KARDUS
Cerpen
Kutipan Cerpen KARDUS
Karya agashinovita
Baca selengkapnya di Penakota.id
Dia yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata. Namanya Ratih. Ia menghabiskan waktu jongkok di depan kardus setiap hari. Wanita berkuncir kuda itu sering menghabiskan waktu dengan menatap kosong ke dalam kotak coklat yang ada di samping meja sambil menggerak-gerakkan badannya maju-mundur.

"Jangan ganggu dia!" Aku memperingatkan Mas Setyo yang berdiri di sudut ruangan. Pria kurus tinggi ini sangay membenci Ratih. Tak jarang pria berkulit gelap ini menyulut api pertengkaran dengan gadis bertubuh sedang itu.

"Berhenti memandanginya!" Teriak Mas Setyo. Suaranya menggetarkan gendang telingaku. "Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari kardus kosong itu!" Teriaknya lagi. Meski masih menutup rapat kedua mataku, aku tahu kalau Ratih menangis.

"Kenapa kamu membuangnya?" Ratih bertanya diantara isak tangisnya.

"Apa kamu bisa bertanggung jawab kalau aku tidak membuangnya?" Mas Setyo berkata dengan penuh emosi.

Aku tak bisa menahan diri waktu kudengar Ratih menangis tersedu-sedu. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekati mereka. "Hentikan!" Teriakanku membuat Mas Setyo menahan tangannya di udara.

Aku membelalakan mata pada Ratih, "Untuk apa kamu menangis?" Aku menguncang bahunya. "Bukankah kamu yang memintaku untuk menikmati saja perlakuan pacarku itu?"

Ratih bergeming.

"Katamu tidak perlu menolak karena aki sudah tidak perawan." Aku tak bisa menyembunyikan kegetiran dalam suaraku. Kalimat itu membuatku teringat kembali akan perlakuan bejat ayah tiriku.

"Kamu juga!" Aku mengacungkam telunjuk kananku ke wajah Mas Setyo. "Kamu menyuruhku melakukannya sebagai tanda cinta." Nafasku tersengal. "Tapi apa?" Aku membuat Mas Setyo terpojok. "Akhirnya dia tidak mau bertanggung jawab atas buah cintanya ini." Aku tak sanggup menahan air mataku.

"Hidupku semakin hancur karena mendengarkan perkataan kalian berdua." Dadaku sesak. Wajahku terasa panas.

"Aku tahu kamu sangat ingin merawatnya." Ratih akhirnya mengeluarkan suara. Dia mendekatiku. Berusaha memelukku. "Tapi bagaimana dengan biaya? Lalu, apa kata tetangga yang melihatmu mengendong bayi padahal kamu tidak pernah menikah?"

"Karena itu, aku menyuruhmu membuangnya." Nada suara Mas Setyo terdengar datar.

Ratih balik badan. Dia membusungkan dada menantang Mas Setyo. "Aku menyarankan dia untuk memberikan anak itu pada orang lain. Bukan membuangnya!" Ratih meluapkan kekesalannya dengan meninju dada Mas Setyo.

Mas Setyo pun membalasnya dengan sebuah tamparan keras. Kejadian itu akhirnya memicu perkelahian. Mereka kembali saling pukul. Ratih menjambak, mencakar, memukul, dan menendang Mas Setyo. Sementara, Mas Setyo terus menampar Ratih. Bahkan, pria itu tak segan menendang Ratih hingga perempuan itu terpental dan membentur dinding.

"Hentikan!" Teriakku lagi. Air mataku tak bisa berhenti mengalir. Aku menatap kardus itu. "Kenapa kamu menyuruhku memasukkannya ke dalam kardus?" Lirihku.

"Karena kita tidak memiliki kereta bayi atau tempat yang layak untuknya." Mas Setyo meninggalkan Ratih yang kacau. "Aku juga menyuruhmu menyelimuti bayi itu sebelum dimasukkan ke dalam kardus. Aku juga mempersiapkan segala perlengkapannya. Kau ingat?"

"Iya. Aku ingat. Aku sangat ingat." Geramku. "Aku ingat kau menyuruhku membuangnya pada jam dua pagi agar tak ada yang melihat. Aku juga ingat kau menyuruhku meletakkannya di dekat perumahan agar ada seseorang yang !endengar tangisnya dan menyadaei keberadaannya."

"Tapi bayi itu sangat tidak beruntung." Bahu Ratih berguncang. Ia menangis dengan keras.

"Kamu telah membunuhnya!" Aku mendorong tubuh Mas Setyo hingga membentur tembok.

Eak. Eak. Suara bayi terdengar dari arah belakang tubuhku.

Aki melihat ke arah kardus. Suara itu berasal dari dalam kardus. "Apa bayiku masih hidup?" Aku berjalan mendekati kardus itu.

Ratih berlari mendahuluiku. Ia membuka kain yang menutup kardus itu. Aku dan Mas Setyo berdiri kaku di belakangnya.

Hal yang paling tak kusangka adalah Ratih mengeluarkan bayi laki-laki yang kulahirkan dari rahimku sendiri. Dengan bantuan bidan di tempat dimana ayah tiriku membuangku selama aku hamil. Bayi yang tangisannya sangat keras dan membuatku lupa lelahnya berjuang dengan maut.

Aku dan Mas Setyo berlari mendekati Ratih.

"Kemarikan bayi itu! Biar aku buang!" Mas Setyo berusaha meraih bayi itu dari dekapan Ratih.

"Tidak! Aku akan menaruh anak ini di panti asuhan." Ratih menjauhkan bayi itu dari jangkauan Mas Setyo.

"Hentikan! Itu bayiku! Kembalikan bayiku!" Aku berusaha meraih bayiku.

Bayi yang aku dapatkan dari pria yang berjanji akan melakukan apa pun demi mempertahankanki. Pria yang tidak meninggalkanku meski tahu aku sudah tidak perawan lagi. Pria yang dikirim orang tuanya keluar negeri setelah aku datang meminta pertanggung-jawaban.

"Kembalilan bayiku!" Aku berteriak sekuat tenaga untuk menghentikan Ratih dan Mas Setyo. Teriakanku tidak hanya menghentikan mereka berdua, tetapi juga membuka jeruji besi yang sudah lama terkunci.

Dari balik jeruji itu keluar malaikat-malaikat berjubah putih. Malaikat-malaikat yang memelihara lebah yang bisa membuat semua orang yang tersengat menjadi mengantuk.

"Bayiku! Mereka telah membunuh bayiku." Aku meminta tolong pada salah satu malaikat. "Tolong kembalikan bayiku! Mereka telah merampas bayiku." Aku menujuk ke tempat Ratih dan Mas Setyo berdiri.

Mereka berdua tersenyum sinis kepadaku. Anehnya, Ratih yang tadi berantakan kini menjadi rapi kembali.

"Bayiku. KALIAN KEMANAKAN BAYIKU?" teriakku. Aku meronta sebisaku waktu malaikat-malaikat itu mengikatku di tempat tidur dan menyengatkan lebah ke tanganku. "Kumohon, kembalikan bayiku." Kataku sebelum tak sadarkan diri.

*************

Malaikat-malaikat itu benar-benar telah mendengarkanku. Saat aku bangun, bayiku telah kembali kepelukkanku. Anakku memang bayi yang sangat sehat. Dia juga bayi yang tidak pernah rewel. Dia hanya menangis saat empengnya terlepas dari mulutnya.

"Aku tidak akan membiarkan kalian merampasnya." Aku mendekap bayiku erat agar Mas Setyo dan Ratih tak bisa mengambilnya dariku.

Seperti janjiku pada malaikat baik itu, aku tidak boleh mendengarkan Mas Setyo dan Ratih. Sekali pun mereka bertengkar, aku tidak perlu ikut campur. Aku juga tidak perlu melakukan perintah mereka untuk membuang bayiku.

Tapi aku rasa malaikat itu sangat aneh. Malaikat itu selalu mengoreksi perkataanku dengan mengatakan, "Panggil saja aku dokter."

*Tamat*


Agashi_Novita
24 Jun 2018 16:08
152
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: