Pagi menyapa dengan embun yang turun basahkan dedaunan.
Berikan salam hangat pada Tuan Mentari, terimakasih ia telah datang kembali.
Pagi ini pembunuh. Ia membunuh luka keluh kesah yang semalaman liar bertumbuh.
.
Kumasukkan sinar mentari melalui suka cita yang sengaja kuhimpun di jiwa.
Berhari-hari hidup merasa kelam ternyata berbahaya.
Pagi menginginkan kita menatap, bukan meratap.
Ia hadirkan pertunjukan keindahan. Yang ia harapkan, sebuah rasa syukur dari manusia yang merasakan.
Tiap insan membawa cahaya masing-masing tapi yang timbul entah yang mana.
Berjalan di garis-garis realitas, melihat dipersepsi tanpa batas.
Beribu-ribu untaian kata selamat pagi terkadang hanya sebatas formalitas.
Yang pagi hendaki, manusia memang berbalas.
Setidaknya dengan sebuah rasa syukur, atau jiwa yang terasa baru.
.
.
Ini bukan sekedar personifikasi.
Atau hanya baris kata seorang yang sedang gundah hati.
Selamat datang pagi. Yang sekarang telah menuju siang.
Ini baru yang kesatu.