Angin malam yang kuat, serasa menusuk-nusuk tubuhnya dengan dingin yang tak terkira. Jaket tebal yang membalut tubuhnya, tidak berpengaruh banyak untuk mengurangi dingin di bulan november, memasuki bulan hujan. Tepatnya akhir tahun 2028.
Netranya lurus ke depan, sesekali tangannya diulurkan, menampung hujan gerimis. Pemuda itu masih larut dalam kesedihan, satu windu tidak cukup untuk melupakan kejadian menyedihkan yang telah berlalu itu.
"Jangan buat hidupmu terus menyedihkan Jim, jangan terus salahkan dirimu. Aku lelah melihatmu yang murung setiap hari, ah ini sudah hampir delapan tahun, dan kau masih memikirkan dia?" Ucap seorang laki-laki, usianya sekitar tiga puluh tahun.
"Biarkan aku menebus kesalahanku, rasa sedih yang kurasakan bertahun-tahun pantas untuk pengecut sepertiku," Lelaki yang dipanggil Jim itu tersenyum tipis.
"Tapi itu tidak merubah keadaan." Lelaki usia 30-an itu Jay, kakak kandung Jim.
"Serahkan dirimu ke polisi, maka semuanya selesai. Hukuman yang kau dapat, ku perkirakan 15 tahun. Kalau sudah menyerahkan diri dari dulu, mungkin kau sudah melewati setengah tahun dari masa tahananmu." Lanjut Jay tegas.
Jim menelan saliva, "Aku tidak mau mengecewakan orang-orang terdekatku." Jawabnya.
"Ah terserah! Cepat masuk ke dalam, hujan mulai lebat!" Jay berlari kecil, meninggalkan balkon yang semakin dingin.
"Hm." Jawab Jim singkat. kembali pada aktivitas awal, menatap hujan dan mengulurkan tangan, menampung setiap tetes yang jatuh.
Kenangan itu kembali berputar di otaknya, Jim memejamkan mata, kembali mengingat dengan rinci kejadian yang telah membuatnya murung bertahun-tahun.
Hari itu, 7 tahun 11 bulan yang lalu. Jim mengenakan kemeja hitam pekat, rambutnya disisir rapi. Jantungnya berdetak sangat cepat, pabrik tempat Jim bekerja akan melakukan rapat dengan seluruh karyawan, tentang PHK besar-besaran. Sejak semalam Jim berdo'a, semoga Jim tidak termasuk karyawan yang akan dipulangkan.
Pandemi, itulah alasan pabrik tempat Jim bekerja, melakukan PHK terhadap beberapa karyawan. Lemahnya permintaan pasar, serta efek PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), membuat beberapa perusahaan melakukan PHK terhadap karyawannya. Tahun itu, siapa yang tak kenal virus corona? Virus yang menyebar ke ratusan negara, membuhuh banyak manusia, membuat duka dimana-mana.
30 menit menunggu, akhirnya Jo memasuki ruangan yang dominan putih itu. Seluruh karyawan terlihat cemas, Jo semakin tidak tega, jika harus kehilangan sebagian besar karyawan pabrik ini.
"Saya harap kalian dapat menerima semua ini, bukan hanya kalian yang berduka, pabrik ini pun berduka." Suara Jo terdengar ke setiap sudut ruangan.
***
Sekitar satu jam, rapat itu berakhir. Seluruh karyawan di minta pulang, bagi mereka yang ditetapkan mendapat PHK akan dipanggil lagi ke pabrik, lusa nanti.
Jim dan Jo, mereka berteman baik, sejak SMP. Kini tengah menikmati roti bakar, di dalam kantor, banyak tempat makan yang tutup saat itu. Lebih banyak jual beli secara online.
"Jo, kau tidak akan memilihku kan? Ibuku terinfeksi virus, Ayah juga sering sakit, dan pekerjaan sulit di dapat. Keadaanku sangat sulit." Jim membuka suara, setelah hening beberapa menit.
"Aku sudah melakukan pilihan terbaik Jim, pilihan terbaik untuk semua karyawan." Jawab Jo, sedikit mengurangi gelisah dihati Jim.
Menit berganti jam, siang berganti malam. Hari ini, hari penentuan siapa saja karyawan yang dipulangkan. Jim tidak segelisah kemarin-kemarin, Jo teman baiknya dan Jim karyawan teladan, besar kemungkinan Jim tidak akan dipulangkan.
Pagi itu, Jim bersantai dengan celana pendek dan kaos oblong. Menyeruput kopi, dan gorengan bakwan, pagi yang sempurna. Sampai akhirnya ponsel Jim menerima panggilan dari pabrik, Jantungnya berdegup kencang, pagi yang sempurna itu hilang seketika, menyisakan rasa kecewa.
Bahkan saat sampai di gerbang pabrik, Jim masih berharap kalau panggilan itu bukan untuk PHK, mungkin ada hal lain. Jim memasuki pabrik dengan jantung berdebar.
Menit berikutnya, Jim terduduk lemas dengan mata berkaca, tangannya mengepal kuat surat berisi pemutusan hubungan kerja.
"Jo pembohong!" Ucap Jim lirih, Jim pikir Jo akan menyelamatkannya. Dengan napas memburu, Jim menghampiri ruangan Jo. Membuka pintu kasar, tanpa mengetuk atau mengucap salam.
"Salah apa aku Jo? Bukankah kita berteman baik? Berapa kali kubilang, keadaanku sangat buruk. Kau bilang kau sudah membuat keputusan terbaik? Cih! Keputusan macam apa ini?" Ucap Jim lantang, menatap Jo tajam.
"Jim gunakan masker, dan jaga jarak kita. Itu memang sudah keputusan terbaik, sekalipun kau saudaraku kau tetap akan dipulangkan, ini tidak melibatkan urusan pribadi Jim. Ini penuh perhitungan, aku juga tidak ingin melakukan ini, tapi ini demi pabrik!" Jawab Jo tegas.
Jim semakin mengikis jarak mereka, hendak berbicara lebih dekat.
"Berhenti Jim! Jangan mendekat! Kau tahu? Kesulitan kau adalah salah satu faktor PHK itu, berpikirlah Jim! Ibumu terinfeksi virus, bagaimana kalau kau tertular dan karyawan lain ikut tertular? Jangan pikirkan diri sendiri!" Jo menunjuk wajah Jim, dari jarak 3 meter.
"Alasan, aku bahkan tidak pernah menemui ibu sejak dia karantina di rumah sakit, bagaimana aku bisa tertular? Ah manusia memang tidak bisa dipercaya." Jim menyeringai, cukup menakutkan.
Lantas Jim keluar dari ruangan itu, surat yang ia pegang tadi sudah hancur tergeletak di lantai ruangan Jo.
Sore hari, Jim mengendarai motornya, ingin mendinginkan pikiran. Entah kemana tujuannya sore itu. Jim hanya ingin berkeliling di jalanan, menghibur diri. Tak peduli, jika dia akan terkena virus karena berkeliaran.
Motor Jim berhenti di belakang zebra cross, Jim menatap tiang lampu di hadapannya.
Detik berikutnya, mata Jim menangkap satu sosok lelaki yang begitu Jim kenali, lelaki itu menyebrang jalan tepat di depan motor Jim.
Jim yang tengah kalap, segera menancap gas. Mengikuti lelaki itu, kearah kiri, di jalan yang cukup sepi Jim menambah kecepatan motornya.
Bruk!
Jim menabrak lelaki itu tepat di samping jembatan. Membuatnya melayang jatuh. Jim pun tersungkur, hanya sampai sisi jembatan. Segera Jim membenarkan posisi motornya, tubuhnya cukup sakit dia tidak peduli, Jim segera melajukan motornya, dengan kecepatan tinggi.
Seringai terukir di bibirnya, "Orang tidak akan mati hanya karena motor butut kan? Lagi pula dia masuk air, dia kan pandai berenang. Selamat berenang sore hari Jo!" Gumam Jim.
Jim tak merasa terbebani atas perbuatannya, dia tetap beraktivitas. Sampai akhirnya esok hari, berita kematian Jo menyebar di pabrik.
Sejak hari itu, Jim menghilang. Dihantui rasa bersalah, hidupnya tidak tenang. Sejak hari itu, Jim tidak bisa merasakan senang, walau sebentar saja.
Sampai hari ini, satu windu tidak cukup untuk melupakan kejadian itu.
Jim gelisah sepanjang waktu, murung, menyalahkan dirinya, lantas menangis. Seperti malam ini, duduk di balkon. Merasakan gerimis, matanya kembali berkaca. "Maaf Jo." Ucapnya lirih.
Jay kembali menghampiri Jim, "Jim mereka menemukanmu, sudah kubilang sejauh apa pun kau pergi mereka akan menemukanmu. Sejauh ini, kau menghindari mereka, dan mereka tetap berhasil."
Jim melebarkan matanya, "Mereka siapa maksudmu Jay? Bicara dengan jelas!" Air muka Jim berubah panik.
"Kau tahu Anna, istri Jo? Setelah hampir satu tahun kasus kematian Jo, polisi menghentikan pencarian pelaku. Tapi tahun ini, Anna kehilangan anaknya-"
"Bisa langsung pada intinya? Kau berbelit-belit!" potong Jim, wajahnya semakin cemas.
"Diam dan dengarkan saja!" Bentak Jo, lantas Jo duduk di samping Jim.
"Sejak kehilangan anaknya, Anna teringat lagi suaminya. Ia akhirnya lakukan segala cara, Anna membayar polisi sangat besar, aku tidak tahu jumlahnya. Polisi sedikit kesulitan karena itu kasus yang sudah lama, tapi mereka berhasil menemukanmu ketika mereka berhasil menghubungi pabrik mu dulu." Jay menjelaskan.
"Siapa orang pabrik yang mencurigaiku? Dan siapa orang pabrik yang tahu aku dimana sekarang?" Jim mengusap wajahnya kasar.
"Aku tidak tahu Jim, tapi kalau aku jadi karyawan pabrik itu, aku pun akan mencurigaimu. Hanya kau yang bertengkar dengan kepala pusat saat itu."
"Arghh! Kenapa istri Jo kembali mengusut kasus ini setelah 8 tahun? Kemana saja dia?" Jim kelihatan gusar.
"Aku sudah bilang, itu karena anaknya meninggal. Dia kembali teringat suaminya, dia menjual banyak hartanya untuk membayar polisi agar kasus suaminya selesai. Kau pembunuh bodoh Jim, menjual motor sebagai barang bukti pada karyawan pabrik, ah itu sangat ceroboh. Tentu polisi akhirnya dengan mudah menelusuri."
Jim diam, tak lagi bersuara. Persembunyian Jim terbongkar, entahlah apakah ini baik atau buruk bagi Jim. Orang sekitar akan membenci Jim, tapi rasa bersalah Jim mungkin akan berkurang.
"Bersiap sekarang Jim, kita akan terbang ke Indonesia malam ini juga. Jangan cari masalah, polisi memberi waktu sampai besok untuk menyerahkan diri. Oh iya maafkan aku Jim, aku terlibat. Aku yang memberi tahu alamatmu disini, jangan marah apalagi membuhuhku aku sedang menolongmu." Jay menghela napas panjang.
"Aku tak tega dengan Anna, jadi aku membantunya. Dia sempat menanyakanmu minggu lalu, tapi aku bungkam. Statusmu masih tersangka, tapi sebaiknya jangan membuang waktu, langsung saja akui kau bersalah." Jay menepuk pundak Jim pelan.
"Ini sudah benar, selama apa pun dan sejauh apa pun kau menghindar, bahkan tanpa polisi pun suatu saat ulahmu akan terbongkar." Jay tersenyum tipis, lantas kembali meninggalkan Jim.
Jim mengusap wajahnya kasar, "Aku tidak bisa lari lagi," Ucap Jim lirih.