Kukira cuma di dadamu yang mengawan putih
Ternyata waktu diam-diam juga pandai menyemir rambutmu
Dingin mengintip di balik lusuh kerudung
Sehelai demi sehelai
serupa hujan turun dari langit maha megah
sebelum jatuh berderai,
Luruh;
Menamparku
Kemudian gigilkan sekujur badan
menetes lekas yang tinggal dalam ingatan
serta masa silam yang kugendong penuh,
Utuh;
Ia siaga
memulihkan luka
mengudarkan juga segala duka
yang sekian waktu meminta raga
terjaga di malam penuh keheningan.
Kukira malam akan segera ganti warna
Juga gemuruh jiwa yang tertahan itu lekas tenang
Setelah memantul kilapan di kepalamu
matahari seolah diajak terbit lebih cepat dari biasanya,
Hari-hari kelam yang tak lebih putih dari rambutmu itu
pun lenyap malu-malu
sejengkal lalu sehasta
serupa anak yang belajar berdiri dan melangkah,
Ah,
Boleh kutinggal saja di situ
pada yang sehelai itu?
Memaut angan yang kian meranggas ditimpa angin
Lalu helai yang jatuh dan berserak di lantai itu
kubuat esok jadi utas-utas panjang
sebagai gantar pengait mimpi yang
tergantung lalu menurunkannya kembali ke bumi
Lebih lagi,
jadi tangga
mendekati singgasana sang Maha;
Atau barangkali
kurontokkan saja seluruh?
Sebagai ganti mantra yang urung kupinta karena terlampau menggelikan
sebab tahu seluruh hidupmu adalah doa.
Bogor,
Desember, 2022