Pengantar Pesan
Cerpen
Kutipan Cerpen Pengantar Pesan
Karya afshofi
Baca selengkapnya di Penakota.id
08.03 PM

“Ada masalah dengan pemutar lagunya?” tanya Linda.

“Hm? Enggak,” jawab Alan singkat. “Aku cuma ingin mengganti lagunya dengan ini,” lanjutnya. Ketika mengatakan ini, aku pastikan dia sedang menunjukkan sesuatu. Sepertinya kaset yang lain, mungkin.

“Oh, lagunya siapa?” Linda mulai antusias.

“Haha, aku agak sungkan mengatakannya.” Lalu Alan menghela napas sebentar, “Malu, sih, lebih tepatnya.”

“Penyanyi lama?”

“Baru-baru ini. Mulanya berkarir di sebuah kamar tidur, merambah di ruang kelas, dan berakhir di dalam studio.”

“Hahaha. Semua penyanyi juga begitu 'kan tujuan akhirnya? Cita-citanya, maksudku.”

“Tapi yang ini memang benar-benar berakhir di studio,” suaranya lebih serius dan tegas. “Kamu hanya bisa mengenal penyanyi itu dari sini.” Benar kan kataku? Dia pasti menunjukkan sebuah kaset.

“Kenapa?”

“Karena lebih baik begitu.”

Boleh jadi keyakinanku sama seperti keyakinan Linda. Selintas, ucapan laki-laki itu seakan menjelaskan kalau dia mengenal dengan baik si penyanyi yang dimaksud. Tetapi aku mulai merasa kalau Alan sedang menceritakan dirinya sendiri.

“Hm... Apapun yang membuatnya ragu, aku mengerti kalau dia enggan untuk maju. Karena berjuang untuk mematahkan keragu-raguan sama saja seperti berjuang saat perang, bahkan ini memerangi diri sendiri. Tetapi cobalah merasa yakin bahwa tidak akan terjadi hal mengerikan ketika menunjukkan ‘inilah aku’ pada dunia dengan cara yang baik.“ Linda merubah posisi kakinya, mungkin dia mulai pegal karena heels yang dia pakai. “Ah, andaikan aku bisa mengatakan ini padanya.”

Tak ada jawaban selama beberapa detik.

“Kamu sudah mengatakannya, terima kasih.” Nah kan, akhirnya! Kemudian Alan menukar kaset yang sedang memutar lagu bertempo cepat dengan kaset yang dibahasnya terus menerus bersama Linda.

“Jadi, itu kamu?”

Jawaban Alan hanya senyuman. “Hm,” kedengarannya begitu. “Maaf, ya. Aku malah putarkan lagu ini di hari ulang tahun adikmu.”

“Haha, karena ini untuknya kan?”

“Lagu ini untukmu. Ah, ya. Aku sudah merasa yakin kalau aku menyukaimu.”

Sepanjang yang kudengar, irama dari instrumen lagunya tidak terlalu lembut. Ya, bisa dibilang termasuk lagu yang enggak akan membuat pendengarnya menangis sedu-sedan. Efek tempo cepatnya itu membawa kesan untuk dibikin mengasyikkan. Mau dipakai joget ringan juga nyambung aja. Dia sungguh menuangkan perasaannya sebagaimana karakternya. Keren, galau aja produktif.

Sayangnya, aku tidak melihat ekspresi Linda seperti apa. Kakak pertamaku yang tergolong cuek dengan masalah relasi percintaannya. Tetapi saat ini aku tahu betul detak jantungnya yang malah semakin cepat. Apalagi setelah itu orang-orang di ruangan ini menyorakinya. “Wohooo!” teriak Jenny yang paling kencang.


08.03 PM

“Aku yakin,” ucap Yuri memulai percakapan—gosip barangkali. “Pasti dia hanya pura-pura sakit biar diperhatikan Jun.” Kemudian melanjutkan, “Jun juga cuma merasa kasihan, tahu. Kelihatan jelas dari caranya memainkan ekspresi dengan saudara kembarnya itu.” Yuri masih belum menyerah, “T-t-tuh, kan! Lihat, pasti ada yang mereka tutupi. Ah.. ya. Bisa jadi si kembar itu...” Dia masih berspekulasi, “Ih, Anna kok mau, ya? Ckckck, kalau sudah cinta...”

Sepanjang Yuri mengoceh, aku tidak mendengar jawaban yang memuaskan dari Rica. “Hu-uh,” katanya, tanpa bertanya lebih lanjut. Dia pasti tak begitu paham dengan alur pemikiran temannya. Karena ceritanya yang terpotong-potong begitu, haha.


08.03 PM

“Udah semua?” Intonasi nyolot kaya begini bisa dipastikan berasal dari suara Jenny, saudara kembarnya Jun.

“Bereslah. Berdasarkan catatan gue, enggak akan ada yang berantakan.” Jun begitu percaya diri.

Memang sih, sejauh ini yang dia lakukan untuk mempersiapkan perayaan ulang tahun Thalita niat banget. Salut sama cara dia menunjukkan perasaannya. Orang yang kelihatannya enggak serius karena suka banyak bercanda. Meski begitu, isi cadaannya enggak ada yang bohongan. Dia juga suka bicara blak-blakan dan terkadang tidak pada tempatnya. Terlepas dari semua itu, dia sudah mengencani Thalita sejak empat bulan terakhir.

“Jangan main-main kamu, Jun.”

“Sumpah, deh. Kalau buat dia, enggak ada kata main-main. Orang kutu buku kaya dia, hahaha. Gue aja jadi kebawa serius.”

“Lah, serius?”

“Ser—“

“Jun, pusing...” Suara perempuan yang satu ini benar-benar tidak kukenali!

“Gue lupa soal ini,” ujar Jun.

“Urus sendiri, ya.”


08.05 PM

Tepat setelah Wohooo!-nya Jenny yang diikuti juga oleh beberapa orang. Farah, Haris, dan Kaila tak kalah vokal walau sedang asyik-asyiknya berdansa riang gembira hahaha—oke, hanya aku yang tertawa. Sempat terdiam seketika Alan mengganti lagu, lalu mereka meneruskan tariannya yang bisa kukatakan tidak terlalu berjingkrak-jingkrak.

Ada suara lain yang lama-lama menyusup ke telingaku dengan semakin jelas. Langkah-langkah itu berhenti di dekat pintu. Sepertinya kakak keduaku, Thalita, datang.

“Keluar!”

Dia melantangkan suaranya, setelah entakan kecil kakinya sempat tidak terdengar lagi selama beberapa detik. Mungkin dia sempat menyelisik hingga akhirnya memutuskan untuk berteriak. Itu cukup mengalahkan riuhnya di sini. Bahkan, entah bagaimana Jenny sampai menjatuhkan kaset-kaset yang sempat dibawanya. Sekarang yang terdengar hanya lagunya Alan.

Akhirnya aku tahu...
Bahwa selama ini aku...

“Thalita?”

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Thalita. Dia terdiam lagi. Aku hanya mendengar gertakan kecil gigi-giginya. Ada pula napasnya yang terengah-engah. Tergambar jelas kalau dia sedang terdesak ingin marah tapi tertahan. Aku tidak tahu apa itu cara untuk menstabilkan emosinya atau memang perasaannya sudah benar-benar tersakiti.

“Ada yang mau gue jelaskan sekarang,” ucap Jun dengan tenang, sisi lain karakternya yang jarang kuperhatikan dengan saksama.

Aku tersadar akan perbincangan sebelumnya dengan Jenny. Hm, ya, perempuan itu. Aku tidak mengenalnya—setidaknya, belum.

“Apa? Aku salah paham dengan apa yang aku lihat?” tanya Thalita.

“Iya, tapi salah pahamnya itu—“

“Aku harus bagaimana, hah?” Serak, dia mulai terisak. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda dia akan menangis hebat.

“Makanya, kamu dengarkan aku dulu.”


08.04 PM

“Dengarkan baik-baik, karena aku tidak akan mengulanginya.”

“Huh?”

“Kenapa kamu melihatku begitu?” Lola sudah telanjur menanggapi Ian dengan serius. Ya, iyalah. Kata pengantar semacam itu biasanya mengindikasikan hadirnya pernyataan cinta. Aku pun kalau ditodong begitu langsung terbawa perasaan.

“Hm,” respons Ian. Singkat betul.

“Senyum apa itu? Mengerikan, tahu.”

“Ah, manis. Rasanya ingin aku miliki.”

“A-apa?!”

Kenapa dia marah? Ada apa?

“Tidak bisa kupercaya,” gumam Lola. “Bagaimana bisa matanya yang lapar itu malah memberi pesan menjengkelkan pada otaknya? Menatapku lekat-lekat pula!”

Matanya lapar? Hahaha.

Lola terus menggerutu, “Setelah mengatakan itu malah memasang wajah datar lalu berpaling pada sebuah potongan kue cokelat? Iya, iya, aku tahu, itu lebih manis dariku.”

“Haha,” tawaku lepas seketika.

“Hei, Nadine, apa yang begitu lucu?” Tak bisa kubayangkan bagaimana raut wajahnya yang sedang dirundung api kecil begitu, hahaha.

“Aku melupakan sesuatu, jadi aku menertawakan diriku.” Alibi yang payah—aku tahu, tapi tidak mungkin juga kan kalau aku bilang bahwa itu karena menikmati penderitaannya. Lola juga lupa hal itu setelah Ian kembali dan menawarkan potongan kue cokelat padanya.

“Tadi aku serius,” ujar Ian.

Aku yakin sekali kalau Lola tercengang seketika. Kamu tahu? Selalu ada sesuatu di balik sesuatu, bukan?


08.06 PM

Thalita yang kalap karena lelah hingga sesampainya di rumah malah menemukan kejutan luar biasa. Kejutan yang justru tidak membahagiakan baginya. Dia terus mempertanyakan tanpa memberi kesempatan pada Jun untuk menjelaskan.

“Kamu menyediakan bahumu untuk jadi sandaran bagi orang lain sedangkan kamu sudah berkencan denganku selama empat bulan terakhir, dan ini di rumahku!”

Jujur saja, kalimat ini sungguh mengerikan untukku yang baru menginjak lima belas tahun.

“Dia tadi bersamaku,” ujar Farah.

Kaila menambahkan, “Iya, dia ikut membantu dekorasi yang kami lakukan. Ikut bersenang-senang dengan kami juga.”

“Tapi tidak lama dia mulai mengeluh tidak enak badan dan Jun bilang kalau dia yang akan mengurusnya,” jelas Haris.

“Siapa dia sampai kamu mau—“

“Dia adik tiriku.” Jun memindahkan kepala Anna agar bersandar pada bantal yang berada di kursi tamu. “Jaga dia,” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya.

“Iya,” kata Jenny.

Jun berjalan mendekati arah pintu, tempat dimana Thalita berdiri. “Aku baru mau bilang hari ini. Kebetulan juga dia datang di hari ini.”

“Oh...” suaranya melemah.

Ruang gelap pikiranku mengilustrasikan pelukan mereka. Entahlah, mereka benar berpelukan apa tidak. Yang jelas aku tidak tahan dengan suasana ketegangan di ruangan ini. Satu, dua, satu, dua, satu, dua, ... tiga! Aku memberanikan diri untuk bicara hal-hal yang kutahu.

Memang, satu-satunya yang dilihat mataku hanya kegelapan. Tetapi pendengaranku selalu menyampaikan banyak pesan dan bisa aku urai kejelasannya. Aku seperti bisa melihat cahaya-cahaya tak dapat kudefinisikan. Aku paham betul macam-macam suara yang bercampur aduk itu, malahan detik per detik. Mulanya terasa kusut, tetapi kalau mau dicoba untuk memahami sedikit-sedikit pasti terungkap sendiri apa yang sebenarnya terjadi.

“Siapa pun, tolong pahami kalau menyimpulkan terlalu cepat bukan hal yang bagus. Baik atau buruknya kata pengantar tetap saja esensinya itu mengantarkan. Tujuannya bisa jadi sejalan atau berlainan dengan kita. Simak sampai tuntas, kecuali kalau pikiran kalian ingin diretas.”

Sesaat setelah aku menyelesaikan kalimatku, lagu itu berhenti.


2017
27 May 2018 09:33
608
Bandung, Jawa Barat
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: