oranment
play icon
Harapan dan Kebohongan
Cerpen
karya @ainnn
Kutipan Cerpen Harapan dan Kebohongan
Karya ainnn
Baca selengkapnya di Penakota.id


"Satu bulan lagi," gumamku pelan, sambil menatap pantulan diriku di cermin. 


Tinggal satu bulan lagi, semua mimpi akan terpenuhi, semua janji akan ditepati. Satu bulan lagi, penantian ini akan segera berakhir. 


Aku mengembuskan napas pelan, merapikan jilbab dan memakai sedikit bedak di wajahku. Sudah siap, aku akan pergi ke madrasah. 


"Emak, Aku berangkat." Aku mengecup punggung tangan kanan Emak. 


"Hati-hati Run!" teriak Emak dari ambang pintu.

Aku mengacungkan jempol.


Tak sampai dua menit, aku sudah sampai. Madrasah itu tepat di sebrang rumahku. Tapi Emak, dia tidak akan masuk ke rumah, sebelum aku benar-benar menginjakkan kaki di gerbang madrasah. 


Aku menatap hangat bocah-bocah SD di ruangan ini, mereka selalu bersemangat setiap sore. Ini sangat membuatku semangat, tidak ada yang lebih menyenangkan dari mengajar anak-anak ini mengaji.


"Assalamualaikum." ucapku dengan wajah sumringah, dijawab dengan semangat oleh anak-anak itu. Menambah energi positif ruangan ini.


Memberi materi, melakukan permainan, dan memberikan sedikit tugas. Selesai sudah kegiatan sore ini, madrasah ini kembali kosong ketika anak-anak itu berlarian pulang.


Aku juga pulang. Saat sampai ditepi jalan, Aku tersenyum tipis, melihat Emak yang sudah berdiri di pekarangan rumah. Sedang menanti kepulanganku, lucu sekali Emak ini. Padahal jarak madrasah dan rumah sangat dekat, aku yakin suara teriakan anak-anak bahkan sampai ke rumah. 


"Kenapa ceria sekali?" tanya Emak, ketika aku sampai. Aku dan Emak masuk. 


"Setiap sore Runa ceria Mak, anak-anak itu selalu membuat semangat," jawabku, lalu duduk di kursi makan. 


"Mak, Runa mau beli bunga, untuk di tanam di halaman." ucapku, sambil mengupas ubi rebus. Wanginya langsung masuk ke indra penciumanku. 


"Bukannya kamu takut ulat Run?" Emak duduk si depanku. 


"Abah suka bunga Mak, dalam waktu satu bulan aku akan menanam banyak bunga." Aku mulai memasukkan ubi itu ke mulutku. 


Emak tersenyum kecut. 


"Tanam saat dia pulang, Emak tidak mau repot memegang tanah," ucap Emak sambil menyeruput teh hangatnya. 


"Biar Runa yang tanam Mak, biar Abah senang anaknya bisa bercocok tanam." Aku tersenyum lebar. 


"Kamu yakin sekali Abah akan pulang Run? Menurut Emak, sesibuk apa pun dia, kalau memang mau menyempatkan sudah pulang sejak lama," tanya Emak. 


Aku tertegun, menatap Emak lamat-lamat. Iya, Abah sudah pergi sejak tiga tahun lalu. Sesibuk apa Abah, sampai tidak sempat pulang? 


"Runa mau nikah walinya Abah, jadi Runa akan tunggu Abah." 


Emak tidak menjawab lagi, hanya mengangguk pelan lalu pergi ke dapur. 


Usiaku sudah 21, Emak ingin aku segera menikah. Tapi aku masih ingin menunggu Abah, dia harus datang di pernikahanku. Aku kan putri satu-satunya, Abah pasti mau meluangkan waktu disela pekerjaanya. 


Abah sesekali mengirim foto, entah sedang di kantor, di pantai, atau di supermarket. Hampir di semua kegiatan, Abah akan berfoto lantas mengirimkannya padaku. Aku yakin sekali, Abah sedang bekerja keras jauh disana. Abah pasti kesayangan bosnya, sampai-sampai sulit untuk pulang. 


"Satu bulan itu tidak akan lama." ucapku lirih. 


Tetanggaku, Amin. Katanya mau menikahi Aku. 

Alasanku mengundur waktu memang agak kekanakan, aku bilang aku mau menikah jika walinya Abah. Aku akan menunggu Abah pulang dulu.


***


Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, dan genaplah satu bulan. Aku tidak sabar, hari ini Abah akan pulang. Aku diam di teras sejak pagi, aku bahkan izin tidak mengajar sore ini.


Kalau waktu Abah sedikit, biarlah besok kusuruh Amin datang kerumah. Biar kami langsung tentukan tanggal nikah. Ah, aku tidak sabar. 


Sudah pukul satu siang, namun tidak ada kabar dari Abah. Panggilanku tidak diangkat, pesanku tidak dibalas. Mungkin, Abah beristirahat di jalan. Bandung - Kalimantan itu bukan jarak dekat. 


"Wah Abah!" ucapku semangat, melihat nama Abah tertera di layar ponselku. Aku segera mengangkat panggilan itu. 


"Abah sudah sampai mana?" tanyaku dengan senyum merekah, aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku. Aku tak berhenti tersenyum. 


"Run, ada sedikit masalah di pekerjaan Abah." suara Abah terdengar parau. 


Itu pembuka kalimat yang buruk, jangan bilang Abah gagal pulang lagi.


"Jelaskan masalah pekerjaan Abah, bawa saja pulang pekerjaannya biar Runa bantu," ucapku memohon. 


"Maaf Runa, ini rumit. Abah tidak mungkin meninggalkan masalah ini, Abah harus perbaiki," papar Abah. 


"Berapa lama?" tanyaku, senyuman di wajahku sudah hilang sejak Abah bersuara si telfon. 


"Satu pekan, Abah janji Abah akan segera pulang. Abah akan jadi wali pernikahan Aruna, Abah akan tanam bunga ditemani Aruna, kita juga akan berkebun lagi di belakang rumah." Aku tersenyum tipis mendengarnya, perkataan Abah cukup menenangkan. 


"Jangan bohong ya Bah, dosa."


Panggilan itu berakhir setelah beberapa kata.


"Satu pekan, itu sangat sebentar. Satu pekan tidak ada apa-apanya di banding tiga tahun," gumamku.


Ternyata aku keliru, satu pekan ini rasanya amat lambat. Aku benar-benar tidak sabar.


***


"Berhenti berharap Abah pulang, lalu merubah hidup kita lebih baik. Kita jalani hidup kita Run. Emak tidak yakin, kata-kata Abah bisa di percaya," ucap Emak, sambil menyisir rambut panjangku. 


"Kenapa Emak begitu meragukan Abah? Abah sedang bekerja keras untuk kita, Abah sedang bekerja keras untuk kebahagiaan putrinya," tukasku. 


"Abah sudah bekerja begitu keras, dia ingin menyekolahkanku. Aku tidak masalah, memulai kuliah diusia 21. Aku harus menghargai usaha Abah," paparku. 


"Run, menurutmu pekerjaan macam apa, yang membuat seorang lelaki meninggalkan anak istrinya bertahun-tahun?" suara Emak tidak selembut tadi. 


"Emak, tidak percaya dengan Abah?" tanyaku pelan. 


"Apa alasan Emak untuk percaya Run? Pergi bertahun-tahun, selalu ingkar janji, selalu memberikan harapan palsu, apa dia sungguh-sungguh sedang bekerja keras?" Emak selesai menyisir rambutku, ia duduk di kasur samping kursi tempat aku duduk. 


"Awalnya bilang akan pulang saat lebaran, lalu menjadi saat tahun baru, lalu saat kamu ulang tahun, lalu bilang tinggal satu tahun, lalu tinggal satu bulan, terus satu pekan. Ah, Emak sampai lupa sebanyak apa dia mengundur waktu," papar Emak panjang. 


"Tidak lama lagi, dia akan berheti menghubungi kamu," lanjut Emak. 


Aku diam, perkataan Emak benar-benar membuatku khawatir. Tapi aku berusaha yakin, ini sudah hari ketiga, Abah akan tiba tidak lama lagi. 


***


Aku meremas kuat ujung bajuku, mataku memerah, aku menatap kosong kearah jalanan. Hari ini, tepat satu minggu sejak telfonku dengan Abah hari itu. Tapi, sejak dua hari yang lalu Abah tidak bisa di hubungi. Pesanku tak di balas, telfonku tak diangkat.


"Apa Abah mau memberi kejutan?" Aku masih berusaha berpikir positif. 


"Masuk Aruna! Sudah mulai gelap nanti masuk angin," kata Emak dari pintu.


"Kalau Abah mau beri kejutan bagaimana? Aku harus jadi orang pertama yang menyambut Abah di rumah ini." Aku memaksakan tersenyum. 


"Kita tunggu di dalam, ayo masuk!" Emak menarik lenganku, aku menurut. Sore ini, memang sangat dingin. 


Ting! 


Satu notifikasi masuk ke ponselku, itu benar-benar membuat jantungku berdetak kencang. Itu pasti dari Abah. 


Dari Abah :


“Abah lupa mau pulang hari ini, Abah malah pergi ke Lombok. Abah disini sampai satu bulan, ada pekerjaan disini. Aruna tidak apa-apa kan, menunggu Abah satu bulan lagi?”


Air mataku, meluncur deras detik itu juga. Ini alasan paling menyakitkan. Lupa? Setidak pentingkah kepulangannya sampai-sampai dia lupa? Hatiku sesak membacanya. 


Perkataan Emak terngiang-ngiang di kepalaku, pekerjaan apa yang Abah lakukan? Sampai melupakan yang dirumah? 


"Jangan berharap sama makhluk Run, sekalipun itu Abah kamu." Emak mengelus lembut puncak kepalaku.


"Kamu boleh percaya, tapi jangan terlalu berharap. Dari awal, ketika Abah menunda kepulangan. Emak sudah yakin, kalau Abah memang tidak mau kembali." Emak memelukku erat, aku masih terisak. 


"Kita bisa hidup tanpa Abah?" tanyaku dengan suara serak. Entah bagaimana menjabarkannya, yang jelas ini benar-benar menyakitkan. Hari ini, aku merasa bahwa bagi Abah, kami tidak berarti lagi. 


"Kamu pikir selama tiga tahun ini, kita tidak bertahan hidup?" Emak tersenyum.


"Emak, tapi Aruna rindu Abah. Aruna mau disekolahkan oleh Abah, Aruna mau Abah yang menjadi wali pernikahan Aruna." tangisanku mengencang, bahuku sampai berguncang. 


"Ada Emak Run, Emak akan usahakan yang terbaik untuk Runa." 


Aku melihat, mata Emak berkaca. 


"Bilang Amin, cepat datang kesini. Dia laki-laki baik. Dia akan jadi laki-laki hebat dalam hidup kamu, kalau dia tidak bisa menjaga kamu, Emak tidak segan menghajarnya," ucap Emak sungguh-sungguh. 


Aku menyunggingkan senyum. Sesakit ini, berharap pada Abah, orang tuaku sendiri. Tidak ada manusia yang bisa di percaya sepenuhnya.


"Aku lapar Mak, sakit hati ternyata perlu tenaga," ucapku, sambil mengusap mataku yang masih basah.


"Kita masak sekarang." Emak menarikku menuju dapur.

calendar
18 Dec 2021 15:17
view
44
wisataliterasi
Buahbatu, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig