oranment
play icon
Amor Fati, Kita Adalah Sepasang Salah yang Menolak Pasrah
Resensi
Kutipan Resensi Amor Fati, Kita Adalah Sepasang Salah yang Menolak Pasrah
Karya afriantipratiwi
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ulas Buku Dapat Buku

Judul: Amor Fati

Pengarang: Stefani Bella (hujanmimpi) & Syahid Muhammad (eleftheriawords)

Penerbit: Gradien Mediatama

Tahun Terbit: Cetakan Pertama, November 2017

Tebal Buku: 440 hlm.

ISBN: 978-602-208-161-6


Kita adalah sepasang salah yang menolak pasrah.


Oke, saya akan memulai ulasan ini dengan kilas balik dari buku sebelumnya, KALA. Kalau sebagian dari kalian belum membacanya, boleh lah mampir ke sana dulu sebelum melanjutkan membaca ini. Karena ini benar-benar jadi buku yang mengesalkan buat saya, tapi tetap merasa relate. Sialan memang.


Bentar, saya akan membuat ini agak teratur dengan membahas seputar sampulnya yang masih juga berwarna hitam. Jujur, saya suka banget sih, entah kenapa. Belum lagi lambang si bulu ayam eh atau bulu apa sih ini? Pokoknya bulu yang terpisah ini saya nggak tau maknanya apa, tapi dengan kesotoy-an saya setelah baca buku ini, ya itu sepasang bulu yang akan bersinergi dengan perasaan yang ringan.


Yha, nggak nyambung emang si Tiwi. Maapin, jangan diprotes. Tapi bookmarknya lucu, bentuknya juga bulu. Hehe


Nah, yuk masuk ke ulasan. Setelah ending yang gantung di buku KALA. Btw, saya jadi inget lagunya Melly Goeslaw yang beberapa hari lalu saya putar gara-gara salah seorang teman lagi galau digantung oleh perasaannya sendiri. Oke, ini nggak penting. Lanjut, ya. Jadi, ending di buku KALA super ngeselin, tapi sebuah epic ending yang bagus karena berpeluang untuk jadi buku lanjutan.


Dan, hadirlah Amor Fati sebagai pereda dahaga akan kisah Lara dan Saka yang entah bagaimana. Kak Indi, salah seorang teman saya, ternyata benar soal keegoisan Saka dan Lara. Saya berkali-kali bilang “kampret” ketika sedang membaca buku ini. Kenapa sih kenapa saya harus merasa sedemikian relate sama kisah Saka dan Lara? Kenapa, Tuhan?


Si dua orang keras kepala ini ternyata masih saling cinta. Walaupun mereka tidak menutup pintu hati masing-masing untuk keberadaan orang baru yang hadir di kehidupan mereka. Saka bertemu Riana, Lara didekati Rio. Gila, ini kenapa sama persis kayak… ah sudahlah.


Buku setebal 440 halaman ini membawa saya pada kejutan-kejutan yang sederhana, tapi mengoyak emosi. Kalau bisa dibilang, semesta jahat banget mempertemukan mereka dengan cara-cara yang tak terduga. Lebih jahat lagi karena membiarkan gengsi mereka yang terlalu tinggi untuk saling mengabari satu sama lain. Padahal katanya sudah baik-baik saja dengan perasaannya.


Chapter-chapter awal buku ini masih menceritakan kehidupan Saka dan Lara secara masing-masing. Masih dengan konsep dua sudut pandang, Kak Bella dan Mas Syahid menuturkannya secara luwes. Nggak kayak bab awal buku pertama, di sini Mas Syahid udah lebih enak nih story tellingnya. Udah nggak bikin mumet pas ngebacanya.


Saya agak lama membaca buku ini karena awal-awal bosan aja, tapi tetap bisa menikmati karena perjalanan pasca Saka dan Lara bertemu orang baru di kehidupannya bikin saya berkaca dan berandai-andai, apakah semesta akan membuat jalur hidup saya seperti dalam cerita ini? Ah, tapi enggak usahlah.


Setelah membaca setengah bukunya, barulah saya mulai menemukan percikan-percikan emosi kemarahan karena ini sungguh di luar nalar. Kok ya Saka dan Lara jahat banget sama orang-orang di sekitar mereka. Jahat dalam artian mereka secara tidak langsung menyakiti perasaan Rio dan Riana. Dua orang yang pada akhirnya menjadi support system mereka tanpa meminta balasan. Sial, aku tidak sanggup bersedih-sedih.


Udah, pokoknya itu dua orang keras kepala.


Di sisi lain, karakter yang saya suka, baik dari buku KALA maupun Amor Fati adalah Kevin (sahabatnya Saka) dan Kanaya (sahabatnya Lara). Nggak tau kenapa karakter mereka tuh pencair suasana banget, tapi kadang bisa ngasih solusi yang pas.


Contohnya ini, pas Lara cerita soal pertemuan tak terduganya sama Saka. Then Kanaya said,


“Kalem, kalem. Api kayaknya berkobar banget pas lu cerita. Hahaha. Terus lu jedotin enggak kepalanya? Pasti enggak, kan? Ra, sekarang lu pikir deh. Saka tuh mungkin banget buka kedai kopi di Bandung. Ya elah, temen doi lebh banyak di sana. Tapi, kenapa dia milih di Jogja? Karena lu, Ra. Karena dia mau ngejar lu. Jangan bego kenapa, peka dikit.” (Hlm 339-340).


Atau kalimat Kevin ke Saka yang super bodor tapi bener.


“Eh, gilak. Meskipun iya, enggak maksud gitu lu tetep enggak bisa seenaknya, tahu. Gue paham sih elu enggak suka sama hal yang begituan. Ngehubungin buat ngasih tau lu di Jogja karena lu juga ngerasa buat apa lu ngabarin doi. Atau, lu juga enggak pengen bikin kejutan. Tapi cewek enggak sesimpel itu pikiran lu, Sakaaa… Ganteeeeng… Gue aja lakik gemes sama lu!” (Hlm. 279).


Jujur, saya nggak berharap akan ada lanjutan dari kisah Saka dan Lara. Karena… udahlah saya capek sama drama-drama kalian. Udah cukup. Tapi nggak tau ya, saya belum ngulik apakah emang ada lanjutannya apa enggak. Jadi, mari menikmati saja segala drama ini sambil minum kopi kayak nama kedai kopinya Saka: Coffee and Drama. Kalo tu kedai kopi beneran ada di Jogja, mau deh ke sana.


#BuahTanganPenakota

#UlasBukuDapatBuku

calendar
17 Feb 2021 23:07
view
344
wisataliterasi
Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig