oranment
play icon
Aku, Rakyan, dan Kursi Roda
Cerpen
karya @ainnn
Kutipan Cerpen Aku, Rakyan, dan Kursi Roda
Karya ainnn
Baca selengkapnya di Penakota.id

     Namaku Felicia, panggil aku Cia, di baca Cia saja jangan di baca si ai ei. Sekarang usiaku 17 tahun, tidak ada yang spesial dari diriku, aku hanya penduduk bumi berusia 17 tahun seperti kebanyakan. 


    Tidak ada yang menarik dari remaja 17 tahun, yang menghabiskan waktu dengan makan, tidur, lantas bermain. Sedikit informasi, besok aku sudah menyelesaikan masa putih abu, ah aku tidak percaya aku bisa bertahan hidup sejauh ini. Ini semua karena Rakyan.


    Aku akan menceritakan tentang aku dan Rakyan, remaja seumuranku, yang ku temui sekitar tiga tahun lalu. Cerita ini dimulai ketika aku mengalami kecelakaan, terjatuh dari lantai dua sekolahku. Sampai menimbulkan cedera di tulang belakang. 


Sore itu, Aku menatap nanar taman rumah sakit dari atas balkon. Aku menghela napas pelan. Membayangkan tubuhku di bawah sana, hancur, dan mengenaskan. Mungkin kedua orang tuaku akan terpukul, tapi mungkin satu tahun dua tahun kedepan, mereka hanya mengingatku sesekali sebagai kesedihan untuk beberapa menit saja. Aku yakin itu akan lebih baik, dari pada saat ini ketika setiap detik mereka dihantui rasa takut kehilanganku. Aku yakin ini jalan terbaik.


  "Hei bodoh! Tidak lihat orang tuamu sedang memperjuangkan putrinya?" seru seseorang, sambil menarik tubuhku yang sedang berusaha melewati pagar balkon. Dia diatas kursi roda. Hari itu minggu ketigaku, menjalani perawatan di rumah sakit.


"Justru karena aku melihat mereka begitu, aku melakukan ini! Aku tidak tega, melihat Ibu yang setiap hari tidak mau makan, juga Ayah yang pergi disaat hari masih gelap demi mencari pinjaman," Aku menjelaskan, sambil menepis kasar lengannya. 


"Mereka sudah dapat uangnya, kau akan segera operasi," ucap lelaki itu, suaranya mulai terdengar tenang. 


"Kau menguntit mereka?" selidikku, menatapnya tak minat. 


"Bodoh, ranjang kita bersebrangan tentu aku tahu!" sahut dia ketus. 


Aku hanya menatapnya sekilas, lantas menuju kasur dan membaringkan tubuhku pelan. Akan kutunggu dia ke kamar mandi, atau kemana saja yang penting ada waktu untuk aku pergi ke balkon lagi. 


"Kondisi kita hampir sama, bahkan aku lebih parah sepertinya." lelaki tadi mendekatkan kursi roda, pada kasur ku.


"Kau tidak tahu apa-apa, aku sudah lelah. Berhari-hari menahan sakit di badanku, juga sakitnya melihat kedua orang tuaku yang berselisih karena ku." Aku menatapnya tak bersahabat. 


"Aku Rakyan, mengalami lumpuh di kedua kakiku. Hari ini aku akan operasi tumor, yang mendiami leherku bertahun-tahun. Kau siapa?" dia memperkenalkan diri, padahal aku tidak meminta.


"Cia." ku jawab seadanya, sedang malas berbicara. 


"Kenapa ingin melompat dari balkon?" Rakyan bertanya. 


"Bukankah sudah ku jawab tadi?" Aku benar-benar sedang malas berbincang. 


"Aku pernah koma selama hampir satu bulan, aku terbaring namun kesadaran ku masih berfungsi, aku masih bisa mendengar sekitarku. Aku tahu setiap hari, Ibu ku mendatangiku setiap pagi, dia membaca di sampingku, lantas dia menangis." Aku manggut-manggut, agar terlihat mendengarkan ceritanya.


"Sampai akhirnya di hari ke dua puluh tujuh, dia berbisik. Rakyan kalau tubuhmu lelah kau boleh pulang, Rakyan cepat pergi saja Ibu tak kuat menahan sakit, juga membayar pengobatanmu. Ibu ikhlas. Begitu kira-kira katanya, ah itu sangat menyakitkan." Rakyan menghela napas panjang, lalu melanjutkan ceritanya. 


Jujur, aku mulai tertarik dengan kisah yang Rakyan ceritakan, "Di hari ke dua puluh sembilan aku sadar, Aku pernah berencana ingin memeluk Ibuku begitu aku sadar, namun aku mengurungkan niatku karena ucapan Ibu waktu itu. Ketika siuman, aku hanya diam, menatap ruang rumah sakit, sangat berharap kondisiku tiba-tiba kritis dan aku akhirnya pergi," Rakyan terseyum getir, itu pasti sangat menyakitkan. 


"Tapi aku juga mengurungkan keinginanku, saat Ibuku masuk lantas memelukku, dia sangat senang aku akhirnya siuman. Dia memang akan lega ketika aku pergi, namun dia jauh lebih bahagia jika aku tetap tinggal," Rakyan tersenyum tipis. 


"Kalau kau berpikir jika kau pergi, mereka akan merasa bahagia karena tidak lagi menanggung beban. Maka mereka memang bahagia. Namun, jauh lebih bahagia, jika kau tetap tinggal, dan tersenyum kepada mereka setiap kau bangun tidur, lalu mengucapkan selamat malam ketika kau hendak tidur," Kata-katanya sangat menamparku, ah tidak salah dia memanggilku bodoh tadi. 


Tanpa ku sadari, mataku mulai mamanas, kapan saja buliran bening bisa meluncur. Rakyan kembali ke tempatnya, mungkin ingin istirahat. 


"Hei, terima kasih, aku akan melakukan operasi itu!" ucapku lantang, senyumku yang entah berapa lama terkubur, akhirnya kembali ke permukaan.


Tidak kusangka, kisah pendek itu membuatku luluh, juga mengembalikan semangatku. Akhirnya atas persetujuanku, Ayah menanda tangani bahwa Ayah setuju dengan operasiku. 


Aku tak berhenti tersenyum, sebentar lagi aku sembuh, aku akan berjalan menggandeng tangan keuda orang tuaku. Aku akan sangat bahagia. 1 jam lagi menuju operasiku. 


"Jangan gugup kau akan sembuh, ku dengar kita akan sekolah di tempat yang sama. Aku juga akan pindah ke perumahan tempatmu tinggal. Cepat sembuh, aku tidak sabar melihatmu berdiri di lapangan, karena terlambat masuk sekolah." Rakyan terkekeh, sejak hari dia menyelamatkanku kita berteman cukup baik.


"Dari mana tahu alamatku?" tanyaku.


"Ranjang kita bersebrangan Ci, tentu aku sering mendengar perkataan kalian." jawabnya sambil terkekeh, lalu kembali menuju kasurnya.


***


Aku membuka mata perlahan, setelah tidur yang sangat panjang. Aku tersenyum, lalu bangkit duduk. 

"Aww!" Aku meringis kesakitan, mungkin luka bekas operasi. Ku lihat Ayah dan Ibu, ah sangat damai. Wajah mereka begitu berseri, jauh dari hari-hari sebelumnya. 


"Aku sembuh ya Bu?" Tanyaku dengan semangat, Ibu mengangguk. 


Aku benar-benar bahagia, aku akan melanjutkan hidupku sebagaimana mestinya. Namun tidak semudah itu. Tiga bulan kemudian, kondisiku semakin parah. Aku hanya bisa bangun selama satu jam, disertai sakit yang amat sangat. 


Aku kembali ke rumah sakit, Dokter menyarankan aku kembali operasi. Ayah tidak banyak bicara, langsung menyetujui. Tidak peduli, entah dari mana ia akan mendapat uang. 


Sesuatu yang tak pernah terpikirkan, juga tak pernah ku harapkan. Usai operasi itu aku lumpuh. Kami sangat kecewa dengan pihak rumah sakit, yang tidak berterus terang tentang resiko operasiku. 

Namun Ayah tidak ingin banyak menuntut, Ayah akan mengurusku aku saja bersama Ibu di rumah. Aku sangat kecewa, kehidupan menyenangkan yang ku bayangkan kini hancur. Ah, bergerak saja begitu sakit. Aku kembali di titik dimana aku merasa hidupku hanya beban. 


Satu hal yang memurutku bisa menjadi penghibur, yaitu Rakyan. Sejak dia pindah rumah ke dekat rumahku, kita semakin akrab.


Sore itu ku hampiri Rakyan. Lucu sekali, kini kami sama-sama dikursi roda. Aku tidak bisa lama-lama di kursi roda, beberapa jam kemudian aku harus segera ke kasur. 


"Kau kuat Ci, ujian yang sulit hanya untuk orang-orang kuat," Rakyan tersenyum tipis. 


"Kenapa kau masih bisa bahagia?" tanyaku, mendekatkan kursi kami. 


"Memangnya apa alasan aku tidak bahagia? Aku hidup, aku tersenyum, aku makan, aku tidur. Lihat, betapa menyenangkan hidupku?" Rakyan tersenyum kecil. 


"Tapi kau tidak bisa berjalan?" tanyaku lagi. 


"Jantungku masih berdetak, artinya aku masih hidup. Jadi kenapa aku tidak bahagia? Aku diberi kesempatan hidup, itu berarti aku diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu," jawabnya, masih dengan senyuman di bibirnya. 


"Maksudku, kita. Lihatlah, kita berkali-kali hampir mati namun masih saja bisa bertahan hidup. Apa artinya itu? Artinya ada sesuatu yang harus kita selesaikan dulu, sebelum kita meninggalkan bumi." Rakyan memejamkan matanya, dan mengehela napas pelan. 


"Masuklah Ci, besok sekolah online mulai. Datang ke rumahku dan belajar bersama!" Rakyan pamit pulang, aku menatapnya sampai benar-benar menghilang di gerbang rumahnya. 


"Terima kasih." gumamku, perkataan singkat Rakyan itu sangat ajaib menurutku. Entah berapa kali, sejak mendengar perkataannya aku mendapat ketenangan, mendapat semangat, merasa kembali hidup. Namun, itu tidak berlangsung lama, di kelas sebelas Rakyan kembali pindah ke tempat asalnya, entah karena apa. Itu benar-benar menyedihkan, padahal aku ingin berteman dengannya lebih lama.


Itu dia sedikit tentang Rakyan, entah dimana dia sekarang. Aku ingin sekali bertemu dengannya, ingin bilang sekarang aku tumbuh menjadi gadis periang yang selalu bersemangat. 


Aku harap, ada waktu sebentar untuk bertemu dengannya. Aku ingin bilang, terima kasih, aku ingin bilang bahwa aku sangat bahagia. Aku ingin bilang, bahwa dia benar-benar luar biasa! 


calendar
13 Apr 2021 12:18
view
69
wisataliterasi
Rongga, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig