Perempuan di ambang pintu
Malam itu ketika aku tidur dengan mata terbuka, aku belum sadar juga kalau memang batang hidung tak kan tampak depan rumah disela pagar abu-abu itu.
Tapi sayangnya aku masih saja terdiam sendiri menunggu diambang pintu, kalau-kalau ada orang memberi salam depan rumah pun tak harus menunggu lama untuk dibukakan pintunya.
Padahal aku tahu kalau dia tak mungkin datang saat itu juga, karena kondisi di luar sana sedang deras-derasnya hujan yang turun malam itu.
Tapi aku tetap menunggu sampai kantuk menjemput, lalu aku mulai beranjak dari tempatku menunggu sepi. aku tutup pintu dan aku masuk kamar, kutengok waktu sudah menunjukkan jam 08.38 dan sudah kupastikan dia yang kedatangannya kunanti sudah terlelap dalam buaian mimpi indah berbalut hangatnya selimut.
Kutarik selimutku, mencoba pejamkan mata mencoba tidur dalam kekecewaan juga rindu yang tak tersampaikan.
Hujan masih belum berhenti, aku masih belum juga terlelap.
Pikiran masih terjaga, walau mataku tertutup.
Aku masih belum juga tertidur.
Malam itu semesta seakan tak mendukung tetapi paham betul rasa yang tersirat juga langit yang menumpahkan air, bak kesedihanku kala itu.
Entah hanya aku saja yang merinduinya atau dia pun sama, aku tak tahu. Yang jelas aku menanti ketidakpastian, dan menciptakan harapan semu ku sendiri.