini pun harus dipahami secara metafor (majazi). Pemahaman kalimat “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” akan salah kaprah bila dipahami secara literal. Maka konsekuensi logisnya, mereka juga mempunyai sifat ketuhanan sebagaimana Isa, sehingga akan memunculkan banyak Tuhan.
Untuk menguatkan argumen di atas, al-Ghazali mengutip pernyataan Paulus yang dikirim oleh penduduk Korintus: “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia” (1 Korintus, 6: 17). Analogi dari pernyataan ini adalah bahwa jika seseorang memiliki sahabat yang sangat dekat dan setia hingga seia sekata, maka akan muncul ungkapan seperti `Engkau dan Aku adalah satu`.
Dalam Yohanes 17: 17-22, terdapat ungkapan yang sama dengan teks sebelumnya, yang memiliki makna seolah-olah Isa menyatu dengan dan menjadi Tuhan. Hal ini juga harus dipahami secara metafor.
Ungkapan, “Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu” (Yoh. 17: 22) menunjukkan bahwa kemuliaan yang dianugerahkan menuntun untuk mencintai apa yang dicintai oleh Tuhan, membenci apa yang dibenci-Nya dan berkehendak sebagaimana kehendak-Nya sehingga seperti satu orang karena tidak ada perbedaan pikiran, perbuatan, dan keyakinan-Nya.
Menurut Ghafur, kritik al-Ghazali tersebut tampaknya ditujukan kepada paham Monofisitisme yang berpendapat bahwa setelah melakukan proses hulul dan ittihad, dua hakikat (Tuhan dan Yesus) menjadi satu, sehingga segala aktifitas yang muncul darinya, hanya dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan Kristus. Sekte ini banyak berkembang setelah Konsili Chalcedon pada tahun 451 M.
Di ayat yang lain, Markus 13: 32, al-Ghazali menjelaskan tentang kemanusiaan murninya Isa. Dalam ayat tersebut, Isa menegaskan bahwa ketika disebut Bapa, maka yang dimaksud itu adalah Tuhan.
Dalam Yohanes 17: 1-4 Yesus menjelaskan dirinya hanyalah sebagai rasul yang tidak memiliki kekuatan apapun kecuali atas pertolongan-Nya. Penjelasan tersebut diperkuat oleh al-Ghazali dengan mengutip pernyataan Paulus yang dikirim kepada penduduk Korintus (1 Korintus, 15: 28) yang menjelaskan bahwa Yesus tunduk kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas segalanya.
Penjelasan serupa juga ditegaskan oleh Paulus dalam suratnya kepada penduduk Efesus (1: 16-17) di mana Paulus menyifati Tuhan dengan Bapa dan menjadikannya Tuhan bagi Yesus.
Pernyataan lain yang menegaskan bahwa Yesus adalah manusia sebagaimana manusia yang lain dan ia diutus sebagai rasul sebagai penyambung lidah Tuhan terdapat pada ayat I Timotius, 2: 6, Matius 23: 9-10, dan Yohanes 11: 14.
Beberapa pernyataan al-Ghazali tersebut, dikomentari oleh Ghafur, bahwa al-Ghazali memandang Isa dari dua titik tolak; Pertama, ia memandang bahwa Isa hanyalah manusia pada umumnya yang memiliki sifat lapar, sakit, dan membutuhkan pertolongan Allah. oleh karenya, isa berbeda dengan Tuhan dan Tuhan berbeda dengan Isa. Hakikat dan sifat yang dimiliki antara Tuhan dan Yesus jelas berbeda, sehingga tidak bisa bersatu antara satu dengan yang lainnya.
Kedua, al-Ghazali memandang Isa hanyalah sebagai rasul yang bertugas menyampaikan wahyu kepada kaumnya sebagaimana Musa.
Penilaian Resensator terhadap pernyataan al-Ghazali, bahwa memang perlu ada batas yang tegas dalam menyikapi makna yang hakiki dan majazi yang termaktub dalam Kitab Suci. Resensator juga sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Ghafur, bahwa al-Ghazali memandang Yesus sebagai manusia biasa dan sebagai rasul sebagaimana Nabi Muhammad.
Lahut dan Nasut
Kedua istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh al-Hallaj (858-922 M), seorang tokoh sufi yang mati di tiang salib. Ia merupakan tokoh sufi heterodoks yang kebanyakan dipengaruhi oleh ide-ide Neoplatonisme. Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua natur, yakni ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut).
Al-Hallaj juga menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Kebersatuan itulah yang disebut sebagai hulul. Dalam hulul masih terdapat dua wujud yang dapat bersatu dalam satu tubuh. Pemahaman seperti inilah yang menjadi keyakinan dalam Kristen.
Yesus menyatu dengan Tuhan yang ada dalam satu wujud, yaitu wujud ketuhanan. Kaum Kristiani menganggap adalah mungkin terjadi persatuan antara dua hal yang berbeda tersebut. Orang-orang Kristen meyakini bahwa Allah telah menjadikan nasut (humanitas) bagi Isa. Kemudian Allah menampakkan diri di dalamnya dan bersatu dengannya seperti halnya jiwa dan raga. Dari persatuan (ittihad) tersebut kemudian muncul hakikat yang ketiga, yang berbeda dengan dua hakikat sebelumnya, yakni hakikat yang tersusun dalam lahut dan nasut.
Dalam kasus Isa, ia benar-benar manusia dan benar-benar Tuhan. Singkatnya, manusia Tuhan. Munculnya hakikat ketiga ini diyakini oleh sekte Nestorian. Dan bagi al-Ghazali, hal itu tidak mungkin, bahkan mustahil terjadi.
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan, bahwa bersatunya lahut dan nasut adalah mustahil jika Tuhan sebagai pencipta nasut lalu Tuhan menampakkan diri di dalam tubuh nasut, kemudian menyatu (ittihad). Maka sebenarnya, ittihad ini adalah sifat baru bagi Tuhan sedangkan Tuhan sendiri adalah wajib al-wujud.
Manusia terikat oleh ruang dan waktu, sedangkan Tuhan tidak terikat. Berbeda dari keyakinan Nestorian, sekte Malkaniyah menganggap Isa hanyalah oknum bagi hakikat Tuhan yang tidak tersusun dari dua hakikat tersebut. Namun sekte ini tetap meyakini bahwa al-Masih merupakan hakikat Tuhan yang bersatu dengan sifat kemanusiaan secara universal.
Dan al-Ghazali tetap membantah argumen tersebut. Apabila memang demikian, maka yang disalib sebenarnya adalah Tuhan. Padahal setiap yang disalib pasti bukan Tuhan. Kenyataan Isa telah disalib, maka Isa bukanlah Tuhan.
Gelar-gelar Yesus
Terdapat tiga gelar yang disandang oleh Isa sebagaimana yang menjadi pembahasan al-Ghazali, yaitu Ilah (Allah), Rabbi (Tuhan), dan Ibn (Anak).
Sebagaimana dalam Yohanes 10: 34 yang terdapat ungkapan “Kamu adalah allah” dan Keluaran 7: 1; “Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: `lihat Aku mengangkat engkau sebagai Allah bagi Fir’aun dan Harun, abangmu, akan menjadi nabimu”.
Menurut al-Ghazali, setiap teks yang menggunakan kata ilah, maka pasti dalam pengertian majazi. Pengertian ilah dengan makna metafor banyak dilakukan oleh para sufi heterodoks, yang dalam puncak pengalamannya tanpa sadar mereka mengucapkan kata-kata yang memiliki konotasi bersatunya Tuhan dengan dirinya.
Sedangkan kata rabb, dipergunakan banyak makna seperti tuhan, pemilik rumah, atau harta. Seperti halnya surat Paulus yang ditujukan kepada penduduk Korintus, 8: 4-6;
(4) “Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: “tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.” (5) Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah” baik di sorga, maupun di bumi – dan memang benar ada banyak “allah dan banyak “tuhan yang demikian – (6) namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kata ilah dan rabb adalah untuk Tuhan dan untuk hal lain yang tidak layak disembah. Penyebutan Isa dengan rabb adalah dalam konteks ia sebagai pemilik syariat yang bersumber dari Tuhan, bukan zat yang wajib disembah.
Adapun penisbatan Isa dengan Anak Allah bukanlah merupakan anak dalam pengertian hakiki. Dalam alam pikiran Yahudi Pelstina, istilah Anak Allah dapat mengacu kepada orang-orang Israel. Istilah tersebut digunakan sebagai lawan dari anak setan yang biasanya dialamatkan kepada mereka yang jahat.
Sebagaimana termaktub dalam Matius 16: 16; “Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Ayat ini menyatakan bahwa Petrus (dan murid-murid lain) mengakui Yesus sebagai Mesias. Hal ini juga diceritakan oleh Markus dan Lukas, akan tetapi Matius menambahkan bahwa Petrus juga mengakuiNya sebagai Anak Allah.
Upaya yang ditempuh oleh al-Ghazali tersebut tampaknya banyak dilatarbelakangi oleh kultur Kristen sendiri yang jauh dari semangat paham ortodoks. Keputusan Konsili yang lebih merupakan interpretasi subyektif bergeser menjadi kepercayaan yang absolut. Padahal menurut Ghafur, terdapat beberapa pernyataan dari Bible yang menjaga kelestarian ajaran Isa yang saling mendukung satu sama lain.
Al-Ghazali menambahkan, bahwa untuk mendapatkan makna yang komprehensif, tidak hanya bermain bahasa. Melainkan ada patokan yang lebih universal, yakni logika. Dan untuk memahami kebenaran Kitab Suci, biarkanlah Kitab Suci menafsirkan dirinya sendiri.