Istri Cantik
Cerpen
Kutipan Cerpen Istri Cantik
Karya aflaharizal
Baca selengkapnya di Penakota.id

Mengarsir Kisah Kasih Volume 2

Pada sebuah malam, hanya itulah malam yang menenggelamkan diriku pada cahaya bulan di atas sana. Bulat, putih, seperti mata istriku yang cantik. Aku tidak menduga bahwa mata istriku serupa bulan. Aku sering menatap matanya ketika ia sedang berdandan di depan cermin, saat ia mempersiapkan diri untuk berjalan-jalan dengan anakku yang menunggu. Mata yang bulat, mata yang tenang, dan mata yang putih. Bola mata pun tak lupa juga menghiasi seperti lukisan di atas kanvas yang putih. Kubayangkan bulan putih itu seperti mata istriku, yang menerangi dari segala suaka kegelapan yang penuh pembantaian. 

Tentu, ia sedang duduk disana. Sebagai lelaki, aku kira tidak hanya perempuan yang memasak. Semalaman ini, aku yang memasak untuknya. Dan kata orang-orang, bila kau memiliki pasangan cantik atau tampan, dengan segala pernak-pernik rupanya, sadar atau tidak sadar, kau akan melakukan apapun dan tidak tega kalau ia yang melakukannya. Meski orang tersebut tidak juga merasakan demikian dan hanya ingin melakukan itu atas kemauan sendiri. 

Ketika memberi hidangan masakan dariku, tak lupa dengan suaranya yang lemah lembut itu. Bak kain Tuhan dari surga. Telingaku seperti merasakan ketenangan dan jiwa yang berkata, “Betapa beruntungnya jiwa ini memiliki perempuan cantik seperti engkau.” Tentu, aku tidak pandai berpuisi. Saat pertama kali bertemu dengannya di sebuah pantai, tanpa sengaja, aku dikenalan oleh kawanku. Aku mencoba membuat puisi-puisi(yang jauh dari puisi milik penyair di koran-koran, atau di kalangan penulis). Beberapa kali tidak ada yang tepat, tidak ada yang tertata. Seperti sebuah curahan yang bagiku hanya sampah belaka. Bahkan bisa saja, puisi buatanku akan ditertawakan oleh penyair. Berapa lama bila seseorang jatuh cinta kepada seseorang? Tentu kau tidak akan menduga, bahwa di hari itu, aku cepat jatuh cinta dan langsung memintanya untuk menikah. Sebuah hormon menaik di tubuhku, membuatku menarik untuk berhadapan dengannya. 

Perempuan itu tentu saja mau denganku, bernama Ratu Mela, di hari itu juga. Bila kau mau mendengar lagi, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta atau menggenggam tangan perempuan. Dan kawanku itu yang mengenalkanku padanya, berkata, “Coba, bila kau tak ada jabatan mumpuni dan uang yang lumayan? Ia akan menolakmu.”

“Aku tidak peduli. Yang penting, aku mencintainya. Dan ia mencintaiku.”

“Yakin?” ia seperti meledek.

“Ya, yakin.”

Dan terbukti lah. Ketika di rumah ini, ia menjadi penghiasku. Bahkan melebihi benda-benda, lukisan-lukisan, dan kain-kain tertempel di sudut tembok. Atau lagu-lagu perkara indah yang begitu jauh. “Kau tak ingin masuk kamar, daripada hanya memandang bulan seperti orang pengangguran?” istriku kemudian menghampiriku di halaman belakang di sebuah kursi yang kududuki. Kata-kata itu sudah kuduga, ia berusaha merayuku untuk segera tidur dan melakukan persetubuhan yang barangkali seperti alunan biola mengalun pelan, seperti alunan biola Eos Counsell yang ku dengar di TV dini hari. “Masih ingin melihat bulan yang tidak akan pernah bisa berbicara denganmu?” ucapnya lagi dengan nada yang menekan, tetapi tidak menghilangkan kelembutan yang amat kusukai itu. 

“Bulan itu serupa kau,” pujiku. 

Dan ia tertawa. “Aku jauh dari bulan.”

“Tetapi kau serupa bulan.”

“Adakah hal yang lain selain bulan?”

“Bagaimana dengan matahari?”

“Panas. Dan itu akan membakar kulitmu.”

“Bagaimana dengan planet?”

“Ya, aku planet yang menjadi ladang kau.” Mendengar itu, aku menarik lengannya. Ku tutup pintu itu, dan pergerakan-pergerakan selanjutnya yang begitu memekak pelan. Bergoyang-goyang, dan bersuara di antara bibir ke bibir. 


_________


Beberapa mata mereka tentu melihat istriku dengan segala kecantikannya. Barangkali, lelaki memang tidak munafik. Lelaki memang menyukai kecantikan seorang perempuan. Pun demikian dengan perempuan jua, ia menyukai ketampanan lelaki, harta yang dipunya, dan cinta jika itu ada. Setiap berjalan, pasang mata lelaki yang sudah memiliki pasangan dan yang belum, menatap kecantikan istriku. Aku barangkali serupa orang yang bahagia dan beruntung. Tetapi, aku kerab merasa tidak pernah aman. “Mereka semua melihatmu,” ucapku pada Ratu Mela, yang sejenak kemudian bola matanya mengarah padaku. Lantas tersenyum. Tak perlu khawatir, katanya. “Aku telah menjadi milikmu, dan tidak akan lepas.”

Ya, benar, tidak akan lepas, kataku. Namun mata mereka bagai pemburu yang tak lepas untuk menjinakkan mangsa. Sesekali, pernah aku melihat istriku berjalan sendirian dan memesan makanan dekat pantai. Kala itu aku sedang menikmati ombak yang berdesir, matahari yang akan menuju senja, dan teriakan orang-orang bahagia. Disana, istriku diajak bicara oleh lelaki kumal dengan wajahnya tampak genit, juga senyum yang dibuat-buat. Dan aku melihat gerak tubuhnya itu, yang barangkali bernafsu pada istriku. Kuketahui, seorang lelaki kumal itu adalah tukang parkir pantai atau tukang yang kuli bangunan. 

“Aku tadi diajak bicara sama orang itu,” tunjuknya. Ketika jari tunjuknya mengarah kepada seseorang itu, ia sedang merokok. Dengan sadar, ia melihat dan tersenyum sambil melambaikan tangan. Tentu ia menatapku juga, bahkan seperti seorang yang tidak pernah melakukan kesalahan sekalipun. “Nggak jelas. Tiba-tiba diajak bicara tentang dirinya, lalu dipancing, terus aku berbicara tentang diriku kepadanya.”

“Apakah kamu bilang bahwa kamu sudah punya suami?” aku mencoba bertanya padanya, perihal kesetiaan. Apakah ia mengetahui diriku ada pada dirinya atau sebaliknya? 

“Aku bilang sudah. Tapi, dia tersenyum saja. Terus mengajakku bicara lagi.” Jawabnya.

Memiliki istri yang cantik akan membuatmu bahagia, kata-kata itu aku dengar dari salah seorang kawanku yang lain. Ia bahagia ketika ia tidak keluar rumah selain bercinta dengan istrinya. Namun, aku membantahnya kini. Memiliki istri cantik akan membuatmu bahagia, sekaligus gusar karena setiap hari kau di datangkan kecemasan tentang perburuan laki-laki yang selalu menguntit dan memburuinya. Bahkan sudah punya pasangan dan menikah sekalipun.

Kemudian, saat senja mulai redup, ia mencium bibirku. Ah, ciuman bibir yang sudah lama tidak terjamah. Dimakan waktu kesibukan kota, menghunus usia, hingga diliputi kecemasan dan pembayaran yang tiada henti-henti sampai mati. “Tiada apapun di waktu dan kehidupan ini, aku mencintaimu,” ucapnya. Ya, ia mencintaiku dan aku mempercayai apa yang ia katakan. Ku lihat burung-burung terbang melintas di antara awan-awan berwarna oranye, dan hembusan ombak yang tidak berhenti mengeluarkan suara. Genangan itu mencapai kakiku, dan kakinya. Dingin, bagai menjalar sampai darah. 

“Apa yang kau katakan, tentang wanita cantik yang diburu laki-laki?” tanyaku kepada Ratu Mela.

“Seperti kau, kenapa kau memburuku?” bahkan menyadari kecantikannya dan perburuannya, ia bertanya balik kepadaku.

“Mengapa bertanya balik?”

“Tidak apa.” 

“Dalam pandangan laki-laki, menatap kecantikan perempuan adalah hal yang normal.”

“Persis!” seru istriku. “Mereka yang menatapku, walau aku sudah menjadi istrimu, mereka juga punya mata yang normal.”

“Tapi, mereka tidak bisa memilikimu. Hanya aku.”

“Tentu,” senyumnya dengan tangan yang berpagut padaku.

Barangkali tidak akan melepas. Ya, melepas. Namun kecemasan ini sungguh seperti batu yang dihantamkan air yang deras. Seperti doa yang tercekat. Seperti tangan yang terjepit benda-benda.


__________


“Kau yakin, tidak akan ada seseorang yang melihat kita dengan kecurigaannya?” bertanya lelaki itu yang ku kenal kumal saat itu, dan pakaiannya basah oleh keringat dan bau. Tetapi ketika aku memberikan nomor padanya lewat ucapan mautnya, yang membuatku tak sadar, ia datang dengan pakaian yang baik dengan harum yang wangi. Juga rambutnya yang ia cukur, bahkan terlihat sangat tampan. 

“Tidak, tenang saja. Masuk lah,” kemudian setelah itu ia gamit tanganku di rumah ini. Dan permainan itu terjadi, dengan sunyi yang menyemai dan hujan diluar. Turun dan deras. Bahkan seperti tangisan seorang anak kecil atau seseorang yang ditinggalkan. Pergerakan itu cepat, dan aku tampak tenang bagai kain yang melambai oleh angin. Permainan ini tentu tak pernah ku temukan oleh suamiku sendiri yang sibuk bekerja. Juga wangi itu, wangi yang menusuk hidungku dan telah membuatku birahi padanya. 


__________


“Aku akan menginap di kantor. Lembur. Demi penghidupan,” aku tidak akan pulang malam ini. Tentu, ketika kau menjadi seseorang yang mencari uang dalam pernikahan, kau akan merasa dituntut melakukan suatu penghidupan agar kelak semua baik-baik saja. Meski rumah tangga selalu penuh tidak baik-baik saja dalam masalah apapun seperti api yang dinyalakan minyak yang makin membesar. “Oh, ya,” ucap istriku. Tidak apa-apa, katanya. Ya, selalu tidak apa-apa. Bahkan aku tidak khawatir bila ia di rumah bersama anakku.  

“Kalau kau rindu, kau bisa telepon,” ucapku. Dan telepon adalah jembatan, bagi dua orang yang berbicara tanpa menatap mata. Tanpa menatap bibir. Tanpa menatap gerak. Tetapi bersentuh dengan telinga yang akan mendesir ke hati.

Diluar, malam tampak membilu. Digigil dingin, dan kesunyian lain. Aku kira kota memang baik-baik saja, bila dihadapkan dengan kesunyian. Namun, sebagaimana kota, adalah hal yang tidak mungkin jika kota penuh sunyi. Bahkan aku membicarakan ini dengan seorang kawan kantorku, ia menjawab, “Mana mungkin? Kalau kota penuh kesunyian seperti yang kau gambarkan, tentu kota ini tidak bekerja. Dan kita tidak akan hidup. Keuntungan tidak aka nada.” Padahal, hidup bukan hanya tentang melulu kota dengan nominal lainnya. Aku mengingat orang-orang kampung yang hidup jauh dari perkotaan yang penuh berdoa. Bertanah, menanam, dan hidup dengan cara yang itu-itu saja sepanjang tahun. Tetapi, itulah hidup. Tidak seberat orang-orang di kota. Barangkali beratnya orang di kampung yang bekerja sebagai petani, hanya seberapa. Dan sebagian penuh keringanan. 

“Aku mencintaimu,” ucap istriku.

“Aku juga.” Lalu telepon mati. Aku menghembuskan napas sendirian. Aku benci dengan ini, namun sebuah penghidupan adalah kata yang “harus” tanpa diganggu gugat. Dan tanggung jawab akan selalu mengikuti bagai ekor yang berpasang.


__________


“Suami mu?” bertanya lelaki itu. Sungguh, wangi di tubuhnya membuatku terus menempel padanya. Aku meletakkan kepalaku di dadanya yang telanjang. Dan ia mengelusku, dengan dua tubuh yang saling telanjang tertutup selimut, dan dimakan malam yang dingin yang tidak begitu tajam menusuk. 

“Ya, ia lembur.”

“Bagaimana jika ia pulang dan melihat kita?”

Aku tersenyum. Memeluk tubuhnya sekali lagi. “Tenang, aku sudah memintanya untuk menginap dan pulang besok sore.”

Tidak hanya suamiku, anakku yang lelaki ku rayu untuk menginap di rumah nenek dengan alasan ia kesepian dan butuh teman. Hanya aku dan lelaki ini berdua. Ya, berdua. Entah mengapa pengkhianatan ini muncul tiba-tiba. Apakah aku memang perempuan yang tak pernah puas? Ah, jika lelaki yang melakukan ini dan tampak seperti kejahatan yang tak mendapat ampunan, perempuan juga demikian. Seperti aku, yang kini melakukan pergerakan itu di kamar yang tertutup, dan lampu yang menyala dengan remang.

“Kau mengagumkan,” begitu katanya. Memuji yang bagiku sangat klise. Seperti lelaki sebelum suamiku, penuh kaku.

“Itu sebabnya kau mendekatiku, dengan nafsu setanmu.” Jawabku.

Lalu permainan itu kembali memulai lagi. Bergerak yang kini bagai menyalakan api yang lebih tinggi lagi. Kali ini aku yang di atas, menguasai semuanya dengan mata lelaki itu yang terpejam menikmati. 


Bogor, 2019  



#PenakotaGiveaway

19 Feb 2020 00:58
354
Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
4 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: