oranment
play icon
"Di balik pintu coklat"
Cerpen
karya @ainnn
Kutipan Cerpen "Di balik pintu coklat"
Karya ainnn
Baca selengkapnya di Penakota.id



Sudah 2 jam hujan turun membasahi jalanan Bandung, belum reda juga sedangkan hari mulai gelap. Dua orang gadis tengah meneduh di depan minimarket , yang satu terlihat memakai jaket yang begitu tipis satu lagi memakai sweater tebal. 


"Aku hampir membeku Jen, kenapa tidak masuk ke rumah saja?" gerutu salah satu gadis itu, sebut saja namanya Bina. "Kalau dingin ayo masuk ke minimarket dan beli teh atau susu." Jawab Jenni kemudian berdiri seraya menarik tangan Bina. 


"Oke, tapi traktir ya uang ku habis." Bina mengikuti langkah Jenni. Kedua gadis itu memesan teh hangat dan mie instan, cukup setidaknya untuk menghangatkan badan. "Kenapa kamu pelit sekali Jen?" tanya Bina setelah pesanan mereka datang, beruntung minimarket itu menyediakan beberapa kursi dan meja dipojok ruangan, mereka bisa makan dengan nyaman. "Aku tidak akan membayar ini semua kalau aku pelit." Jawab Jenni dengan wajah datar. "Bukan itu, tapi kenapa selalu melarang aku masuk ke rumah mu?" Bina menunjuk rumah besar nan mewah di depan minimarket itu. 


Jenni menatap rumah itu beberapa detik kemudian mengalihkan pandangan pada mie instan di hadapannya, "Kenapa ingin sekali masuk kesana? lagi pula itu rumahku, aku berhak melarang dan mengijinkan orang yang mau masuk kesana"


Bina hanya menggeleng kepala, sudah berteman cukup lama namun Jenni tidak pernah mengijinkan Bina masuk ke rumahnya sekali pun. Seperti saat ini, dari pada mengajak Bina berteduh dirumahnya Jenni lebih memilih menemani Bina berteduh di depan minimarket. 


Lima menit kemudian mangkuk mie itu sudah tandas, mereka memang sedang kelaparan sepertinya. "Aku pamit pulang Jen, hujannya sudah reda. Terima kasih sudah membayar semua ini, aku duluan ya." Bina memakai kembali tas dan jaket yang sempat ia lepas. "kenapa buru-buru hm, ada apa dirumah?" Jenni ikut berdiri dari kursinya. 


"sudah 2 jam kita disini Jen Ibu pasti khawatir, kamu tidak takut dimarahi orang tuamu karena pulang terlambat?" Selidik Bina. 


"orang tuaku baik, tidak mungkin marah hanya karena terlambat pulang." Jenni tersenyum tipis, terksesan dipaksakan. 


Bina hanya mengangguk paham, setelah bersalaman Bina pergi menjauh menerobos jalanan yang masih basah. Jenni menatap kepergian Bina sampai Bina benar-benar menghilang di pertigaan, kemudian membuka gerbang rumahnya dan melangkah masuk.


***


"Assalamualaikum bu." teriak Bina dari pekarangan rumahnya. "Kehujanan ya? Cepat ganti baju lalu makan!" Ibu Bina menyodorkan handuk kecil berwarna biru tua. "Terima kasih." Bina melenggang pergi menuju kamar. 


Kamar sederhana, ukuran 2×3 meter dengan cat warna putih mendominasi. Satu ranjang, satu lemari dan satu meja belajar, dan ini adalah tempat ternyaman bagi Bina, lagi pula siapa yang tidak nyaman di kamar sendiri?


10 menit, Bina sudah berada di meja makan menatap makan siangnya dengan mata berbinar, ada menu spesial hari ini, ayam geprek buatan bu Tuti yang biasanya akan Ibu Bina beli ketika mendapat uang lebih.


"Kue nya terjual banyak ya bu?" tanya Bina disela-sela makannya. "Iya, tadi siang sebenarnya masih banyak tapi diborong tetangga kita, dia punya tamu dari luar kota." Ibu Bina bergabung dimeja makan. 


"Bu?" tanya Bina, anak ini memang senang sekali bicara saat makan bersama Ibunya. 


"Hm?" Ibu tidak ingin banyak mengeluarkan suara. 


"Tahu temanku Jenni? Ah beruntung sekali dia bu" ucap Bina semangat. Ibu Bina mengangguk, "Kenapa dia beruntung sekali?" tanya Ibu. 


"Dia bisa mendapat apa pun bu, tinggal diucapkan maka sekejap mata Jenni dapatkan. Jenni juga cantik Bu, ah dia nyaris sempurna tanpa cacat." cerita Bina sampai hampir tersedak karena terlalu semangat. 


Ibu Bina mengangguk, sepertinya Bina pernah menceritakan Jenni sebelumnya. 


"Pernah bertanya apa dia memang bahagia dan merasa beruntung?" tanya Ibu kemudian. 


Bina diam beberapa detik kemudian membuka suara, "Tidak ada alasan untuk tidak bahagia dan merasa beruntung bu, apa yang kurang dari Jenni?" Wajah Bina berkeringat kepedasan. 


"Bina tidak bahagia?" pertanyaan Ibu membuat Bina terdiam lagi, detik berikutnya Bina menjawab, "Bina bahagia bu, Bina hanya kagum saja." Gadis itu menyunggingkan senyum. 


Ibu Bina paham, Bina juga menginginkan kehidupan seperti Jenni, meskipun Bina tak pernah sampai merengek untuk mendapat yang Bina ingin, Ibu Bina tetap paham, terlihat dari cara Bina menceritakan Jenni tentu Bina bukan hanya kagum namun ingin juga memiliki kehidupan seperti itu. 


"Do'akan rezki Ibu lancar ya!" Ibu Bina tersenyum tipis. Bina mengangguk, meminum air kemudian kembali ke kamar untuk belajar, atau kalau tiba-tiba malas mungkin Bina memilih tidur saja. 


***


Pukul tujuh pagi, Bina sudah tiba di sekolah bahkan sekolah masih sepi. "Apa aku orang pertama?" tanya Bina pada diri sendiri, kemudian melangkah masuk ke dalam kelas. 


"Eh Jenni? Tumben pagi sekali?" sapa Bina dengan riang, yang disapa hanya tersenyum tipis. 


"Eh keningmu luka Jen?" tanya Bina lagi, setelah melihat plester menempel di kening Jenni bagian kiri. Jenni mengangguk sebagai jawaban. Detik berikutnya Bina bertanya lagi setelah melihat tangan kiri Jenni dibalut perban. 


"Tangan kiri kenapa Jen, kemarin masih baik-baik saja?" Selidik Bina. Jenni menghela napas panjang, mengapa Bina begitu gemar bertanya padanya?


"Luka sedikit Bin, jangan di pikirkan." Bina

 mengangguk. 


***


Bel sekolah sudah berdering beberapa detik lalu, para murid berhambur keluar kelas berdesakan. 


"Bina?" panggil Jenni, kini dikelas menyisakan mereka berdua yang tengah piket, Bina mendongak, "kenapa Jen?" jawab Bina yang tengah memungut sampah. 


"Boleh mampir ke rumahmu hari ini? Sampai sore saja." Jenni duduk di salah satu kursi kelas. Jenni tidak memiliki teman yang begitu dekat karena Jenni jarang sekali berbicara panjang dengan temannya, cukup seperlunya. Kecuali dengan Bina mungkin agak dekat, Bina yang cerewet sering mengajak Jenni bicara duluan. 


"Boleh, mau bermalam pun tidak masalah" Bina mengembangkan senyuman, Jenni ikut terseyum.


Padahal Bina hanya basa basi, tetapi Jenni benar-benar ingin bermalam dirumah Bina tanpa meminta ijin pada orang tuanya, dengan dalih orang tuanya baik pasti tidak akan marah. 


***


Rabu pagi pukul setengah tujuh, Bina sudah tiba di kelas, ia tengah sibuk dengan buku dan bolpoint. Sesekali Bina memikirkan Jenni, sudah hampir satu bulan Jenni tidak masuk, terlebih beberapa hari lalu saat pulang sekolah Bina melihat Jenni terduduk di halaman rumahnya. 


Selama pelajaran Bina kurang fokus, karena memikirkan temannya yang sangat sulit diajak bicara itu. 


Siang hari hujan turun mengguyur jalanan Bandung, menciptakan kemacetan disetiap sudut jalanan. Membuat beberapa orang berhenti dengan aktifitasnya dan memilih berteduh, termasuk Bina ia sedang meneduh di depan minimarket dekat rumah Jenni. Sudah hampir tiga puluh menit sejak kepulangannya dari sekolah, Bina duduk di depan minimarket ini. 


"Bina?" suara yang sangat tidak asing ditelinga Bina, ia menoleh semangat.


"Jenni? Kemana saja tidak sekolah? Hey tunggu, kenapa tubuhmu banyak yang terluka? Bukankah tangan kirimu belum sembuh?" cerosos Bina, tak memberi Jenni kesempatan bicara.


Jenni memang terlihat kurang baik, wajahnya pucat dan bibirnya kering, kantung mata menghitam seperti tidak tidur berhari-hari, wajahnya banyak sekali luka goresan, lengannya dibalut perban. Bahkan kedua ibu jarinya menggunakan plester. 


Jenni memaksakan terseyum, membuat buliran air hujan di wajahnya berjatuhan. "Kenapa berteduh disini? Masuk ke rumahku hujan akan turun lama siang ini." Suara Jenni terdengar serak. 


Bina mengernyitkan dahi, kenapa tiba-tiba mengajak ke rumah? Apa Jenni merasa Bina sudah jadi teman yang baik baik sehingga mengijinkan Bina ke rumahnya?


"Boleh?" tanya Bina seraya beranjak dari kursinya. 


"Tentu, kita beli camilan dulu aku kehabisan stok camilan."


Setelah selesai belanja camilan, Bina dan Jenni menuju rumah besar di depan minimarket itu, rumah yang sering Bina lalui namun belum pernah menginjakkan kaki, sekali pun. 


Keduanya masuk ke dalam rumah perlahan, melewati pintu coklat dengan ukuran besar itu, yang pertama kali Bina rasakan adalah sepi dan dingin. Bina agak merinding, rumah yang begitu luas namun seperti tidak berpenghuni. 


Mereka duduk diruang tamu, berbincang sambil menghabiskan makanan yang sempat dibeli tadi. 


Bina heran, mengapa Jenni sering berbicara tidak nyambung, kemudian tertawa terbahak-bahak untuk hal sepele. Terakhir bertemu dengan Jenni saat bermalam di rumahnya Jenni tidak secerewet saat ini. 


"Jen, kenapa tiba-tiba aku boleh masuk ke dalam sini?" tanya Bina. 


"Sekarang rumah ini sudah bersih, kemarin-kemarin rumah ini sangat kotor." Jawab Jenni sambil terkekeh. Bina hanya diam tidak paham dengan jawaban Jenni. Sejak tadi Bina hanya sesekali bicara, aneh sekali Jenni jadi lebih cerewet. 


"Maaf Jen dari tadi aku tidak lihat orang tuamu dimana mereka?" pertanyaan itu dengan cepat merubah raut wajah Jenni yang riang menjadi datar. 

"Kau tahu Bin? Mereka yang buat rumahku kotor, sekarang mereka tidak ada, itulah mengapa rumahku jadi bersih." jawab Jenni, membuat Bina membulatkan matanya, apa maksud Jenni? 


Tiba-tiba air mata Jenni meluncur deras, hey beberapa detik lalu bukankah dia tertawa terbahak-bahak? 


Bina sampai berpikir aneh-aneh melihat tingkah Jenni.


"Jenni dia siapa?" tiba-tiba seorang wanita datang dari pintu depan bersama seorang wanita yang sedikit lebih tua disisinya. 


"Hai Bibi, dia teman Jenni." Jenni kembali tersenyum. 


Wanita itu terseyum tipis, tumben sekali Jenni memanggil seseorang sebagai teman, lalu ia segera menarik tangan Bina. "Bibi ingin bicara sebentar dengan temanmu ya?" Jenni mengangguk ceria. 


Bibi Jenni membawa Bina keluar rumah, sampai dihalaman langkah mereka terhenti. 


"Bagaimana bisa disini?" tanya wanita itu cemas. 


"Jenni mengajak saya tante." jawab Bina. 


"Kau belum tahu keadaan Jenni sekarang? tapi sepertinya kau baik buktinya Jenni mengajakmu masuk. Mau ku ceritakan?" Wajah wanita itu terlihat lebih tenang, namun tetap terlihat sedih. 



Mereka duduk dikursi teras. "Aku bisa bicara dengan Jenni saja sangat sulit, kalau sampai dia mengajakmu ke rumahnya, berarti kau baik bahkan sangat baik, aku percaya." Ucap wanita itu. "aku sering melihatmu disekolah bersama Jenni, pasti kalian berteman baik bukan?" Bina mengangguk sebagai jawaban. 


"Jenni selama ini mendapat kekerasan dari ibunya, kau pasti sering melihat Jenni terluka disekolah. Satu bulan yang lalu Ibu Jenni loncat dari lantai dua rumah ini dalam keadaan mabuk, dia sering mabuk sejak suaminya pergi. Jenni melihat itu dengan mata kepalanya sendiri, hari itu aku datang hendak menjenguk wajahnya sangat pucat, tapi dia tidak menangis." Wanita itu mulai berkaca-kaca. 


"Aku tanya apa dia baik-baik saja, dia menjawab iya. Dia merasa baik karena dia bilang masalah hidupnya sudah pergi, Jenni sangat membenci Ibunya." Wanita itu terisak, dadanya benar-benar sesak, buliran bening meluncur deras membasahi wajahnya.


"Tapi dilain waktu, terkadang Jenni menangisi kepergian Ibunya. Aku paham, di satu sisi Jenni sangat benci Ibunya, tapi tetap saja anak mana yang tidak sedih ditinggal selamanya oleh ibu mereka?" tangisan wanita itu semakin hebat. 


"Kau tahu? Mental Jenni sangat-sangat hancur sekarang, wanita yang bersamaku tadi itu psikiater. Itulah mengapa aku terkejut melihat kau berbincang dengan Jenni. Tapi aku tahu satu hal, sepertinya kau bisa membantu penyembuhan mental Jenni."


"Saya?" Tanya Bina memastikan. 


"Ya. Sekarang pulang, biarkan Jenni bersama psikiater itu."


Bina mengangguk kemudian pamit pulang, selama perjalanan tangan Bina bergetar. Ia masih sedikit takut, ternyata tadi Bina bicara dengan Jenni yang dalam keadaan sakit. Bagaimana kalau tiba-tiba Jenni menyakitinya? Pikiran-pikiran tentang betapa bahagia dan beruntungnya Jenni, hilang seketika. 


Bina segera berlari memasuki pekarangan rumahnya, membuka pintu dengan tergesa. 


"Assalamualaikum bu?" pekik Bina, saat melihat Ibunya muncul Bina segera memeluk tubuh Ibunya erat. 


"Bina sangat bahagia dan beruntung bu, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menjadi anak Ibu." Ibu Bina menatap Bina heran, tumben sekali Bina seperti ini.


"Ibu juga beruntung, 15 tahun bersama anak yang baik seperti kamu." Ibu Bina mengelus puncak kepala anaknya. "Cepat ganti baju, itu sangat basah!" titahnya. 


Bina melangkah pergi menuju kamarnya, "Eh Bin?" panggil Ibu Bina, membuat Bina berbalik, "ya bu?"


"Bantu cuci piring ya?" Ibu Bina tersenyum lebar, "Aduh kepala Bina mendadak pusing bu, besok aja ya."


Ibunya hanya menggeleng, "kalau bicara saja manis, giliran disuruh tetap sulit, dasar!" gerutu Ibu Bina.


Bina berlari ke kamarnya, kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. "Jangan mengeluh lagi Bin, jangan jadikan kehidupan orang lain sebagai tolak ukur kebahagiaan dan keberuntungan. Karena kebahagiaan setiap orang itu berbeda mereka memiliki versi kebahagiaan masing-masing" ucapnya pada diri sendiri. 


"Aku bahagia dan beruntung." ucap Bina lirih. 


Ting


Satu notifikasi masuk ke ponsel Bina, ternyata itu dari Bibi Jenni, Bina sempat menyimpan nomornya tadi. 


Dari: Bibi Jenni 


"Bina, do'akan Jenni ya, tadi Jenni mengamuk sampai jatuh dari tangga, sekarang kami ke rumah sakit, tidak perlu datang do'akan saja ya!"


Mata Bina membulat sempurna setelah membaca pesan itu. "Astagfirullah Jenni." lirih Bina.


"Maaf aku tidak tahu kalau hidupmu ternyata tidak mudah Jen." gumam Bina, ia menarik selimut membalut tubuhnya yang terasa lelah dan dingin, ia tidak mengindahkan perintah ibunya untuk segera berganti pakaian. "cepat sembuh ya Jen."









calendar
26 Jan 2021 15:48
view
106
idle liked
5 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig